Jumat, 13 Desember 2013

Catatan kecil perjalanan hidupku



Keluargaku Syurgaku
Keberkahan Pernikahan
Sudah menjadi sebuah rahasia umum ketika seorang pemuda ataupun pemudi merasa ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan, padahal melihat usia dan kemampuan secara materi mereka telah dikategorikan mampu… banyak alasan yang terlontar, belum siap mentallah; belum siap materilah dan lain sebagainya… mereka lupa bahwa Allah telah menjanjikan untuk memberikan keberkahan bagi mereka yang melangsungkan pernikahan (H.R Imam yang empat dan bersumber dari Abu Hurairah). dalam tulisan ini saya mencoba untuk berbagi pengalaman tentang keberkahan sebuah pernikahan… mudah-mudahan ada pembelajaran bagi kita semua…
Nopember 1999 aku berhasil menyelesaikan perkuliahan S-1 ku, di sinilah awal perjalanan kehidupan sesungguhnya. Dengan gelar yang kusandang dan Ijazah yang kugenggam ternyata tidak menjadi jaminan untuk memperoleh pekerjaan dengan mudah (persis kayak lagu `Sarjana Muda` nya Iwan Fals). Ber bulan-bulan kulangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain tapi ternyata harapan tinggallah harapan, apa yang kuinginkan tuk memperoleh pekerjaan tak jua tergapai.
Juli 2000 dengan perasaan harap-harap cemas aku masukkan lamaran kerja tuk mengajar di pesantren almamaterku, Alhamdulillah dengan kekuasaan dan kehendak-Nya aku diterima untuk mengajar di tempat yang dulu aku pernah mengenyam ilmu di sana. Agustus 2000 sebulan menjelang usiaku masuk tahun ke-25 aku berubah status menjadi seorang pengajar/guru atau Ustadz sebutan di sekolahku, yang tentu saja sebutan ini mempunyai konsepsi makna yang lebih mendalam dari sekedar seorang guru atau pengajar.
Januari 2001 tepatnya hari Rabu tanggal 03, aku resmi mengikat sumpah setia melalui ikatan perkawinan dengan seorang wanita yang telah lama aku kenal  -maklum wanita tersebut adalah seorang WTS (Wanita Tetangga Sebelah) he… jadi kami sudah saling mengenal cukup lama. Awal rencana pernikahan sempat mendapat tantangan dari saudara-saudara saya, mengingat usia saya baru 25 th, sementara kakak-kakak laki-laki saya rata-rata menikah di usia lebih dari 26 th; namun dengan sebuah keyakinan bahwa tidak akan menjadi kaya dan bahagia seorang laki-laki kalau hidup terus membujang dan keyakinan bahwa pernikahan akan menjadikan keberkahan hidup, saya tetap bulatkan tekad untuk tetap melangsungkan pernikahan tersebut.
Dengan hanya pendapatan Rp. 175.000/bulan (seingat saya) kami menjalani kehidupan rumah tangga dengan sederhana dan bahagia. Saya berangkat ngajar dengan naik sepeda yang dibeli dari tetangga dengan harga Rp. 200.000 sementara istri berangkat ke tempat kerja dengan menggunakan kendaraan umum (angkot). Rutinitas keseharian pun kami jalani dengan riang gembira. Sesuatu yang tak disadari tapi justru menjadi keberkahan dalam rumah tangga kami adalah, saya tidak pernah pegang uang, artinya bab keuangan menjadi urusan utama istri… dan Alhamdulillah istri saya adalah seorang pengelola keuangan yang baik (maklum di tempat kerjanya pun, istriku sebagai pengurus keuangan)… namun walaupun saya tidak pegang uang, namun segala hal yang saya inginkan bias terpenuhi Alhamdulillah.

Banyak Anak Banyak Rezeki
Peribahasa `Banyak Anak Banyak Rezeki` ternyata dapat saya rasakan; meskipun pepatah ini banyak yang menentang dan tidak percaya, tapi Alhamdulillah ternyata pepatah itu terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami.
Desember 2001 tepatnya hari Jum`at tanggal 06 lahirlah putra sulung kami berjenis kelamin laki-laki dan kami beri nama Shalahuddin Rabbani al-`Abqari dengan nama panggilan Bani. Di sinilah bukti kebenaran akan janji Allah bahwa setiap makhluk yang dilahirkan pasti membawa rizkinya masing-masing. Seiring dengan pertumbuhan putra kami yang pertama, kami membuka warung kecil-kecilan di rumah kami. Ternyata dengan membuka warung kecil-kecilan tersebut membuka pintu rezeki bagi kami, minimal  dapat memperpanjang dan mengolah rizki yang kami peroleh
Nopember 2004 tepatnya hari Jum`at tanggal 12 lahirlah putra kedua kami, dan kembali jenis kelamin laki-laki yang Allah rizkikan kepada kami. Salman Muzakki Rabbani nama yang kami berikan untu anak yang kedua tersebut. Kembali Allah memberikan anugerahnya kepada kami seiring dengan kelahiran putra ke-2 kami, yaitu kami dapat membangun sebuah rumah, walaupun tidak besar dan mewah seperti dalam sinetron-sinetron Indonesia, tapi cukuplah rumah tersebut sebagai tempat kami untuk berlindung dari terik panasnya matahari dan dinginnya air hujan (kayak lagu `Gelandangan` nya Bung. Rhoma Irama he…).
Tahun 2006 karena kesibukan dan tak bisa membagi waktunya kami antara kegiatan di sekolah dengan di rumah, maka warung kecil-kecilan yang telah kami rintis selama lima tahun akhirnya tutup, sehingga kami hanya mengandalkan penghasilan kami berdua dari sekolah. Walaupun pendapatan kami – atau secara umum asatidz yang mengajar di pesantren- tidaklah sebesar dengan pendapatan guru-guru PNS, namun keberkahan dari penghasilan tersebut yang kami rasakan. Walaupun masih jauh dari UMR pendapatan kami sebulannya, namun kami merasakan tidak pernah kesulitan dalam masalah materi, mudah-mudahan ini adalah keberkahan Allah yang diberikan kepada kami.
Tahun 2008 tepatnya hari Jum`at 05 September lahirlah putra kami yang ketiga, dan Alhamdulillah Allah memberikan kepercayaan kepada kami untuk memiliki seorang putri, kami memberinya nama Shabria Putri `Izzati Ramadhani. Kembali Allah memberi bukti kekuasaannya, seiring dengan pertumbuhan putra kami yang ketiga, Allah membukakan pintu rizkinya bagi kami melalui usaha konveksi yang coba kami rintis. Sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang Alhamdulillah usaha tersebut masih berjalan, meskipun tidak dalam skala besar, namun cukup bagi kami untuk tetap mensyukuri akan nikmat Allah tersebut. Tahun 2012 alhamdulillah saya dapat menyelesaikan S-2 dan anak pertama saya duduk di kelas 5 sedangkan anak ke-2 duduk di kelas 2.
Ada sesuatu yang unik dan indah dari peristiwa kelahiran ketiga putra kami; dilihat dari hari dan bulan semuanya sama. Ketiga putra kami lahir pada hari Jum`at yang merupakan hari besar bagi umat Islam; dan Ramadhan adalah bulan di mana ketiga putra kami lahir. Mudah-mudahan ini menjadi sebuah dorongan bagi putra-putri kami untuk menjadi orang-orang besar yang diberkahi oleh Allah SWT, amin!
Tahun 2013, tepatnya hari Ahad 21 Oktober lahir putra kami yang keempat, kembali Allah memberi amanat putra kami yang ke -4 dengan berjenis kelamin laki-laki, Syahid Gerrard Burhani Putra kami beri nama putra kami ke-4 tersebut. Kelahiran putra kami keempat ini bersamaan dengan perjuangan bapaknya yang bulak-balik Garut – Jakarta selama satu tahun karena harus menjalani perkuliahan PPG (Pendidikan Profesi Garut) yang dilaksanakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selang dua bulan dari kelahiran putra ke-4 kami, Alhamdulillah saya pun selesai dalam kegiatan perkuliahannya. Sekali lagi, keagungan Allah menghampiri kami, awal Desember ini kami membangun lantai dua rumah kami, mudah-mudahan awal tahun baru 2014 dapat selesai, amin!
Kisah hidup saya di atas mungkin bukanlah gambaran keluarga yang ideal bagi sebagian orang, tapi saya harap kisah di atas  mudah-mudahan menjadi sebuah motivasi dan inspirasi kepada saudara-saudaraku yang masih betah men-JOMBLO dengan berbagai alasan klasiknya; ataupun mudah-mudahan menjadi sebuah PENDOBRAK bagi keluarga yang berkeyakinan `keluarga kecil bahagia` tapi justru merubah konsep dengan `Keluarga besar bahagia dan sejahtera` amin!

Kupersembahkan catatan kecil ini buat istriku tercinta: Ida Saja`ah yang telah rela menjadi bagian dari cita-cita hidupku di dunia ini.

Garut, Desember 2013

Senin, 21 Oktober 2013

Keagungan dan Kebermaknaan Sebuah Nama



Sebuah Renungan!
Keagungan dan kebermaknaan di balik sebuah nama
William Shakespeare (1564-1616) seorang seniman besar berkebangsaan Inggris pernah menulis `Apalah arti dalam sebuah nama?` mungkin menurut dia nama tidaklah menjadi sesuatu hal penting dan utama, namun yang paling penting adalah eksistensi dan kebermaknaan itu sendiri yang dapat dirasakan. Benarkah demikian? Sepintas pernyataan Shakespeare tersebut dirasa benar, terkadang kita atau satu waktu kita terjebak dalam prinsip tersebut, kita lebih mengutamakan sesuatu yang dirasakan enak, nikmat, indah ataupun perasaan yang dapat menentramkan jiwa tanpa peduli nama sesuatu yang dapat memberikan semua itu.
Bagaimana Islam memandang tentang hal ini? Ternyata Islam memberikan pandangan yang lain tentang makna dalam sebuah nama (terutama kaitannya dengan nama seorang manusia). Islam memberikan sebuah tuntunan dan syari`at kepada umatnya untuk memberikan nama sesuatu dengan hal yang baik dan indah karena menurut hadits Rasulullah saw `sesungguhnya Allah itu Indah dan Dia menyukai keindahan`. Kaitannya dengan nama seseorang malah Islam memberikan satu perintah kepada para orang tua untuk memberikan nama yang baik dan indah untuk anak-anaknya. Dalam sebuah Atsar dijelaskan `Hak anak dari orang tuanya adalah dibaikkan akhlaknya dan diberi nama yang baik` (Kitab Minhajul Muslim, 76); bahkan Rasulullah saw dalam beberapa haditsnya melarang untuk memberikan nama seseorang yang berkonotasi jelek seperti Yasar, Rabah, Najih dan Aflah (Muslim, kitabul Adab no. 3985). Dalam konteks yang lain jumhur ulama mengatakan bahwa nama dari seseorang merupakan do`a dan harapan dari orang tuanya.
Allah SWT sendiri sudah memberikan aturan tentang masalah nama seseorang itu, yaitu tidak boleh kita memanggil seseorang dengan panggilan yang jelek ` Janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk setelah iman` (Q.S al-Hujurat, 49; 11). Ayat ini begitu jelas mengajarkan kita untuk tidak memanggil seseorang dengan panggilan dan sebutan yang jelek dan tidak pantas.
Namun, realita yang terjadi pada saat ini… mulai dari anak kecil, remaja, pemuda, orang dewasa bahkan ada sebagian orang tua yang dengan tenang dan tidak merasa bersalah mereka saling menyapa dan berbicara dengan panggilan dan sebutan yang tidak layak. Mereka sudah terbiasa dengan sebutan an****, ba** atau panggilan-panggilan lainnya yang tidak pantas dan layak diucapkan oleh mereka yang berpendidikan dan lebih jauhnya oleh mereka yang mengaku seorang Muslim.
Selanjutnya, ada satu fenomena yang cukup menarik sekaligus memprihatinkan yang terjadi di kalangan para santri (khususnya di Pesantren Persis Tarogong atau mungkin terjadi di tempat yang lain); yaitu tatkala terjadinya dialog atau saling panggilnya para santri (khususnya di kalangan santri putra/RG) yaitu dengan panggilan nama orang tuanya secara langsung tanpa embel-embel `Pa/bapak` atau `Bu/ibu`. Contoh ketika Ahmad memanggil temannya yang bernama Roni dan mempunyai bapak bernama Umar… maka Ahmad memanggil Roni bukan `Roni` tapi memanggilnya `Umar` dan lebih menyedihkannya lagi intonasi dan gaya ngomongnya seperti sedang melecehkan; sehingga terkadang peristiwa ini menjadi sebuah problematika social yang terjadi di dalam kelas, Karena tidak sedikit dengan fenomena ini terjadinya unsur kekeresan seperti perkelahian, pendeskriditan seseorang bahkan pelecehan terhadap satu individu.
Dari pengamatan dan pengalaman penulis ternyata fenomena ini menjadi sebuah hal yang menjadi turun temurun dari generasi ke generasi; dan penulis tidak tahu latar belakang dan asal usul kenapa fenomena seperti ini bisa terjadi. Padahal Islam telah memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana kewajiban seorang anak untuk menghormati kedua orang tuanya, dan akan dianggap menjadi anak durhaka ketika seorang anak tidak menghormati kedua orang tuanya. Mungkin mereka tidak sadar bahwa ketika kita melecehkan orang tua teman kita berarti kita telah melecehkan orang tua sendiri. Rasulullah pernah bersabda `Orang yang memaki kedua orang tuanya termasuk dosa besar; ada orang bertanya `adakah orang memaki kedua orang tuanya? Rasulullah menjawab `ya… ia memaki ayah orang lain, maka orang tersebut balik memaki ayahnya… (H.R Bukhari Muslim bab. Kebaikan dan silaturahmi).
Dari hadits di atas memberi penjelasan ketika kita memaki ayah seseorang, berarti kita telah memaki ayah kita sendiri; ketika kita mencela ibu orang lain, berarti kita telah mencela ibu kita sendiri. Marilah kita renungkan!
Fenomena lain yang terjadi di kalangan para santri/wati adalah penyebutan atau pemanggilan kepada sebagian/seluruh Asatidz dengan menggunakan Akronim nama. Fenomena ini juga muncul sedemikian rupa dan terjadi di setiap angkatan. Panggilan nama Ust. AL, Ust. UL, Ust. IB dan yang lainnya menjadi sebuah warna lain di kehidupan social di kalangan santri akhir-akhir ini. Pertanyaannya layakkah panggilan seperti itu?
Kalau kita mencoba melihat realita yang terjadi saat ini, khususnya di Negara Indonesia, maka panggilan-panggilan yang menggunakan akronim nama adalah bagi mereka yang berbuat kejahatan atau tindakan criminal. Kita sering membaca di media cetak atau mendengar di media elektronik sebutan AQJ (Abdul Qadir Jaelani) untuk seorang yang telah melakukan pelanggaran lalulintas; panggilan AM (Andi Malarangeng) yang tersangkut kasus korupsi Hambalang; nama LHI (Luthfi Hasan Ishaq) untuk seorang yang tersangkut kasus korupsi daging sapi impor ataupun akronim-akronim lain yang ditujukan bagi mereka yang telah melakukan kejahatan. Pertanyaannya: apakah panggilan-panggilan untuk seorang Ust dengan menggunakan akronim nama karena terinspirasi oleh hal tersebut? Maka kalau ya, alangkah berdosanya kita karena telah menggunakan panggilan yang mungkin tidak baik untuk digunakan; tapi kalau mungkin bukan, ada alasan yang lain? Wallahu `alam.
Sangat miris kalau kita mencoba membandingkan bagaimana mereka (santriwati khususnya) melabeli nama-nama mereka dengan panggilan-panggilan dengan nama-nama mirip kepunyaan bangsa lain (Korea-red) mereka begitu bangganya menuliskan nama-nama mereka dengan panggilan yang menurut mereka lebih keren dan lebih gaya; mereka lupa bahwa orang tua memberi nama kepada mereka dengan berbagai harapan dan do`a agar mereka menjadi anak yang baik, sholeh/ah… pertanyaannya lagi: tidakkah ini sebuah bentuk kedurhakaan kita kepada orang tua? Wallahu `alam!
Sekali lagi untuk kita renungkan… Nama pemberian orang tua adalah keberkahan bagi kita dengan berbagai harapan dan do`a; masihkah kita minder dengan nama-nama pemberian orang tua kita dan lebih bangga dengan nama-nama orang lain tanpa ada makna???

irwan.burhanudin@yahoo.co.id

Kamis, 17 Oktober 2013

Tafsir Q.S asy-Syams ayat 9-10



Muhasabah

AKHLAQ TERHADAP DIRI
Oleh : Abu Rabbani

قال الله تعالى : قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها (9) وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها (10)

Тerkadang kita terlupa bahwa,kita mempunyai kewajiban yang harus kita berikan terhadap diri kita sendiri. Kita lupa bahwa telinga, mata, hidung, mulut, tangan, kaki, dan semua anggota tubuh kita mempunyai hak yang harus mereka terima dari kita. Hak anggota tubuh yang harus kita berikan adalah berupa pendayagunaan mereka sesuai dengan fithrah yang Allah tentukan bagi mereka. Mata berhak untuk digunakan demi melihat kebesaran dan keAgungan Allah SWT; mulut berhak untuk selalu melafalkan lafadz-lafadz Allah; begitu juga seluruh anggota tubuh kita berhak untuk mengekspresikan kewajiban mereka yaitu Tunduk dan Patuh akan Kebesaran Allah SWT.
Namun berdasarkan firman Allah SWt surat Asy-Syams (Q.s 91; 9-10) ternyata ada dua sikap manusia dalam memperlakukan dirinya; pertama adalah mereka yang memperlakukan dirinya dengan sikap mahmudah (akhak yang baik), sedang kedua bersikap madzmumah (akhlak yang jelek). Kapan manusia dikategorikan bersikap mahmudah terhadap dirinya sendiri? Dan kapan manusia bersikap madzmumah terhadap dirinya?
Berdasar firman Allah SWT “ sungguh telah beruntung orang yang membersihkan dirinya “ (Q.s asy-Syams, 91:9) maka berdasar ayat tersebut orang yang berakhlakul mahmudah terhadap dirinya adalah ketika ia mampu membersihkan jiwanya dari kotoran-kotoran. Makna membersihkan kotoran di sini bukan makna dhohiriah, yang dimaksud kotoran disini adalah segala sesuatu yang akan mencemari dan mengotori akidah dan keimanan yang dimiliki oleh seorang muslim. Insya Allah mengenai kotoran  ini akan terbahas pada ayat ke-10 dari surat asy-Syams.
Abu Bakar jabir al-jazairi dalam kitabnya Minhajul Muslim mengungkapkan bahwa ada empat (4) langkah yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk membersihkan dirinya :
1.                  Taubat, tentu ketika seseorang ingin mebersihkan jiwanya langkah pertama yang harus ditempuh adalah memohon ampun dulu kepada Allah SWT dari segala dosa yang telah ia perbuat. Banyak sekali ayat al-Quran yang memerintahkan seseorang untuk bertaubat kepada Allah SWT. Diantaranya tertera dalam surat at-Tahrim (Qs 66:8).
2.                  al-Muroqobah, ketika seorang muslim sudah melaksanakan taubat maka langkah selanjutnya adalah mencoba untuk mendekatkan diri kepa Allah SWT. Karena bagi seorang muslim kedekatan diri dengan Allah merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Ketika seseorang telah dekat dengan Allah maka ia semakin dekat dengan Ridla-Nya. Kedekatan kepada Allah bisa tercermin dari seberapa jauhnya ia bisa melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
3.                  al-Muhasabah (introspeksi diri) untu mengetahui jauh dekatnya diri kita dengan Allah SWT, tentu kiranya kita perlu control terhadap apa yang telah kita lakukan. Maka Allah memerintahkan kepada kita untuk selalu bermuhasabah diri sebelum nanti dihisab oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT “Bacalah kitabmu! Cukuplah hari ini dirimu yang menghisabnya “ (Q.s al-Isra, 17:14). Sahabat Umar bin Khatab pernah berkata “ Hisablah diri kalian sebelum nanti dihisab oleh Allah SWT”.
4.                  al-Mujahadah (bersungguh-sungguh) ketika control  diri telah berjalan, maka sikap terakhir yang harus dimiiki oleh seorang muslim adalah bersungguh-sungguh untuk mencapai keridlaan Allah SWT. Ketika ia menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam beramal shalih maka tentu ia akan bersegera untuk menggapai Ridha Allah SWT. 
Sikap yang kedua adalah sikap Madzmumah (akhlak jelek) berdasakan firman Allah SWT Q.s asy-Syams (91:10) “dan sungguh celaka oang yang mengotori jiwanya”. Kotornya jiwa seseoang adalah tatkala ia mencampurkan ketauhidan dengan kemusyikan, sunnah dengan bid`ah, ikhlas dengan riya, keimanan dengan kedzaliman. Ada beberapa penyakit jiwa yang sangat berperan dalam mengotori jiwa seseorang.
1)                  Musyrik, ini adalah dosa yang paling berperan dalam mengotori jiwa seseorang, bahkan Allah mengancam tidak akan mengampuni bila seseorang berbuat kemusyikan (Q.s an-Nisa, 4: 48).
2)                  Riya, perbuatan ini adalah suatu penyakit yang paling membahayakan bagi keimanan seseoang. Kenapa disebut paling membahayakan, karena sikap ini kadangkala tidak terasa oleh orang yang melakukannya. Rasulullah pernah besabda “ yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah adanya Syirik ashghar; para sahabat bertanya apa yang dimaksud dengan syirik ashghar itu, Rasulullah menjawab `Riya` (H.R Muttafaq `Alaih).
3)                  Dzalim, adalah pebuatan yang paling sering dilakukan oleh seseorang. Dzalim secara bahasa adalah `kegelapan` sedangkan makna lebih jauhnya adalah `menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Ketika seseorang sudah mengabaikan kewajiban ia untuk menyembah Allah SWT maka ia telah berbuat satu kedzaliman. Ketika seseorang menyalahgunakan fungsi salah satu anggota tubuhnya maka ia juga telah berbuat kedzaliman. Padahal Rasulullah sudah memberi peringatan keras untuk menjauhi sikap dzalim ini “ berhati-hatilah terhadap kedzaliman, Karena itu akan membuat kegelapan-kegelapan di hari kiamat” (H.R Muslim).
4)                  Hasud, sikap ini juga merupakan satu penyakit yang membahayakan bagi keimanan seseorang, karena dengan sikap ini akan memusnahkan segala amal shalih yang telah dilaksanakan oleh seseorang. Rasulullah juga sangat mewanti-wanti agar seorang muslim bisa menjauhi sikap hasud ini.
Itulah sebagian dari penyakit-penyakit yang akan mengotori jiwa seseorang. Apabila kita terpedaya oleh sikap-sikap di atas niscaya kita akan termasuk kepada orang-orang yang merugi.
Itulah kandungan ayat 9 dan 10 dari surat asy-Syams yang menjelaskan tentang adanya dua sikap manusia dalam memperlakukan dirinya sendiri, wallahu `alam bish-shawab. 


فإذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ

“Maka apabila kamu sudah bulat tekad, tawakkallah pada Allah”



Senin, 14 Oktober 2013

PEMIMPIN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN (Makalah)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Pembahasan
Setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri, hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits Rasulullah saw:
عن ابن عمر ر.ع قال: قال رسول الله ص.م " كلّكم راعٍ وكلّكم مسئول عن رعيّته... الحديث " متفق عليه
Artinya: Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw “Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian… al-hadits (Mutafaq `alaih).
Namun, terkadang  manusia lupa tentang  peranan dia sebagai seorang pemimpin dan terkadang dia tidak tahu bahwa kelak dia akan ditanya tentang kepemimpinannya; Atau terkadang ada manusia yang ditakdirkan menjadi seorang pemimpin tapi ia tidak tahu apa yang harus diperbuat sebagai seorang pemimpin. Disinilah diperlukan pengetahuan dan keilmuan tentang kepemimpinan, sehingga seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap dan bingung dengan jabatannya.
Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan masalah krisis kepemimpinan. Konon sangat suilt mencari kader-kader pemimpin pada berbagai tingkatan. Orang pada zaman sekarang cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak atau kurang peduli pada kepentingan orang lain, kepentingan lingkungannya. Krisis kepemimpinan ini disebabkan karena makin langkanya kepedulian pada kepentingan orang banyak, kepentingan lingkungannya. Sekurang-kurangnya terlihat ada tiga masalah mendasar yang menandai kekurangan ini. Pertama adanya krisis komitmen. Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan dalam kebersamaan.
Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya dengan kemampuan untuk menegakkan etika memikul amanah, setia pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya, kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang.
Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit. Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar, harus membaca, harus mempunyai pengetahuan mutakhir dan pemahamannya mengenai berbagai soal yang menyangkut kepentingan orang-orang yang dipimpin. Juga pemimpin itu harus memiliki kredibilitas dan integritas, dapat bertahan, serta melanjutkan misi kepemimpinannya. Kalau tidak, pemimpin itu hanya akan menjadi suatu karikatur yang akan menjadi cermin atau bahan tertawaan dalam kurun sejarah di kelak di kemudian hari.
Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam kepemimpinan adalah dalam hal pengambilan keputusan; terkadang hal ini menjadi perkara yang tidak mudah bagi seorang pemimpin untuk memutuskan suatu perkara. Terkadang ego, kepentingan, kondisi bawahan, hal yang menjadi pokok bahasan menjadi factor-faktor yang mempengaruhi seorang pemimpin dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam makalah singkat ini, kami membahas tentang kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang menjadi dua hal yang mutlak ada dalam kehidupan berorganisasi pada khususnya dan kehidupan manusia secara umum selaku makhluk social.
1.2  Rumusan dan Batasan Pembahasan
 Untuk lebih terarahnya makalah ini, maka kami membatasi permasalahan dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
a.       Apa pengertian dari kepemimpinan?
b.      Apa saja tipe-tipe kepemimpinan?
c.       Faktor apa saja yang mempengaruhi pengambilan keputusan seorang pemimpin?
d.      Tekhnik atau metode apa saja yang harus digunakan oleh seorang pemimpin dalam upaya pengambilan keputusan?
1.3  Tujuan Pembahasan
Dari rumusan dan batasan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang ingin kami capai dari makalah ini, yaitu:
a.       Mengetahui pengertian dari kepemimpinan;
b.      Mengetahui tipe-tipe kepemimpinan;
c.       Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan seorang pemimpin;
d.      Mengetahui tekhnik dan metode yang digunakan seorang pemimpin dalam upaya pengambilan keputusan.
1.4  Sistematika Pembahasan
Untuk lebih sistematisnya pembahasan ini, maka kami membagi makalah singkat ini menjadi empat (4) bab, yaitu:
BAB I. PENDAHULUAN, terdiri dari: Latar Belakang Pembahasan, Pembatasan dan Rumusan Pembahasan, Tujuan Pembahasan dan Sistematika Pembahasan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, terdiri dari: Pengertian Kepemimpinan, Syarat-Syarat Seorang Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan.
BAB III. PEMBAHASAN, terdiri dari: Pengambilan Keputusan, Langkah-Langkah Pengambilan Keputusan dan Peranan Pemimpin dalam Pengambilan Keputusan.
BAB IV. KESIMPULAN









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kepemimpinan
Leadership is capatibilty of persuading others to work together undertheir direction as a team to accomplish certain designated objectives (kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan tertentu), demikian tulis James M Black dalam bukunya Management, A guide to Executive Command.
Menurut Tead; Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership tersebut sebenarnya sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin (Moejiono, 2002).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok; kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
2.2 Syarat-Syarat Seorang Pemimpin
Siapa orang yang bisa diangkat atau dipilih untuk menjadi pemimpin? Tidak bisa sembarang orang bisa diangkat menjadi seorang pemimpin; karena ketika seseorang salah mengangkat pemimpin maka tunggulah kebinasaan, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw:
قال رسول الله ص.م: إذا وسَِد الأمرُ إِلى غير أهلِه فانْتظِر السّاعةَ . رواه البخاري
Artinya: Bersabda Rasulullah saw: `Barangsiapa menyerahkan suatu urusan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran` H.R Bukhari
 Untuk menjawab pertanyaan di atas perlulah kita menentukan kriteria yang akan dipakai untuk memilih pimpinan tersebut. Seorang pemimpin  paling sedikit mampu untuk memimpin para bawahan untuk mencapai tujuan organisasi dan juga mampu  menangani hubungan antar karyawan. Mempunyai interaksi antar personnel yang baik dan mempunyai kemampuan untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin di antaranya  adalah :
1. Keinginan Untuk Menerima Tanggung Jawab
Apabila seseorang telah  bersedia untuk  menerima kepercayaan diangkat sebagai seorang pemimpin, maka ia bertanggung jawab atas komitmen yang ia ucapkan ketika diangkat menjadi pemimpin. Disini pemimpin harus mampu mengatasi bawahannya, mengatasi tekanan kelompok informal, bahkan kalau perlu juga harus mampu mengatasi tekanan dari luar.
2. Kemampuan Untuk Bisa”Perceptive”
Perceptive menunjukan Kemampuan untuk mengamati atau menemukan kenyataan dari suatu lingkungan. Setiap pimpinan haruslah mengenali tujuan organisasi sehingga mereka bisa bekerja untuk membantu mencapai tujuan tersebut. Disini ia memerlukan kemampuan untuk untuk memahami bawahan, sehingga ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan mereka serta juga berbagai ambisi yang ada. Di samping itu pemimpin harus juga mempunyai persepsi instropektif ( menilai diri sendiri ) sehingga ia bisa mengetahui kekuatan, kelemahan dan tujuan yang layak baginya. Inilah yang disebut kemampuan “Perceptive”
3. Kemampuan untuk bersikap Objektif
Objektivitas adalah kemampuan untuk melihat suatu peristiwa atau merupakan perluasan dari kemampuan perceptive.Apabila perceptivitas menimbulkan kepekaan terhdap fakta, kejadian dan kenyatan-kenyatan yang lain. Objektivitas membantu pemimpin untuk meminimumkan faktor-faktor emosional dan pribadi yang mungkin mengaburkan realitas.

4. Kemampuan Untuk Menentukan Perioritas
Seorang pemimpin yang pandai adalah seseorang yang mempuanyai kemampuan untuk memiliki dan menentukan mana yang penting dan mana yang tidak. Kemampuan ini sangat diperlukan karena pada kenyataanya sering masalah-masalah yang harus dipecahkan bukan datang satu per satu tetapi seringkali masalah datang bersamaan dan berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
5. Kemampuan untuk berkomunikasi
Kemamapuan untuk memberikan dan menerima informasi merupakan keharusan bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang bekerja dengan menggunakan bantuan orang lain, karena itu pemberian perintah, penyampaian informasi kepada orang lain mutlak perlu dikuasai
2.3 Tipe-Tipe (Gaya) Kepemimpinan
Perilaku pemimpin ini disebut juga Gaya Kepemimpinan ( Style of Leadership ). Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang satu lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya.
Para ahli mencoba mengelompokkan gaya kepemimpinan dengan menggunakan suatu dasar tertentu. Dasar yang sering dipergunakan adalah tugas yang dirasakan harus dilakukakan oleh pemimpin, Kewajiban yang pimpinan harapakan diterima oleh bawahan dan falsafah yang dianut oleh pimpinan untuk pengembangan dan pemenuhan harapan para bawahan. Ada berbagai gaya kepemimpinan antara lain :
1.        The anthocratic leader
Seorang pemimpin yang otokratik menganggap bahwa semua kewajiban untuk mengambil keputusan, untuk menjalankan tindakan, dan untuk mengarahkan tindakan, dan untuk mengarahkan, memberi motivasi dan mengawasi bawahanya terpusat ditangannya. Seorang pemimpin yang otokratik mungkin memutuskan, dan punya perasaan bahwa bawahanya tidak mampu untuk baranggapan mempunyai posisi yang kuat untuk mengarahkan dan mengawasi pelaksanaan pekerjaaan dengan maksud untuk meminimumkan penyimpangan dari arah yang ia berikan.
2.        The Paticipative Leader
Apabila seseorang pemimpin menggunakan gaya partisipasi ia menjalankan kepemimpinan dengan konsultasi. Ia tidak mendelegasikan wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan pengarahan tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai keputusan yang akan diambil. Ia akan secara serius mendengarkan dan menilai pikiran –pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan pikiran mereka .Sejauh pemikiran tersebut bisa dipraktekan .Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan mengambil keputusan dari pada bawahanya sehingga pikiran –pikiran mereka akan selalu meningkat dan makin matang . Para bawahanya juga didorong agar meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih “ Supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi bersikap diktator. Meskipun tentu saja. Wewenang terakhir dalam penganbilan keputusan terletak pada pimpinan.
3.    The Free Rein Leader
Dalam gaya kepemimpinan “ Free rein “ pemimpin mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan kepada para bawahannya dengan agak lengkap. Pada prinsipnya pimpinan akan mengatakan “ inilah pekerjaan yang harus saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau mengerjakannya, asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik “. Disini pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan tersebut kepada para bawahanya. Dalam artian pimpinan menginginkan agar para bawahan bisa mengendaliakan diri mereka sendiri di dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut, dan hanya para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian yang tinggi .
.







BAB III
PEMBAHASAN
3.1    Pengambilan Keputusan
Salah satu peran dan fungsi seorang pemimpin adalah penentu keputusan bagi sebuah komunitas atau sebuah organisasi. Maka seorang atau sekelompok pemimpin dituntut oleh statusnya untuk memiliki kemampuan yang baik dalam pengambilan keputusan. Kemampuan yang baik dalam pengambilan keputusan harus tercermin pada tiga hal: cara, hasil keputusan dan kemampuan menyampaikan hasil keputusan. Hasil keputusan dari seorang pemimpin harus bisa diterima oleh orang-orang yang dipimpin; namun penerimaan tersebut sangat dipengaruhi oleh cara atau proses mengenai bagaimana keputusan itu diambil. Karena kewenangan yang dimiliki oleh pemimpin itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh orang-orang yang dipimpin, maka proses pengambilan keputusan harus bisa dikontrol dan dipertanggung-jawabkan kepada yang memberi wewenang.
Pemberian wewenang adalah wujud dari keinginan berkontribusi dari bawahan dalam pemberian keputusan sehingga dengan pengontrolan adalah wujud dari kontribusi bawahan terhadap pengambilan keputusan. Kontribusi yang diberikan kepada pemimpin tujuan akhirnya bukan kepada pemimpin itu sendiri, melainkan kontribusi terhadap usaha mewujudkan nilai-nilai dan cita-cita organisasi atau komunitas. Oleh karena itu proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin harus dipastikan selaras dengan nilai-nilai dan cita-cita organisasi atau komunitas. Maka menjadi jelas bahwa proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin harus transparan dan dapat diukur. Proses pengambilan keputusan yang tidak transparan dan tidak terukur secara hakiki menjadi proses pembusukan sebuah organisasi atau sebuah komunitas. Dan secara khusus akan menjadi proses pengeroposan kepemimpinan itu sendiri. Pengeroposan ini akan menjadikan kepemimpinan kehilangan legitimasi. Dan ketika kepemimpinan kehilangan legitimasi, maka kecenderungannya adalah – gaya kepemimpinan – semakin otoriter.
Untuk menghasilkan proses pengambilan keputusan yang baik, yang transparan dan terukur, pemimpin harus menetapkan mekanisme dan nilai-nilai acuan pengambilan yang dapat diakses oleh orang-orang yang dipimpin. Akses terhadap mekanisme dan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam pengambilan keputusan ini akan memungkinkan terjadinya kontribusi dan partisipasi yang lebih intens. Kontribusi dan partisipasi yang lebih intens ini akan semakin memperkokoh legitimasi pemimpin dan kualitas keputusan-keputusan yang dihasilkannya.
Apakah proses pengambilan keputusan yang baik seperti diatas dijamin menghasilkan keputusan-keputusan yang baik juga? Belum tentu. Hasil keputusan bisa bias oleh dua hal. Pertama, informasi yang tidak akurat. Oleh karena itu seorang atau sekelompok pemimpin harus memiliki kemampuan menghimpun dan menyeleksi informasi/data dengan baik. Kedua, motivasi dan kepentingan. Data yang baik, akurat, lengkap dan up to date bisa menghasilkan keputusan melenceng manakala ada motivasi, kepentingan dan niatan yang salah dari pemimpin. Siapa yang bisa mengontrol motivasi dan naiatan seseorang? Tentu tidak ada. Maka, setelah proses pengambilan keputusan, produk keputusan pemimpin harus juga bisa dikontrol. Alat kontrol produk keputusan pemimpin adalah: Pertama, seberapa sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam keputusan dengan nilai-nilai organisasi atau komunitas. Kedua, seberapa relevan keputusan itu dengan program, tema dan arah organisasi. Ketiga, seberapa keputusan itu memiliki daya terap (dapat dilaksanakan) bagi organisasi atau komunitas.
Pada akhirnya, keputusan yang baik adalah keputusan yang dapat dimengerti oleh orang-orang yang dipimpin. Maka kemampuan mengkomunikasikan hasil keputusan menjadi sangat penting. Apakah ini sesuatu yang berat? Tentu saja tidak. Karena, ketika proses pengambilan keputusan bersifat transparan dan terukur, ketika produk keputusan masih terbuka terhadap control mereka yang dipimpin, maka sudah dengan sendirinya produk keputusan pemimpin sudah dipahami oleh mereka yang dipimpin. Tetapi sayangnya banyak pemimpin yang karena sejak proses pengambilan keputusan tidak transparan dan terukur, serta tidak ada ruang partisipasi, maka hal mengkomunikasikan keputusan menjadi pekerjaan yang berat. Dan ketika orang-orang yang dipimpin tidak bisa mengerti produk-produk keputusannya, maka dengan mudah alamat kesalahan diarahkan kepada mereka yang dipimpin. Ketika terjadi situasi demikian, maka peluang berkembangnya gaya kepemimpinan yang otoriter semakin besar.
Pengambilan keputusan merupakan salah satu fungsi dari seorang pemimpin. Pengambilan keputusan merupakan proses penerjemahan dari sebuah keinginan-keinginan berbagai fihak.  Pengambilan keputusan adalah soal yang berat karena sering menyangkut kepentingan banyak orang.Tidak ada sesuatu yang pasti dalam pengambilan keputusan . Pemimpin harus memilih di antara alternatif yang ada dan kemungkinan implikasi atau akibat suatu pengambilan keputusan tertentu.
Pengambilan keputusan pada hakekatnya adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah . Pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan –tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat. Dari pengertian ini dapat diartikan beberapa hal.
Ø  Dalam proses pengambilan keputusan tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan.
Ø  Pengambilan keputusan harus didasarkan kepada sistematika tertentu, antara lain : dengan mempertimbangkan kemampuan organisasi, personnel yang tersedia, situasi lingkungan yang akan digunakan untuk melaksanakan keputusan yang diambil.
Ø  Sebelum suatu masalah dapat dipecahkan dengan baik, hakekat dari masalah tersebut harus diketahui dengan jelas.
Ø  Pemecahan masalah tidak dapat dilakukan dengan coba-coba tetapi harus didasarkan pada fakta yang terkumpul secara sistematis, baik dan dapat dipercaya.
Ø  Keputusan yang baik adalah keputusan yang diambil dari berbagi alternatif yang ada setelah alternatif-alternatif itu dianalisa secara matang.

3.2    Langkah-Langkah Pengambilan keputusan
Masalah yang dihadapi oleh seorang pemimpin terikat pada suatu tempat, situasi, orang dan waktu tertentu. Masalah dalam pengambilan keputusan senantiasa dihubungkan dengan tujuan yang jelas. Jenis-jenis masalah yang dihadapi oleh seorang pemimpin berdasarkan intensitas masalah dapat digolongkan menjadi masalah yang sederhana dan masalah yang komplek. Masalah yang sederhana ialah masalah yang mengandung ciri-ciri : kecil, berdiri sendiri dan tidak/kurang mempunyai kaitan dengan masalah lain. Pemecahannya biasanya tidak memerlukan pemikiran yang luas tetapi cukup dilakukan secara individual, yang umumnya didasarkan kepada pengalaman, informasi yang sederhana dan wewenang yang melekat pada jabatan.
Masalah yang komplek yaitu masalah yang mempunyai ciri-ciri : besar, tidak berdiri sendiri sendiri, berkaitan dengan masalah-masalah lain, dan, mempunyai akibat yang luas. Pemecahannya umumnya dilakukan bersamaan antara pimpinan dengan stafnya.
Dilihat dari faktor penyebabnya, masalah yang dihadapi dapat berupa masalah yang jelas penyebabnya (structure problem) dan masalah yang tidak. Jelas penyebabnya (unstructured problem). Masalah yang jelas penyebabnya, faktor penyebabnya jelas. bersifat rutin dan biasanya timbul berulang-ulang, sehingga pemecahannya dapat dilakukan dengan proses pengambilan keputusan yang bercorak rutin dan dibakukan. Proses pengambilan keputusannya pada dasarnya telah ditentukan langkah-langkah tertentu, relatif mudah untuk memperhitungkan hasil serta akibat-akibatnya.
Masalah yang tidak jelas penyebabnya yaitu masalah yang timbul sebagai kasus yang menyimpang dari masalah organisasl yang bersifat umum, faktor penyebabnya tidak jelas. Tehnik pengambilan keputusannya disebut non-programmed decision making technique, dimana diperlukan informasi tambahan, analisa, daya cipta, pertimbangan serta penilaian kasus.
Pengambilan keputusan antara lain juga diartikan sebagai suatu tehnik memecahkan suatu masalah dengan mempergunakan tehnik-tehnik ilmiah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ada 7 langkahyang perlu diambil dalam usaha memecahkan masalah dengan mempergunakan teknik-teknik ilmiah. Langkah-langkah itu adalah (Siagian SP, 1973) :
1.      Mengetahui hakekat dari pada masalah yang dihadapi, dengan perkataan lain mendefinisikan masalah yang dihadapi itu dengan setepat-tepatnya;
2.       Mengumpulkan fakta dan data yang relevant;
3.       Mengolah fakta dan data tersebut;
4.      Menentukan beberapa alternatif yang mungkin ditempuh;
5.      Memilih cara pemecahan dari alternatif-alternatif yang telah diolah dengan matang;
6.      Memutuskan tindakan apa yang hendak dilakukan;
7.      Menilai hasil-hasil yang diperoleh sebagai akibat daripada keputusan yang telah diambil.
Ketujuh langkah tersebut seolah-olah mudah untuk diambil, akan tetapi dalam kenyataannya yang telah diuji melalui berbagai eksperimen dan penelitian, pengambilan ketujuh langkah itu tidaklah mudah. Implikasinya ialah setiap pimpinan harus terus berusaha untuk meningkatkan kemampuannya mempergunakan tehnik-tehnik ilmiah dimaksud.
3.3    Peran Kepemimpinan Dalam Pengambilan Keputusan
Kepemimpinan seseorang dalam sebuah organisasi sangat besar perannya dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga membuat keputusan dan mengambil tanggung jawab terhadap hasilnya adalah salah satu tugas pemimpin; sehingga jika seorang pemimpin tidak mampu membuat keputusan, seharusnya dia tidak dapat menjadi pemimpin.  Pengambilan keputusan dalam tinjauan perilaku mencerminkan karakter bagi seorang pemimpin. Oleh sebab itu, untuk mengetahui baik tidaknya keputusan yang diambil bukan hanya dinilai dari konsekuensi yang ditimbulkannya, melainkan melalui berbagai pertimbangan dalam prosesnya. Kegiatan pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk kepemimpinan, sehingga:
1.      Teori keputusan merupakan metodologi untuk menstrukturkan dan menganalisis situasi yang tidak pasti atau berisiko, dalam konteks ini keputusan lebih bersifat perspektif daripada deskriptif;
2.      Pengambilan keputusan adalah proses mental dimana seorang manajer memperoleh dan menggunakan data dengan menanyakan hal lainnya, menggeser jawaban untuk menemukan informasi yang relevan dan menganalisis data; manajer, secara individual dan dalam tim, mengatur dan mengawasi informasi terutama informasi bisnisnya;
3.      Pengambilan keputusan adalah proses memilih di antara alternatif-alternatif tindakan untuk mengatasi masalah.
Dalam pelaksanaannya, pengambilan keputusan dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses dan gaya pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan; Prosesnya dilakukan melalui beberapa tahapan seperti:
a. Identifikasi masalah
b. Mendefinisikan masalah
c. Memformulasikan dan mengembangkan alternative
d. Implementasi keputusan
e. Evaluasi keputusan
Selain proses pengambilan keputusan, terdapat juga gaya pengambilan keputusan. Gaya adalah lear habit atau kebiasaan yang dipelajari. Gaya pengambilan keputusan merupakan kuadran yang dibatasi oleh dimensi:
1. Cara berpikir, terdiri dari:
a. Logis dan rasional; mengolah informasi secara serial
b. Intuitif dan kreatif; memahami sesuatu secara keseluruhan.
2. Toleransi terhadap ambiguitas
a. Kebutuhan yang tinggi untuk menstruktur informasi dengan cara meminimalkan ambiguitas
b. Kebutuhan yang rendah untuk menstruktur informasi, sehingga dapat memproses banyak pemikiran pada saat yang sama.
Kombinasi dari kedua dimensi diatas menghasilkan gaya pengambilan keputusan seperti:
1. Direktif = toleransi ambiguitas rendah dan mencari rasionalitas. Efisien, mengambil keputusan secara cepat dan berorientasi jangka pendek
2. Analitik = toleransi ambiguitas tinggi dan mencari rasionalitas. Pengambil keputusan yang cermat, mampu menyesuaikan diri dengan situasi baru
3. Konseptual = toleransi ambiguitas tinggi dan intuitif. Berorientasi jangka panjang, seringkali menekan solusi kreatif atas masalah
4. Behavioral = toleransi ambiguitas rendah dan intuitif. Mencoba menghindari konflik dan mengupayakan penerimaan.



















BAB IV
KESIMPULAN
Berdasar perumusan dan pembatasan pembahasan, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.      Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
2.      Ada tiga tipe gaya kepemimpinan yaitu:
a.       The Authocrhatic Leader
b.      The Parthicifative Leader
c.       The Free Rein Leader
3.      Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan seorang pemimpin sebagai berikut:
a.       Faktor ego (internal) dari diri seorang pemimpin;
b.      Kondisi bawahan;
c.       Masalah yang dihadapi (sulit/ringan) atau (sederhana/komplek).
4.      Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin ketika harus mengambil suatu keputusan, yaitu:
a.       Mengetahui hakekat dari pada masalah yang dihadapi, dengan perkataan lain mendefinisikan masalah yang dihadapi itu dengan setepat-tepatnya;
b.       Mengumpulkan fakta dan data yang relevant;
c.        Mengolah fakta dan data tersebut;
d.      Menentukan beberapa alternatif yang mungkin ditempuh;
e.         Memilih cara pemecahan dari alternatif-alternatif yang telah diolah dengan matang;
f.       Memutuskan tindakan apa yang hendak dilakukan;
g.      Menilai hasil-hasil yang diperoleh sebagai akibat daripada keputusan yang telah diambil.




irwan.burhanudin@yahoo.co.id