SANTRI : ANTARA JATI DIRI & POTENSI DIRI
Oleh : Abu Rabbani
Allah berfirman:
Artinya :Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. (Q.S at-Taubah, 9:122)
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2005;997) kata `santri` diartikan sebagai (1) orang yang mendalami
agama Islam; (2) orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah; (3) orang
shalih. Sedangkan kata `Pesantren` diartikan tempat berkumpulnya para santri,
yang mengandung makna pesantren adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang
mendalami ajaran Islam, tempat berkumpulnya orang-orang yang bersungguh-sungguh
dalam ibadahnya; serta tempat berkumpulnya orang-orang yang shalih.
Kalau kita merajut kembali
perjalanan sejarah negeri ini, maka kita akan mendapatkan fakta sejarah bahwa
pesantren beserta para santri dan kyai mempunyai peranan penting dalam tonggak
sejarah perjuangan melawan para penjajah, baik pra-kemerdekaan ataupun
pasca-kemerdekaan negara Indonesia
tercinta ini. Sejarah menyebutkan bahwa ketika para penjajah menduduki negri
ini - baik tentara Belanda, Portugis, Jepang ataupun tentara sekutu - maka yang
pertama kali mempelopori dan mengobarkan semangat perjuangan adalah para kyai dan dibantu oleh para
santrinya. Kita tidak perlu heran kalau dalam sejarah membaca dan mendengar
nama Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Tjut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro,
Sentot Ali Basyah, dan banyak lagi nama yang bernuansa Islami, dan hal itu
tidak mengherankan karena kalau kita telusuri ternyata mereka adalah para
pahlawan yang mengawali perjuangan dan perlawanan
terhadap para penjajah dari pesantren.
Ketika kemerdekaan tergapai
oleh negeri ini, bukan berarti bangsa Indonesia ini terbebas dari
penjajahan seutuhnya. Ketika para
penjajah asing telah lenyap, maka bermunculanlah pemberontakan-pemberontakan
yang dilakukan oleh anak bangsa sendiri dengan tujuan untuk mengacaukan kondisi
negeri ini; kita mengenal gerakan 30/s PKI, DI/TII, Daud beureuh, dan yang
lainnya. Ketika kekacauan-kekacauan ini mulai meresahkan rakyat Indonesia,
maka para ulama dan santrinya bekerja sama dengan TNI kembali bergerak untuk
melumpuhkan gerakan-gerakan mereka. Sehingga dengan kegigihan perjuangan mereka
negeri ini terrbebas secara mutlak dari penjajahan-penjajahan yang sifatnya
secara fisik. Begitulah sedikit kilas balik sejarah perjalanan santri yang
mempunyai peranan sangat penting dalam sejarah perjalanan negri ini.
Dahulu, kaum santri sangat
dihormati dan dikagumi di kalangan masyarakat; hal ini tidak terlepas dari ilmu
yang mereka miliki, juga sopan santun dan akhlak terpuji yang mereka
perlihatkan. Seorang santri dahulu selalu identik dengan baju koko, kopiah, dan
sarung yang mereka kenakan; kita akan jarang melihat atau bahkan tidak akan
melihat seorang santri memakai kaos oblong ataupun celana pendek dihadapan
umum, karena hal ini akan menurunkan kredibilitas dan wibawa dia sebagai
seorang santri. Namun di samping kesan positif yang dimiliki oleh para santri,
ada juga label jelek yang biasa disematkan pada para santri, yaitu santri
budug, santri jorok, dan yang lainnya; hal ini terjadi karena, kebanyakan santri
yang belajar di pesantren biasanya mempunyai satu penyakit yaitu korengan
(budug) hal ini diakibatkan dahulu para santri jarang memperhatikan kebersihan
diri dan lingkungan.
Seiring perjalanan waktu dan
zaman, posisi dan kredibilitas santri mulai dipertanyakan? Hal ini disebabkan
oleh tingkah laku dan sopan santun yang diperlihatkan oleh para santri. Santri
pada saat ini tidak beda jauh dengan pelajar yang menuntut ilmu di
sekolah-sekolah umum; baik dari segi penampilan, pakaian, bacaan dan lainnya.
Sehingga tidak perlu heran kalau pada saat ini kita melihat seorang santri
dengan pakaian yang amburadul, celana dipelorotin, rambut yang di mohax ataupun
zigzag, bahkan ada santri yang tidak segan dan malu-malu makan, minum, bahkan
merokok sambil jalan-jalan.
Hal ini berlaku juga bagi
santri perempuan (santriwati); tidak sedikit kita melihat seorang santriwati
yang malu memperlihatkan identitas diri sebagai seorang santriwati, yaitu
memakai jilbab; atau juga tidak sedikit santriwati yang sudah berani menulis surat ataupun SMS-an
dengan lawan jenis, bahkan lebih parah ada santriwati yang sudah berani pacaran
di depan umum, padahal dahulu hal ini sangat tabu sekali. Selain itu ada
kebiasaan lain yang muncul dalam diri santri, yaitu mereka mulai suka
bergerombol dengan teman satu kelompoknya (gank) dan berkeliaran tanpa
menghiraukan identitas diri sebagai seorang santri.
Selain karena tingkah laku
dan sopan santun yang dipertanyakan, keilmuan yang dimiliki oleh santri
terutama yang berkaitan dengan pendidikan agama pada saat ini juga patut
dipertanyakan? Cukup mengherankan adalah, tidak sedikit para santri yang
belajar di pesantren mereka justru lebih bangga kalau pintar/mahir dalam
pelajaran umum (matematika, Bahasa Inggris, red) daripada pendidikan agama.
Kadangkala mereka tidak peduli kalau tidak bisa Bahasa Arab, tidak hafal
hadits, ataupun yang lebih parah adalah banyak santri yang tidak peduli kalau
dia tidak bisa membaca al-Quran, sehingga ketika mereka terjun ke masyarakat
mereka tidak siap menyandang gelar sebagai santri lulusan pesantren karena ilmu
agama yang mereka miliki. Pertanyaannya, siapakah yang salah? Santrinya,
Pesantrennya, system pendidikannya, ataukah paradigma berfikirnya yang salah?
Namun yang perlu disadari
bahwa santri adalah manusia biasa, sama dengan anak ataupun pelajar yang lain.
Mereka punya potensi, kemampuan, dan kemauan. Maka jangan heran kalau ada
santri yang melanggar, berbuat salah, ataupun bandel; atau juga jangan terlalu
bangga kalau ada santri yang mempunyai
akhlak dan perilaku yang baik, hal ini disebabkan oleh potensi masing-masing yang mereka miliki. Namun bukan
menjadi sebuah pembenaran kalau ada seorang santri yang selalu berbuat salah,
selalu melanggar, ataupun bandel hanya dengan alasan potensi yang mereka
miliki.
Tentu saja ketika seseorang
menjadi santri, dia dibebani untuk
memiliki akhlak dan perilaku yang menggambarkan seorang santri. Dia tidak bisa
berbuat seenaknya, semau gue, ataupun seenak perut, karena hal ini berkaitan
dengan penilaian masyarakat. Orang yang taat, rajin ibadah, hormat pada orang
tua, sayang terhadap sesama, merupakan cirri ataupun label yang melekat pada
diri seorang santri, sehingga ketika ia melanggar salah satu cirri tersebut, maka ia akan mendapat penilaian
yang jelek dari masyarakat.
Dari gambaran di atas, menjelaskan
kepada kita bahwa seorang santri sama saja dengan pelajar yang lain, ia
berpotensi untuk berbuat jelek, jahat, ataupun berbuat kebandelan; tapi ia juga
berpotensi untuk menjadi orang baik, santun, ramah dan yang lainnya. Seorang
santri berpotensi untuk pintar, cerdas, dan terampil; namun ia juga berpotensi
untuk malas belajar, telmi, dan yang lainnya. Namun dari semua itu, kalaulah ia
ingin tetap dinilai oleh masyarakat sebagai seorang santri, maka ia tidak boleh
menanggalkan label atau citra sebagai seorang santri. Baik, sopan, ramah,
hormat terhadap yang lebih besar, taat pada orang tua, serta taat beribadah
merupakan satu keharusan bagi seseorang yang bernama SANTRI. Wallahu `alam
bish-shawab.
خَيْرُكُمْ
مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik
orang diantara kalian adalah, yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya”
Kisah
Dalam Al-Quran
IBRAHIM DAN ISMAIL MENINGGIKAN BAITULLAH
Firman Allah, "Dan ingatlah ketika
Ibrahim dan Ismail meninggikan fondasi Baitullah, sedang dia berkata, `Ya Tuhan
kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'"
Dahulu, ketika keduanya meninggikan fondasi, keduanya berdoa kepada Allah agar
kiranya Dia menerima amalnya, sedang hatinya bergetar karena khawatir tidak
akan diterima, sebagaimana Allah menuturkan keadaan kaum mukmin yang ikhlas
dalam firman-Nya, "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka
berikan, dengan hati bergetar" karena khawatir amalnya tidak diterima.
Diriwayatkan dari al-Bukhari ra dalam
kitab Shahih-nya, dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "Wanita pertama yang
membuat ikat pinggang ialah ibunya Ismail. Dia membuatnya untuk (mengikat
pakaian agar terjuntai ke tanah) agar menutupi jejak kakinya sehingga tak
diketahui oleh Sarah. Kemudian Ibrahim membawa istri dan anaknya Ismail yang
masih disusuinya. Ibrahim menempatkan istrinya dekat Baitullah di sisi pohon
Dauhah, pada bagian atas sumur Zamzam dan Masjidil Haram menurut perkiraan
sekarang.
Pada saat itu di Mekkah belum ada segelintir manusia
pun dan tiada air. Ibrahim menempatkan keduanya di sana berikut sebuah tempat
makanan berisi kurma dan tempat yang berisi air. Kemudian Ibrahim pun berlalu.
Maka ibu Ismail mengikutinya sambil berkata, `Hai Ibrahim, hendak kemana?
Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada teman atau apa pun.' Ibu Ismail
memberondongnya dengan pertanyaan itu beberapa kali. Namun, Ibrahim tidak
meliriknya. Ibu Ismail bertanya, `Apakah Allah telah menyuruhmu berbuat
demikian?' Ibrahim menjawab, `Benar.' Ibu Ismail berkata, `Jika demikian, maka
Dia tidak akan menelantarkan kami.' Kemudian, Ibu Ismail pun kembali ke tempat
semula. Ibrahim melanjutkan langkahnya hingga sampai di Tsaniah di tempat istri
dan anaknya tidak lagi dapat melihatnya. Dia menghadapkan wajahnya ke Baitullah
seraya mengangkat kedua tangannya sambil berdoa demikian, `Ya Tuhan kami, sesungguhnya
aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki
pepohonan, yaitu di sisi Rumah-Mu yang suci….mudah-mudahan mereka berterima
kasih.
Kemudian ibu Ismail menyusui anaknya dan
dia minum dari tempat persediaan air. Setelah air itu tandas, maka dia
kehausan, demikian pula anaknya. Dia memperhatikan anaknya yang
berguling-guling kehausan. Dia melengos karena tidak tega melihat anknya
demikian. Maka dilihatnya bukit Shafa sebagai tempat yang paling dekat darinya.
Dia berdiri di puncaknya sambil megarahkan pandangannya ke lembah dengan
harapan melihat seseorang. Namun, dia tidak melihat seorangpun. Kemudian, dia
turun dari Shafa. Ketika dia tiba di lembah, dia menyingsingkan kainnya lalu
berjalan seperti orang tergesa-gesa hingga melintasi lembah tersebut. Kemudian
dia menuju Marwah, lalu berdiri dipuncaknya dengan harapan dapat melihat
seseorang. Tetapi dia tidak melihat seorang pun. Dia melakukan perbuatan
demikian sebanyak tujuh kali."Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi saw. bersabda,
"Oleh karena itulah maka manusia bersa'i antara
keduanya.""Ketika dia hampir tiba di Marwah, dia mendengar sebuah
suara. Dia berkata, `Diam!' Maksudnya menenteramkan diri sendiri. Lalu dia
mendengar lagi suara. Dia berkata, `Engkau telah memperdengarkan suara. Apakah
kamu dapat menolong?' Tiba-tiba dia melihat malaikat dekat tempat bakal sumur
Zamzam. Malaikat menggali tanah dengan tumitnya atau dengan sayapnya sehingga
muncullah air. Maka Dia mulai membendung air dengan tangannya begini….Dia
menciduk air ke tempatnya, kemudian air pun terus menyembur setelah
diciduk"Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi saw. bersabda. "Semoga Allah
melimpahkan rahmat kepada Ibu Ismail. Jika dia membiarkan Zamzam, atau jika dia
tidak menciduk airnya, niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.
"Ibu Abbas berkata, `Kemudian dia
minum lalu menyusui anaknya. Malaikat berkata kepadanya, `Kamu jangan khawatir
akan disia-siakan karena di sana ada Baitullah yang akan dibangun kembali oleh
anak ini dan bapaknya. Dan bahwa Allah tidak akan menelantarkan penduduknya.'
Keadaan Baitullah itu lebih tinggi dari permukaan tanah. Ia seperti tonjolan
tanah yang diterpa banjir sehingga mengikis bagian kiri dan kanannya. Kondisi
Ibu Ismail terus berlanjut demikian sampai sekelompok Bani Jurhum atau sekelompok
pengunjung Baitullah dari kalangan Bani Jurhum lewat di sana dari suatu jalan.
Mereka turun ke lembah Mekkah dan melihat ada burung berputar di angkasa.
Mereka berkata, `Burung itu pasti mengitari air. Kita yakin bahwa di lembah ini
ada tempat air.'"
Kemudian dia megirim satu atau dua orang
utusan. Ternyata mereka menemukan air. Mereka kembali memberitahukan ihwal air.
Maka mereka mendekatinya." Ibnu Abbas berkata, "Saat itu Ibu Ismail
berada di sekitar air. Mereka berkata kepadanya, `Apakah engkau megizinkan kami
untuk tinggal di dekat airmu?' Dia menjawab, `Boleh saja. Namun kalian tidak
berhak atas air ini.' Mereka menjawab, `Baiklah.' Ibnu Abbas berkata,
"Nabi bersabda, `Maka Ibu Ismail menerima mereka dengan baik karena dia
ingin punya teman.' Mereka pun menetap dan mengirimkan utusan kepada warganya
untuk tinggal bersama mereka di sana sehingga berdirilah beberapa rumah di
sana. Sang bayi pun tumbuh menjadi pemuda. Dia belajar bahasa Arab dari mereka.
Dia disayang dan disanjung oleh mereka. Setelah dia balig, mereka
mengawinkannya dengan salah seorang perempuan dari suku mereka. Ibu Ismail pun
meninggal. Setelah Ismail menikah, datanglah Ibrahim guna menengok keturunan
yang dulu ditinggalkannya. Namun, dia tidak mendapatkan Ismail. Ibrahim bertanya
kepada istri Ismail. Istrinya menjawab, `Dia sedang pergi mencari nafkah untuk
kami.' Kemudian Ibrahim menanyakan ihwal penghidupan dan kesejahterannya. Istri
Ibrahim menjawab, `Kami dalam kondisi yang buruk dan hidup dalam kesempitan dan
kemiskinan.' Sang istri mengadu kepada Ibrahim. Ibrahim berkata, `Apabila
suamimu datang, sampaikan salam saya kepadanya dan sampaikan pesan bahwa dia
harus mengubah ambang pintunya.' Setelah Ismail datang, maka seolah-olah dia
lupa akan sesuatu, kemudian bertanya, `Apakah tadi ada orang yang datang?' Si
istri menjawab, `Ya, tadi ada orang tua begini….begini….datang. Dia bertanya
kepadaku ihwal engkau, maka aku menceritakannya dan dia pun bertanya ihwal
kehidupan kita, dan aku pun menceritakannya bahwa kita hidup dalam kepayahan
dan kesusahan.' Ismail bertanya, `Apakah dia berpesan sesuatu kepadamu?'
Istrinya menjawab, `Benar. Dia menyuruhku menyampaikan salamnya kepadamu dan
menyuruhmu mengubah ambang pintu rumahmu.'Ismail berkata, `Dia adalah bapakku.
Dia menyuruhku menceraikanmu. Maka kembalilah kamu kepada keluargamu.' Ismail
menceraikannya, kemudian mengawini wanita lain dari Bani Jurhum."
Ibrahim meninggalkan mereka selama
beberapa waktu. Kemudian dia menjumpainya, namun tidak mendapatkan Ismail. Dia
masuk ke rumah istrinya dan menanyakan ihwal dia. Si istri berkata, `Dia sedang
pergi mencari nafkah untuk kami.' Ibrahim bertanya, `Bagaiman keadaan
penghidupan dan kondisi kalian?' Si istri menjawab, `Kami baik-baik saja dan
berkecukupan.' Si istri memuji kepada Allah Ta'ala. Ibrahim bertanya, `Apa yang
kalian makan?' Si istri menjawab, `Daging' Ibrahim bertanya, `Apa yang kalian
minum?' Si istri menjawab, `Air.' Ibrahim berkata, `Ya Allah, berkatilah mereka
pada daging dan air.'"
Nabi saw. bersabda, "pada saat itu,
mereka belum memiliki makanan pokok berupa biji-bijian. Seandainya mereka
punya, niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya biji-bijian itu
diberkati." Nabi bersabda, "Daging dan air memang ada pada selain
penduduk Mekkah, namun tidak cocok menjadi makanan pokok. Ibrahim berkata,
`Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan suruhlah dia
menetapkan ambang pintu rumahnya.' Ketika Ismail datang, dia bertanya, `Apakah
ada orang yang datang?' Si istri menjawab, `Ada seorang tua yang baik
penampilannya (si istri memuji Ibrahim) dan dia menanyakan ihwalmu kepadaku,
lalu aku pun menceritakannya. Dia bertanya kepadaku ihwal penghidupan kita ,
maka akupun menyampaikannya bahwa kehidupan kami baik-baik saja.' Ismail
bertanya, ` Adakah dia pesan sesuatu kepadamu?' Si istri menjawab, `Dia
menyampaikan salam kepadamu dan menyuruhmu untuk mengokohkan ambang pintu
rumahmu.' Ismail berkata, `Dia adalah ayahku dan engkau merupakan ambang pintu
itu. Dia menyuruhku untuk tetap mengawinimu.'"
"Kemudain Ibrahim meninggalkan mereka selama
beberapa waktu. Seelah itu, dia datang lagi, sementara Ismail tengah meraut
anak panah di bawah pohon Dauhah dekat sumur Zamzam. Ketika Ismail melihatnya,
dia bangkit dan terjadilah adegan yang maklum terjadi antara anak dan ayahnya
dan ayah dengan anaknya. Ibrahim berkata, `Hai Ismail, sesungguhnya Allah
memberiku sebuah perintah.' Ismail berkata, `Lakukanlah apa yang diperintahkan
oleh Tuhanmu.' Ibrahim berkata, `Apakah kamu akan membantuku?' Ismail menjawab,
`Aku akan membantumu.' Ibrahim berkata, `Sesungguhnya Allah menyuruhku membuat
suatu rumah di sana.' Ibrahim menunjuk ke tumpukan tanah yang lebih tinggi dari
sekelilingnya."
Ibnu Abbas berkata, "Pada saat itu
keduanya meninggikan fondasi Baitullah. Ismail mulai mengangkut batu, sementara
Ibrahim memasangnya. Setelah bangunan tinggi, Ismail datang membawa batu ini
(yakni batu yang dipijak Ibrahim pada saat pembangunan Ka'bah sudah tinggi.
Batu inilah yang disebut Maqam Ibrahim) untuk dijadikan pijakan oleh Ibrahim.
Sementara Ibrahim memasang batu dan Ismail menyodorkannya, keduanya berdoa, `Ya
Tuhan kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi maha
Mengetahui.'
"Ibnu Abbas berkata, "maka
keduanya terus menuntaskan pembangunan sekeliling Ka'bah sambil berkata,
"ya Tuhan kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.'"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu
(Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah
sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismail: " Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf,
yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud".Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan
berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara
mereka kepada Allah dan hari kemudian.
Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir
pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka
dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
meninggikan (membina) fondasi-fondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa):
"Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah
kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara
anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada
kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."
(Al-Baqarah, 125-128)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar