Jumat, 17 Juli 2015

Langkah-Langkah Membangun Berfikir Kritis pada Peserta Didik

A.      Pendahuluan
Salah satu tujuan dari pendidikan adalah mampu menjadikan anak kritis baik dalam berpikir kritis menyelesaikan atau memecahkan permasalahan maupun kemampuan mengkomunikasikan atau menyampaikan pikirannya secara kritis. Kenyataannya pelaksanakan pembelajaran kurang mendorong pada suatu kemampuan berpikir kritis. Dua faktor penyebab berpikir kritis tidak berkembang selama pendidikan adalah kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga pendidik lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman pendidik tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Dalam perkembangan fase kehidupan manusia, Bowyer (1989) menjelaskan bahwa pada masa bayi infasi sudah dapat berfikir logis. Sedangkan Monnier (1981) menjelaskan bahwa bayi yang berusia sekitar satu tahun sudah mampu menggunakan kalkulus logis secara formal seperti anak usia remaja akhir. Artinya kemampuan berpikir sudah ada pada manusia sejak tahun pertama kehidupan.
Pendapat-pendapat di atas berimplikasi kepada proses pengajaran berpikir pada anak, bahwa mengajar anak berpikir bukanlah hal yang aneh, begitu pula dengan mengajar berpikir kritis. Jika bayi sudah dapat melakukan kegiatan berpikir logis, maka wajar jika anak-anak di usia sekolah dasar diajar berpikir kritis. Persoalannya adalah: bagaimana mengajarnya dan sejauh mana?
Pada dasarnya sejak kanak-kanak manusia sudah memiliki kecenderungan dan kemampuan berpikir kritis. Sebagai makhluk rasional, manusia selalu terdorong untuk memikirkan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Kecenderungan manusia memberi arti pada berbagai hal dan kejadian di sekitarnya merupakan indikasi dari kemampuan berpikirnya (Paul, 1994). Kecenderungan ini dapat kita temukan pada seorang anak kecil yang memandang berbagai benda di sekitarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Perhatikan ia maka kita dapat memperoleh pemahaman tentang bagaimana anak berpikir dan memberi makna pada lingkungannya. Lihat bagaimana mereka menguji-coba segala sesuatu yang memancing rasa ingin tahunya lalu menarik kesimpulan dari hal-hal yang ditemuinya.
Dengan pemahaman terhadap kondisi kognitif anak dan kemampuan belajar mereka yang tinggi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan untuk berpikir kritis hendaknya sudah diberikan pada anak sejak masih sangat muda, selain untuk mempersiapkan mereka di masa dewasa kelak, juga untuk membiasakan keterbukaan pada berbagai informasi sejak dini. Kurangnya pendidikan berpikir kritis dapat mengarahkan anak-anak kepada kebiasaan melakukan berbagai kegiatan tanpa mengetahui tujuan dan mengapa mereka melakukannya. Kebiasaannya ini sudah sering terlihat pada anak-anak yang kurang bahkan tidak mendapatkan pendidikan berpikir kritis.
B.       Pengertian dan Ciri-Ciri Berpikir Kritis
Beberapa ahli mengungkapkan definisi berpikir kritis beragam tetapi ada beberapa komponen yang mengandung kesamaan. Krulik & Rudnick dalam Sumardyono dan Ashari S (2010:9) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi masalah. Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokkan, mengorganisasikan, mengingat, dan menganalisis informasi. Sejalan dengan di atas, Norris dan Ennis dalam Alec Fisher dalam Sumardyono dan Ashari S (2010) menyatakan, berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan dan reflektif yang fokus untuk memutuskan apa yang dapat dipercaya dan apa yang tidak dapat dipercaya.
Lebih lanjut Sumardyono dan Ashari S mendeskripsikan bahwa berpikir kritis memerlukan kemampuan membaca, memahami, dan mengidentifikasi masalah serta kemampuan mengklasifikasi dan membandingkan, sehingga dapat menggambarkan kesimpulan dengan lebih baik dari yang diberikan, serta dapat menentukan ketidakonsistenan dan kontradiksi dari informasi tersebut. Tidak semua informasi yang diterima dapat dijadikan pengetahuan yang diyakini kebenarannya untuk dijadikan panduan dalam tindakan. Demikian halnya dengan informasi yang dihasilkan, tidak selalu informasi yang benar. Keputusan atau kesimpulan yang dilakukan dengan berpikir kritis merupakan informasi terbaik setelah melalui pengkajian dari berbagai sumber informasi, termasuk mengkaji kesimpulan yang dihasilkan dengan memberikan bukti-bukti pendukung.
Berpikir kritis menurut Gega dalam Sumardyono dan Ashari S (2010:9) adalah berpikir yang menggunakan bukti-bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan, serta dapat menunjukkan pendapat yang terkadang kontradiktif, bahkan mau mengubah pendapatnya jika ternyata ada bukti lebih kuat yang bertentangan dengan pendapatnya. Ada dua langkah berpikir kritis, yaitu; melakukan proses penawaran yang diikuti dengan pengambilan keputusan atau pemecahan masalah.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah kegiatan berpikir yang mendalam, komprehensif, argumentatif, logis, dan evaluatif.

Ciri Orang Berpikir Kritis
Ciri orang berpikir kritis menurut Raymon S. Nickerson dalam Didin dalam Sumardyono dan Ashari S (2010:10) adalah sebagai berikut.
a.         Menggunakan bukti yang kuat dan tidak memihak;
b.         dapat mengungkapkan secara ringkas dan masuk akal;
c.          dapat membedakan secara logis antara simpulan yang valid dan tidak valid;
d.         menggunakan penilaian, bila tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung sebuah keputusan;
e.          mampu mengantisipasi kemungkinan konsekkuensi dari suatu tindakan;
f.          dapat mencari kesamaan dan analogi (kemiripan);
g.         dapat belajar secara mandiri;
h.        menerapkan teknik pemecahan masalah (problem solving);
i.           menyadari fakta bahwa pemahaman seseorang selalu terbatas;
j.           mengakui kekurangan terhadap pendapatnya sendiri.

D.  Kegiatan-Kegiatan Pembelajaran untuk Menunjang Anak Berfikir Kritis
Bagaimana kita mengajarkan berpikir kritis kepada anak. Di sini akan dipaparkan secara umum sebagian metode dan fasilitasi yang diharapkan dapat merangsang anak belajar berpikir kritis sesuai dengan usia perkembangannya.
Untuk merangsang anak berpikir kritis, ada beberapa metode yang bisa diterapkan, di antara metode-metode tersebut adalah:

1.    Belajar dari Observasi

Untuk membangkitkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat melibatkan berbagai aspek kegiatan: seni bahasa, matematika, ilmu pengetahuan dan ilmu sosial. Anak dapat mulai diajarkan keterampilan observasi dasar seperti mengamati kelompok untuk mencari tahu apa yang membuat kelompok terbentuk. Lewat pengamatan anak juga dapat diajak untuk memahami apa itu bunyi, udara, air, cahaya, suhu, tanah, serta berbagai kayu dan logam. Dalam melakukan observasi anak dapat diperlengkapi dengan alat bantu seperti kaca pembesar, alat pengukur suhu dan sebagainya. Mereka dapat diberi tugas yang derajat kesulitannya bervariasi dari mulai mencocokkan nama yang terdapat dalam daftar dengan stimulus tertentu (teman, bunyi, cahaya dan lain-lain) yang ditampilkan oleh guru sampai ke menjelaskan karakteristik dari hal yang diamatinya bahkan menjelaskan hubungan hal-hal itu dengan manusia.
2. Belajar  dari Pengandaian
Anak juga dapat belajar berpikir kritis dari pengandaian-pengandaian. Anak diminta mengandaikan kejadian yang mungkin terjadi meskipun belum pernah terjadi dalam keseharian mereka. Misalnya mereka diminta untuk membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada air, atau bayangkan jika tak ada cahaya, atau membayangkan jika tidak ada makanan, tidak ada orang tua ataupun pengandaian lain yang dapat mengembangkan cara berpikir kritis mereka.

3.    Belajar tentang Kemungkinan-kemungkinan Baru

Anak juga dapat diajak untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Contohnya, minta anak untuk mencari cara lain untuk menulis selain menggunakan ballpoint atau pinsil. Atau anak diminta mencari kegunaan lain dari suatu benda.
4. Belajar Menemukan Kesalahan
Anak dapat diajarkan untuk menemukan kesalahan-kesalahan dari keseharian dengan menggunakan gambar. Contoh: kepada anak ditunjukkan benda tertentu yang kurang lengkap, lalu minta mereka menemukan lima kesalahan dari gambar itu. Atau kepada anak ditunjukkan gambar orang buang sampah dan ditanya apa yang salah dengan orang dalam gambar itu, mengapa salah dan bagaimana seharusnya. Untuk stimulus yang lebih kompleks dapat digunakan rangkaian gambar yang memuat beberapa kesalahan, lalu anak diminta menemukan kesalahan dalam rangkaian gambar itu. Contoh: tunjukkan serangkaian gambar yang memuat dua atau lebih anak yang berselisih dan menyelesaikan perselisihan dengan berkelahi, lalu tanya kepada mereka apa yang salah dari perilaku anak-anak dalam rangkaian gambar itu. Di sini dapat juga digunakan rangkaian gambar kecelakaan. Misalnya gambaran orang kecelakaan tabrakan sepeda atau orang terkena strum. Jawaban-jawaban anak dapat menjadi bahan diskusi yang merangsang anak untuk berpikir kritis.
5.    Melengkapi Cerita
Anak juga dapat diajak untuk melengkapi cerita. Rangkaian cerita dipaparkan kepada mereka dengan beberapa ketidaklengkapan. Anak diminta untuk menemukan bagian cerita yang hilang atau tidak lengkap, kemudian diminta melengkapinya. Cerita dapat disajikan dengan dibacakan atau dilengkapi dengan gambar-gambar.
Selanjutnya berpikir kritis berkaitan dengan bahasa, maka tidak akan bisa terlepas dari empat kamahiran, yaitu kemahiran membaca, menyimak, berbicara dan menulis. Keempat komponen ini adalah hal mutlak yang harus dimiliki seseorang untuk mampu menggunakan suatu bahasa dengan baik dan benar.
Ada beberapa kegiatan yang akan menunjang peserta didik untuk memiliki sikap berpikir kritis kaitannya dengan kemahiran berbahasa, kegiatan ini bisa disesuaikan dengan tingkat pendidikannya, diantaranya adalah:

1.    Madrasah Ibtidaiyyah
untuk peserta didik yang ada ditingkat madrasah ibtidaiyyah, maka ada empat kegiatan yang akan menunjang peserta didik memilki sikap untuk berpikir kritis, yaitu:
a.    Mendengar dan menirukan setiap huruf yang dicontohkan guru, lalu bertanya jawab tentang sifat huruf melalui permainan tebak huruf.
b.    Siswa diberi contoh tentang satu percakapan. Lalu diminta mempraktekkan secara berpasangan dengan temannya.
c.    Membaca wacana yang ditampilkan dalam slide, misanya tentang perkenalan. Lalu setiap siswa menyebutkan nama anggota keluarganya (paman, nenek, sepupu).
d.   Menulis setiap huruf sesuai kaidah ilmu khat. Lalu menilai benar tidaknya huruf yang dibuat temannya
2.    Madrasah Tsanawiyyah
untuk peserta didik yang ada ditingkat madrasah tsanawiyyah, maka ada lima kegiatan yang akan menunjang peserta didik memilki sikap untuk berpikir kritis, yaitu:
a.    Menyimak wacana yang diperdengarkan dan mengidentifikasi kata yang belum difahami
b.    Mencari makna kata dalam kamus, secara berkelompok dan diadakan kompetisi per kelompok
c.    Siswa diminta membuat teks pidato  berbahasa Arab sederhana secara individual, lalu mempraktekkan nya dan siswa lain diminta menilai pidato temannya dan penggunaan bahasa dalam teks pidato yang disajikan.
d.   Mencari ide pokok dalam sebuah wacana sederhana secara berkelompok, dan secara bergantian mengkritisi hasil kelompok lain.
e.    Menulis karangan sederhana tentang kegiatan sehari-hari lalu mengkritisi karangan temannya dari sisi penggunaan struktur dan kosa kata nya.
3.    Madrasah Aliyah
untuk peserta didik yang ada ditingkat madrasah tsanawiyyah, maka ada lima kegiatan yang akan menunjang peserta didik memilki sikap untuk berpikir kritis, yaitu:
a.    Menyimak wacana yang diperdengarkan dan mencari tema / ide pokok dari wacana tersebut.
b.    Menganalisis dan mendiskusikan setiap tema yang disampaikan tiap kelompok dan mengkritisinya (bisa dengan metode debat)
c.    Secara berpasangan, siswa melakukan percakapan tentang satu topic misalnya hobi, lalu setiap 5 menit, ganti pasangan dan melanjutkan percakapan, demikian seterusnya
d.   Membaca wacana tentang kesehatan / rumah sakit dan mengurutkan ide pokok setiap paragraph secara berkelompok. Lalu membandingkan kondisi wacana berbahasa Arab (rumah sakit) dengan kondisi kesehatan di Indonesia
e.    Menulis puisi / cerpen tentang satu topik menarik misalnya cinta secara berkelompok. Lalu mengkritisi penggunaan struktur dan kosa kata hasil kelompok lain.

E.  Kesimpulan
Dari urauian di atas berkaitan dengan langkah-langkah membangun berpikir kritis peserta didik, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, diantaranya adalah:
a.       Sejak kanak-kanak manusia sudah memiliki kecenderungan dan kemampuan berpikir kritis. Sebagai makhluk rasional, manusia selalu terdorong untuk memikirkan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Kecenderungan manusia memberi arti pada berbagai hal dan kejadian di sekitarnya merupakan indikasi dari kemampuan berpikirnya.
b.      berpikir kritis adalah kegiatan berpikir yang mendalam, komprehensif, argumentatif, logis, dan evaluatif.
c.       Secara umum kegiatan-kegiatan yang bias membangkitkan berpikir kritis peserta didik adalah: melakukan observasi, dengan pangandai-andaian, meramal (memprediksi kemungkinan baru), mengkritisi kesalahan dan melengkapi cerita.
d.      Kaitannya dengan berpikir kritis pada pembelkajaran bahasa harus merangkum empat kemahiran, yaitu: mendengar, menyimak, membaca dan menulis.

e.       Kegiatan-kegiatan untuk membangun sikap berpikir pada peserta didik harus diseimbangkan dengan usia dan tingkat pendidikannya.

Memaknai `Iedul Fitri

Maqalah
`IEDUL FITRI : SEBUAH METAMORFOSA
LAHIRNYA JATI DIRI SEORANG MUSLIM BARU

Sebentar lagi gema takbir akan berkumandang di segenap penjuru dunia sebagai simbolisasi telah berakhirnya bulan Ramadhan dan telah datangnya masa kemenangan dan hari bersejarah bagi umat Islam sedunia yaitu datangnya `Iedul Fitri. Laki-laki perempuan, tua muda, anak kecil dewasa, bahkan yang tidak saum pun berbondong-bondong pergi ke lapangan untuk melaksanakan shalat sunat `ied`. Inilah moment yang sangat ditunggu dan bersejarah bagi kaum muslimin.
Kata `Ied` terambil dari kata `aada -ya`uudu- `audan `kembali` (M. Yunus : 284); sedangkan kata fitri berasal dari kata fathara – yafthuru – fathran `berbuka` (M. Yunus : 319) sehingga secara bahasa `iedul fitri bermakna `kembali berbuka`; artinya selama satu bulan kaum muslimin dilarang untuk makan minum atau hubungan suami istri di siang hari, maka dengan datangnya `iedul fitri larangan-larangan tersebut tidak ada lagi.
Beberapa ulama telah memberikan beberapa definisi tentang makna kata fitri diantaranya adalah :
1.      berbuka, hal ini sebagaimana hadits Rosulullah saw :
للصامِ فرْحتانِ فرحة عند فِطْرِه وفرحة عند لقاءِ رَبِّه
Artinya :` bagi orang shaum itu dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya`.
2.      Suci, hal ini sebagaimana hadits Rosulullah saw :
كُلُّ مَولودٍ يولدُ على الفِطْرَةِ
Artinya :`setiap bayi yang dilahirkan itu dalam keadaan suci bersih`.
3.      tabi`at beragama, hal ini sebagaimana Firman Allah SWT :
فَأقِمْ وَجْهَكَ للدِّينِ حَنيفاً فِطْرَةَ الله فَطَرَ النّاسَ عَلَيْها ... الأية (الروم : 33)
Artinya :` dan hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah dengan condong; sesuai dengan fithrah Allah yang telah menciptakan manusia dengan fitrahnya … al-ayat (Q.S ar-Ruum; 30 : 30).
Dari ketiga definisi di atas menjelaskan bahwa `iedu fitri bisa didefinisikan dengan `kembalinya orang muslim untuk makan-minum di siang hari dan ia dalam keadaan suci dan siap untuk menerima kembali aturan dan ajaran yang terdapat dalam agama Islam. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Nawawi yang mendefinisikan tentang kata fithrah sebagai berikut :
الفطرة هي : هو أنّ كلّ مولود يولد مُتَهَيِّأ للإسلام
Artinya :` Fithrah adalah  sesungguhnya setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan disiapkan untuk menerima agama Islam`.
Dari uraian di atas menjelaskan bagi kita bahwa, setiap orang muslim yang telah beres melaksanakan shaum di bulan Ramadhan, maka ketika datang `iedul fitri seumpama bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan suci bersih yang siap untuk menerima ajaran dan aturan-aturan yang ada dalam ajaran agama Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa bulan Ramadhan adalah sebuah metamorfosa (proses) lahirnya jiwa-jiwa muslim yang siap kembali menjalankan perintah agama dengan keadaan jiwa yang telah bersih dari segala dosa dan kesalahan karena telah dibakar dan digodok selama satu bulan.
Lahirnya kembali jiwa baru, tentunya tidak semua akan dinikmati oleh segenap kaum muslimin; tapi hal itu dapat dirasakan oleh mereka yang mampu memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai sebuah moment untuk melebur segala dosa dan kesalahan mereka. Bagi mereka yang tidak mampu memanfaatkan bulan Ramadhan dengan baik, tentu jaminan lahirnya kembali jiwa yang baru ibarat pepatah jauh api dari panggang. Tentu kita berharap bulan Ramadhan tahun ini dapat melahirkan jiwa dan semangat  baru bagi kita untuk menjalankan syari`at dan ajaran Islam. Wallahu `alam bish-shawab.
RAIHLAHLAH KERIDLOANNYA

 DENGAN SHABAR DAN SHALAT

Senin, 12 Mei 2014

Sudahkah kita menjadi seorang wanita sejati atau pria sejati???



Feminitas dan Maskulinitas Seorang Manusia
Oleh: Abu Rabbani
قال اللّه تعالى: وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (النّبا: 8)
Artinya: “Dan Kami telah ciptakan kalian berpasang-pasangan” (Q.S an-Naba, 78; 8).
Agar terjadi keseimbangan dan dinamika, Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasangan, diantaranya adalah penciptaan pria dan wanita. Wanita adalah makhluk yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh seorang pria, artinya ada sifat-sifat wanita yang benar-benar khas wanita; dan pria pun memiliki sifat-sifat unik yang tidak dimiliki wanita. Jika digabungkan sifat-sifat unik ini akan saling melengkapi.
Sudah menjadi kesepakatan tak tertulis di masyarakat apabila seorang wanita itu identic dengan sifat lembut, rapih, penuh kasih sayang, pintar memasak, hidup teratur, penyuka warna pink dan lain sebagainya yang menunjuk dia sebagai seorang wanita; sementara seorang pria diidentikkan dengan sifat keras, urakan, hidup semau gue, penyuka warna biru dan sifat lain yang menunjukkan dia sebagai seorang pria yang macho. Padahal pemahaman ini tidak semuanya benar.
Allan dan Barbara Pease dalam bukunya Sillyman from Mars, Pittywoman from Venus, menyebutkan bahwa semua karakter atau sifat seseorang terbentuk karena kondisi sosial. Kita ini siapa karena sikap orang tua dan orang di sekeliling kita yang secara turun temurun merefleksikan nilai tertentu. Seorang wanita bisa menjadi seorang wanita yang benar-benar feminine ketika lingkungan di sekitar mendukung untuk itu; begitu juga laki-laki dia akan menjadi seorang pria macho apabila lingkungan mendukung untuk menjadikannya dia macho. Tapi sebaliknya akan ada seorang wanita `macho` dan seorang pria `feminine` karena lingkungan sekitarnya merubah dia untuk menjadi seperti itu.
Yang perlu kita sadari adalah secara psikologis, sebenarnya sifat-sifat maskulin dan feminin itu berada dalam satu garis. Setiap orang, wanita dan laki-laki memiliki kedua kecenderungan itu dalam proporsi yang berbeda. Anak perempuan memang akan lebih didominasi oleh ciri-ciri feminin, meski mereka juga memiliki ciri maskulin dalam derajat tertentu. Sebaliknya, anak laki-laki akan memiliki ciri maskulin yang dominan. Dalam realita yang terjadi kenapa ada perempuan `macho` dan pria `feminine` atau istilah anak muda sekarang pria yang melambai. Maka merujuk kepada teori di atas, wanita `macho` terlahir karena sifat maskulin yang ada pada dirinya melebihi sifat femininnya; pria `melambai` juga terlahir karena sifat feminine yang ada pada dirinya melebihi sifat maskulinnya. Selanjutnya kondisi ini diperparah oleh lingkungannya, baik keluarga, sekolah, atau masyarakat di sekitar mereka.
Salah satu bentuk sikap yang justru semakin menenggelamkan wanita `macho` dan pria `melambai` adalah tidak adanya bentuk penerimaan yang positif dari lingkungan sekitar terhadap mereka. Pria yang feminine atau melambai akan mengalami kesulitan untuk berada di dunia lelaki karena ia akan dianggap sebagai laki-laki yang tidak gentle. Biasanya di usia sekolah, orang yang seperti ini akan sering menjadi korban bullying. Begitu juga sebaliknya, wanita yang maskulin juga akan sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari teman wanita yang lain, bahkan lebih cenderung dihindari. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi merasa terpinggirkan dan terisolir dari kehidupan, jadilah mereka membentuk komunitas sendiri yaitu komunitas para wanita `macho` dan para pria `melambai`.
Ahli psikologi berpendapat bahwa salah satu terapi untuk mengembalikan ke-femininan seorang wanita `macho` dan  ke-maskulinan pria `melambai` adalah hendaknya mereka berkumpul dan bergaul dengan komunitas sebenarnya, yaitu mereka berkumpul dan bergaul dengan wanita `sebenarnya` dan pria `sebenarnya`. Semakin mereka terpinggirkan dari komunitas aslinya, maka semakin terperosoklah mereka ke dalam `dunia baru` mereka.
Cara lain untuk mengembalikan `wanita macho` dan `pria melambai` adalah mencari sosok figure sejati, baik itu dari lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Misalkan ada seorang `wanita macho` maka hendaklah ibunya di lingkungan keluarga, Ibu guru di lingkungan sekolah ataupun seorang wanita ideal di lingkungan masyarakat mampu menampilkan sosok wanita sejati yang menjadi idola wanita `macho` tersebut dan mampu membimbing dia menjadi `wanita sejati` kembali. Begitupun sebaliknya hendaklah seorang ayah, bapak guru ataupun siapa saja mampu menampilkan sosok pria sejati yang mampu diteladani oleh `pria melambai` tersebut.
Cara lain adalah dengan melibatkan mereka dalam olahraga dan kegiatan yang menunjang mereka untuk kembali menemukan jati diri mereka. Bersepeda, sepakbola, jogging ataupun hiking adalah olahraga yang bisa disarankan kepada `pria melambai`; menari, melukis, memasak ataupun bermain drama adalah kegiatan yang mampu mengembalikan `wanita macho` menjadi wanita sejati kembali.
Akhirnya yang harus kita fahami dan sadari adalah “Tidak semua feminin dalam diri seorang laki-laki itu jelek. Begitu juga tidak semua maskulin dalam diri seorang wanita itu buruk. Semuanya hanya butuh tempat yang sesuai untuk didudukkan sesuai dengan porsinya”. Wallahu `alam.