Feminitas dan
Maskulinitas Seorang Manusia
Oleh: Abu Rabbani
قال اللّه تعالى: وَخَلَقْنَاكُمْ
أَزْوَاجًا (النّبا: 8)
Artinya:
“Dan Kami telah ciptakan kalian berpasang-pasangan” (Q.S an-Naba, 78; 8).
Agar
terjadi keseimbangan dan dinamika, Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu
dengan berpasangan, diantaranya adalah penciptaan pria dan wanita. Wanita
adalah makhluk yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang tidak dimiliki
oleh seorang pria, artinya ada sifat-sifat wanita yang benar-benar khas wanita;
dan pria pun memiliki sifat-sifat unik yang tidak dimiliki wanita. Jika
digabungkan sifat-sifat unik ini akan saling melengkapi.
Sudah
menjadi kesepakatan tak tertulis di masyarakat apabila seorang wanita itu
identic dengan sifat lembut, rapih, penuh kasih sayang, pintar memasak, hidup
teratur, penyuka warna pink dan lain sebagainya yang menunjuk dia sebagai
seorang wanita; sementara seorang pria diidentikkan dengan sifat keras, urakan,
hidup semau gue, penyuka warna biru dan sifat lain yang menunjukkan dia sebagai
seorang pria yang macho. Padahal pemahaman ini tidak semuanya benar.
Allan
dan Barbara Pease dalam bukunya Sillyman from Mars, Pittywoman from Venus, menyebutkan
bahwa semua karakter atau sifat seseorang terbentuk karena kondisi sosial. Kita
ini siapa karena sikap orang tua dan orang di sekeliling kita yang secara turun
temurun merefleksikan nilai tertentu. Seorang wanita bisa menjadi seorang
wanita yang benar-benar feminine ketika lingkungan di sekitar mendukung untuk
itu; begitu juga laki-laki dia akan menjadi seorang pria macho apabila
lingkungan mendukung untuk menjadikannya dia macho. Tapi sebaliknya akan ada
seorang wanita `macho` dan seorang pria `feminine` karena lingkungan sekitarnya
merubah dia untuk menjadi seperti itu.
Yang
perlu kita sadari adalah secara psikologis, sebenarnya sifat-sifat maskulin dan
feminin itu berada dalam satu garis. Setiap orang, wanita dan laki-laki
memiliki kedua kecenderungan itu dalam proporsi yang berbeda. Anak perempuan
memang akan lebih didominasi oleh ciri-ciri feminin, meski mereka juga memiliki
ciri maskulin dalam derajat tertentu. Sebaliknya, anak laki-laki akan memiliki
ciri maskulin yang dominan. Dalam realita yang terjadi kenapa ada perempuan
`macho` dan pria `feminine` atau istilah anak muda sekarang pria yang melambai.
Maka merujuk kepada teori di atas, wanita `macho` terlahir karena sifat
maskulin yang ada pada dirinya melebihi sifat femininnya; pria `melambai` juga
terlahir karena sifat feminine yang ada pada dirinya melebihi sifat
maskulinnya. Selanjutnya kondisi ini diperparah oleh lingkungannya, baik
keluarga, sekolah, atau masyarakat di sekitar mereka.
Salah
satu bentuk sikap yang justru semakin menenggelamkan wanita `macho` dan pria `melambai`
adalah tidak adanya bentuk penerimaan yang positif dari lingkungan sekitar
terhadap mereka. Pria yang feminine atau melambai akan mengalami kesulitan
untuk berada di dunia lelaki karena ia akan dianggap sebagai laki-laki yang
tidak gentle. Biasanya di usia sekolah, orang yang seperti ini akan
sering menjadi korban bullying. Begitu juga sebaliknya, wanita yang
maskulin juga akan sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari teman wanita yang
lain, bahkan lebih cenderung dihindari. Dengan kondisi seperti ini, mereka
menjadi merasa terpinggirkan dan terisolir dari kehidupan, jadilah mereka
membentuk komunitas sendiri yaitu komunitas para wanita `macho` dan para pria `melambai`.
Ahli
psikologi berpendapat bahwa salah satu terapi untuk mengembalikan ke-femininan
seorang wanita `macho` dan ke-maskulinan
pria `melambai` adalah hendaknya mereka berkumpul dan bergaul dengan komunitas
sebenarnya, yaitu mereka berkumpul dan bergaul dengan wanita `sebenarnya` dan
pria `sebenarnya`. Semakin mereka terpinggirkan dari komunitas aslinya, maka
semakin terperosoklah mereka ke dalam `dunia baru` mereka.
Cara
lain untuk mengembalikan `wanita macho` dan `pria melambai` adalah mencari sosok
figure sejati, baik itu dari lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat.
Misalkan ada seorang `wanita macho` maka hendaklah ibunya di lingkungan
keluarga, Ibu guru di lingkungan sekolah ataupun seorang wanita ideal di
lingkungan masyarakat mampu menampilkan sosok wanita sejati yang menjadi idola
wanita `macho` tersebut dan mampu membimbing dia menjadi `wanita sejati`
kembali. Begitupun sebaliknya hendaklah seorang ayah, bapak guru ataupun siapa
saja mampu menampilkan sosok pria sejati yang mampu diteladani oleh `pria
melambai` tersebut.
Cara
lain adalah dengan melibatkan mereka dalam olahraga dan kegiatan yang menunjang
mereka untuk kembali menemukan jati diri mereka. Bersepeda, sepakbola, jogging
ataupun hiking adalah olahraga yang bisa disarankan kepada `pria melambai`;
menari, melukis, memasak ataupun bermain drama adalah kegiatan yang mampu
mengembalikan `wanita macho` menjadi wanita sejati kembali.
Akhirnya
yang harus kita fahami dan sadari adalah “Tidak semua feminin dalam diri
seorang laki-laki itu jelek. Begitu juga tidak semua maskulin dalam diri
seorang wanita itu buruk. Semuanya hanya butuh tempat yang sesuai untuk
didudukkan sesuai dengan porsinya”. Wallahu `alam.