Jumat, 23 November 2012

Nikah Tanpa Wali (Tinjauan Takhrij Hadits)



الشّرح والنّقد على طريقة التخريج
فى الحديث " النكاح بدون ولِيّ "

SYARAH DAN KRITIK DENGAN METODE TAKHRîJ
 HADITS TENTANG “NIKAH TANPA WALI “

A.    Teks dan Syahid
Pembahasan Hadits tentang nikah tanpa wali diawali dengan ditemukannya hadits dalam kitab takhrǐj Maudhu`I (Bulughul Marâm) susunan al-Asqalani, Kitab Nikah no. hadits 1007 sebagai berikut :
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ   رواه أحمد والأربعة وصحّحه ابن المَدينِى والتّرمذيّ وابن حبانَ. واعلَّ بالإرسال

Artinya :`Dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali." Meriwayatkannya Imam Ahmad dan imam yang empat; dan mensahkannya Ibnu Al-Madini dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban. Sebagian hadits tersebut mursal.
Berdasarkan foot noot di atas maka al-Mashâdir al-Ashliyyah dari hadits dimaksud adalah kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan Nasaǐ.
Dilâlah/Tautsǐq menggunakan kitab al-Jâmi`u ash-Shâgir susunan as-Suyûthǐ dengan menggunakan kata kunci lâ nikâha, maka diperoleh petunjuk sebagai berikut :
الجامعُ الصّغير : لانكاح إلا بوَلِيّ. (حم-4.ك) (5) (صح): لأحمد فى مسنده ولأبى داود وللنسائي والترمذي ولابن ماجه وللحاكم فى مستدركه كلهم عن أبي موسى. ولابن ماجه عن ابن عباس حديث صحيح. (المجلد الثانى, 751, دار الفكر)
Berdasarkan petunjuk tadi, maka Al-Mashâdir Al-Ashliyyah dari hadits di atas adalah: Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan an-Nasâi serta Hakim dalam kitab Mustadraknya.
Dilâlah/Tautsǐq lebih lanjut adalah menggunakan Al-Mu`jamu Al-Fahras susunan Dr. A.J Mansinck dengan menggunakan kata waliyyun. Dalam kitab tersebut terdapat petunjuk :
معجم الفهرس : لانكاح إلا بوليّ. (خ. نكاح 36. د. نكاح 19. ت نكاح 14. جه نكاح 15. دى نكاح 11. حم 1,259, 4, 394, 413, 418, 6, 36). (المجلد السابع, 331, دار الفكر).
Berdasarkan petunjuk tadi, maka al-Mashâdir Al-Ashliyyah dari hadits di atas adalah : Shahǐh Bukhori, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan Ad-Dârimǐ, dan Musnad Ahmad.
Dilâlah/Tautsǐq berikutnya adalah cek dan ricek berdasarkan CD hadits sembilan imam (Kutubu at-Tis`ah). Diawali dengan membuka program CD hadits Sembilan Imam. Langkah kedua adalah dengan mengklik nama-nama sembilan imam satu persatu; langkah ketiga adalah mengklik tentang kitab nikah disetiap imam dan mencari fashal tentang kitab nikah tanpa wali. Langkah selanjutnya adalah mengcopy syarah hadits beserta terjemahnya di setiap imam. Langkah selanjutnya adalah melihat takhrǐj hadits berdasarkan rawinya. Terakhir adalah menutup aplikasi CD hadits Sembilan Imam. Dalam Cd hadits sembilan Imam dijelaskan bahwa hadits ini terdapat dalam :
§  kitab Sunan Tirmidzi, Kitab Nikah hadits no. 1020.
  • Sunan Ibnu Majah, Kitab Nikah no. hadits 1871
  • Sunan Ad-Darimi no. hadits 2087 dan 2088
  • Musnad Ahmad, Kitab Nikah no. hadits18697, 18878, 18911
Berdasarkan petunjuk tadi, maka al-Mashâdir Al-Ashliyyah dari hadits di atas adalah : Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan Ad-Dârimǐ, dan Musnad Ahmad.
Rekapitulasi Mashâdir al-Ashliyyah dari hadits di atas adalah sebagai berikut :

N0

Dilâlah/Tautsǐq

Al-Mashâdir Al-Ashliyyah
1
Bulughul Marâm
Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzǐ, Sunan Nasaǐ, Sunan Ibnu Mâjah
2
Jami`u ash-Shâgir
Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan an-Nasâi serta Hakim dalam kitab Mustadraknya.

3
Mu`jamu al-Fahras
Shahǐh Bukhori, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan Ad-Dârimǐ, dan Musnad Ahmad.

4
CD Kutub at-Tis`ah
Shahih Bukhori, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan Ad-Dârimǐ, dan Musnad Ahmad.


Dengan demikian al-Mashâdir al-Ashliyyah secara keseluruhan adalah :
1.      Shâhih Bukhâri,
2.      Musnad Ahmad,
3.      Sunan Abu Daud,
4.      Sunan Tirmidzi,
5.      Sunan Ibnu Mâjah,
6.      Mustadrak Hâkim dan
7.       Sunan Ad-Darǐmǐ.




Adapun hadits dari al-Mashâdir al-Ashliyyah di atas adalah sebagai berikut :
1. Bulughu al-Marâm
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ   رواه أحمد والأربعة وصحّحه ابن المَدينِى والتّرمذيّ وابن حبانَ. واعلَّ بالإرسال

Artinya :`Dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali." Meriwayatkannya Imam Ahmad dan imam yang empat; dan mensahkannya Ibnu Al-Madini dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban. Sebagian hadits tersebut mursal

2. Jami`u Ash-Shâgir dan Mu`jamu al-Fahras
  1. Shâhih Bukhorǐ
حدّثنا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ
Artinya : `Telah berkata Yahya bin Sulaiman Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih Telah menceritakan kepada kami Anbasah Telah menceritakan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan kepadanya bahwa; Sesungguhnya pada masa Jahiliyah ada empat macam bentuk pernikahan. Pertama, adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya. Bentuk kedua yaitu; Seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci (tidak haidl/subur), "Temuilah si Fulan dan bergaullah (bersetubuh) dengannya." Sementara sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjima'nya) hingga benar-benar ia positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah Nikah Al Istibdlaa'. Kemudian bentuk ketiga; Sekelompok orang (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun mengirimkan surat kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak. Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun berkata, "Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu. Dan aku telah melahirnya, maka anak itu adalah anakmu wania Fulan." Yakni, wanita itu memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang ditunjuk tidak dapat mengelak. Kemudian bentuk keempat; Orang banyak berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka menancapkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli seluk beluk nasab (Alqafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapaknya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak bisa mengelak. Maka ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa kebenaran, beliau pun memusnahkan segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakoni oleh orang-orang hari ini (Shahih Bukhorǐ; no. hadits 4372).

  1. Musnad Ahmad
1)   حَدَّثنا عَبْدُ اللهِ حدّثنى أبي ثنا وكيع وعبد الرّحمن عن إسرائيل عن أبى إسحق عن أبي بردة عن أبيه قال قال رسول الله ص.م لا نكاح إلا بِولِيٍّ (المجلد الرّابع, ص. 394)
Artinya: bercerita kepada kami `Abdullah, bercerita kepadaku bapakku, bercerita kepada kami wak`I dan `Abdurrahman, dari Israil dari Abi Ishaq dari Abi Burdah dari bapaknya berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidaka ada pernikahan kecuali dengan adanya wali’ (Musnad Ahmad, jilid IV, hal. 394).
2)   حدّثنا عبد الله حدّثنى أبي ثنا اسباط بن محمد عن يونس بن أبى إسحق عن أبي بردة عن أبيه ويزيد بن هرون قال أنا إسرائيل عن أبي إسحق عن أبي بردة عن أبيه قال قال رسول الله ص.م لا نكاح إلا بِولِيٍّ (المجلد الرّابع, ص. 413)

Artinya: bercerita kepada kami `Abdullah, bercerita kepadaku bapakku, bercerita kepadaku Asbath bin Muhammad dari Yunus bin Abi Ishaq dari Abu Burdah dari bapaknya; dan Yazid bin Harun berkata saya Israil dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari bapaknya berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali` (Musnad Ahmad, jilid IV, hal. 413)
3)   حدّثنا عبد الله حدّثنى أبي ثنا عبد الواحد الحداد قال ثنا يونس عن أبي بردة عن أبي موسى أنّ النّبيّ ص.م قال لا نكاح إلا بِولِيٍّ (المجلد الرّابع, ص. 418)
Artinya: bercerita kepada kami `Abdullah, bercerita kepadaku bapakku, bercerita kami `Abdul Wahi al-Haddad berkata bercerita kepada kami Yunus dari Abu Burdah dari Abu Musa sesungguhnya Nabi saw berkata `Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali` (Musnad Ahmad, Jilid IV, hal. 418).
4)   حدّثنا عبد الله حدّثنى أبي ثنا سليمان ابن حيان أبو خالد ثنا حجاج عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة قالت قال رسول الله ص.م لا نكاح إلا بِولِيٍّ والسلطان وليّ من لا وليّ له (المجلد السّادس, ص. 260)
Artinya: bercerita kepada kami `Abdullah, bercerita kepadaku bapakku, bercerita kepada kami Sulaiman bin Hayyan Abu Khâlid bercerita kepada kami Hajjâj dari Zuhri dari `Urwah dari `Aisyah berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali; dan penguasa adalah wali bagi yang tidak memiliki seorang wali` (Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 260)

  1. Sunan Ibnu Mâjah
1)   حدّثنا أبو بكر بن أبى شيبة ثنا معاذ ثنا ابن جريج, عن سليمان بن موسى عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة قالت قال رسول الله ص.م " أيُّما امْرأةٍ لم ينْكِحها الولِيُّ فنكاحها باطلٌ فنكاحها باطل فنكاحها باطل. فإن أصابها فلها مهرُها بما أصاب مِنها. فإن اشْتجَرُوا فالسُّلطان وليٌّ مَن لا وَلِيَّ له ( الجزء السابع, نمرة. 1879 ص. 605)
Artinya: bercerita kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, bercerita kepada kami Mu`adz bercerita kepada kami Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari `Urwah dari Aisyah berkata: bersabda Rasulullah saw `Wanita manapun yang menikah tanpa wali maka nikahnya batal; maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Maka jika suaminya menyetubuhinya, maka ia berhak mendapatkan maharnya. Maka jika mereka berselisih maka penguasa adalaha wali bagi yang tidak mempunyai wali` (Sunan Ibnu Mâjah, no. hadits 1879; hal. 605)
2)   حدّثنا أبو كريب ثنا عبد الله بنُ المبارك عن حجّاج عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة عن النّبيّ ص.م وعن عِكرمة عن ابن عباس قالا: قال رسول الله ص.م " لا نكاح إلا بِوليٍّ" وفى حديث عائشة " والسّلطان ولِيٌّ من لا وليَّ له (الجزء السابع, نمرة. 1880 ص. 605)
Artinya: bercerita kepada kami Abu Kuraib bercerita kepada kami `Abdullah bin al-Mubârak dari Hajjaj dari `Urwah dari `Aisyah dari Nabi saw, dan dari Ikrimah dan Ibnu `Abbas mereka berdua berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidak ada pernikahan kecuali adanya wali` dan pada hadits `Aisyah tambahan lapadz `dan Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak punya wali` (Sunan Ibnu Mâjah, no. hadits 1880; hal. 605)
3)   حدّثنا محمد بن عبد الملك بن أبي الشّوارب ثنا أبو عوانة ثنا أبو إسحاق المهداني عن أبي بردة عن أبي موسى قال: قال رسول الله ص.م " لا نكاح إلا بوليّ " (الجزء السابع, نمرة. 1881 ص. 605)
Artinya: bercerita kepada kami Muhammad bin `Abdul Mâlik bin Abi Abi Syawârib, bercerita kepada kami Abu `Awanah bercerita kepada kami Abu Ishaq al-Mahdâni dari Abi Burdah dari Abi Musa berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidak ada pernikahan kecuali ada wali` (Sunan Ibnu Mâjah, no. hadits 1881; hal. 605)

d.      Sunan Tirmidzǐ
1)   حدّثنا عَلِيُّ بن حجر. أخبرنا شريك بنُ عبد الله عن أبي إسحق. وحدّثنا قتيبة. حدّثنا أبو عوانة عن أبي إسحق. ح وحدّثنا محمّد بن بشّار. حدّثنا عبد الرحمن بن مهديّ عن إسرائيل, عن أبي إسحق. ح وحدّثنا عبد الله بن أبي زياد. حدّثنا زيد بن حباب عن يُونس بنِ أبي إسحق عن أبي بردة عن أبي مُوسَى قال: قال رسول الله ص.م " لا نكاحَ إلا بولِيّ " قال: وفى الباب عن عائشة وابن عباس وأبي هريرة وعمران ابن حصين وأنس.
Artinya: bercerita kepada kami `Ali bin Nujr, mengabarkan kepada kami Syarǐk bin `Abdillah bin Abi Ishaq. Dan menceritakan kepada kami Qutaibah, menceritakan kepada kami Abu `Awanah dari Abi Ishaq dari Abi Ishaq. Dan menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, menceritakan kepada kami `Abdurrahman bin Mahdiy dari Israil dari Abi Ishaq. Dan menceritakan kepada kami `Abduulah bin Ani Ziyad, menceritakan kepada kami Zaid bin Habbab dari Yûnus bin Abi Ishaq dari Abu Burdah dari Abi Musa berkata: bersabda Rasulullah saw ` Tidak ada pernikahan kecuali ada wali` berkata: dan bab ini dari `Aisyah, Ibnu `Abbas, Abu Hurairah, `Imran bin Hushain dan dari Anas.

e.       Sunan Abu Daud
1)   حدثنا محمد بن كثير أخبرنا سفيان حدثنا ابن جريج عن سليمان بن موسى عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة قالت: قال رسول الله ص.م " أيُّما امرأةٍ نكحت بِغير إذن مواليها فنكاحها باطل" ثلاث مرات, " فإن دخل بها فالمهرُ لها بما أصاب منها فإن تشاجروا فالسّلطان ولِيّ من لا وليَّ له " ( الجزء الأول, نمرة. 2083 ص. 478)
Artinya: bercerita kepada kami Muhammad bin Katsǐr, memberitakan kepada kami Sufyân menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari `Urwah dari Aisyah berkata: bersabda Rasulullah saw `Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (3x) maka jika suami mencampurinya, maka ia berhak menerima mahranya dengan apa yang telah kena terhadapnya. Maka jika mereka berselisih maka pengusa adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali` (Sunan Abu Daud, no. hadits 2083; hal. 487)

f.       Mustadrak Hâkim
أخبرنا أبو العباس محمد بن أحمد المحبوبي بمرو ، ثنا محمد بن معاذ ، وأخبرنا عبد الرحمن بن حمدان الجلاب ، بهمدان ، ثنا محمد بن الجهم السمري ، قالا : ثنا أبو عاصم الضحاك بن مخلد ، ثنا ابن جريج ، قال : سمعت سليمان بن موسى ، يقول : ثنا الزهري ، قال : سمعت عروة ، يقول : سمعت عائشة رضي الله عنها ، تقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها (1) ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن أصابها (2) ، فلها مهرها بما أصابها ، وإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له » « هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ، ولم يخرجاه

Artinya: `telah mengabarkan kepada kami Abul `Abbas Muhammad bin Ahmad al-Mahbûbi, bercerita kepada kami Muhammad bin Mu`adz dan mengabarkan kepada kami `Abdurrahman bin Hamdan al-Jalâbi, bercerita kepada kami Muhammad bin jahmi asSamri, keduanya berkata: bercerita kepada kami Abu `Ashim adh-Dhahak bin Mukhlid, bercerita Ibnu Juraij berkata, aku telah mendengar Sulaiman bin Musa berkata  berkata, bercerita kepada kami az-Zuhri ia berkata aku mendengar `Urwah berkata, aku mendengar `Aisyah berkata, bersabda Rasulullah saw: `Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (3x), maka jika ia telah menyetubuhinya, maka berhak bagi si wanita tersebut atas maharnya disebabkan apa yang telah menimpanya; dan apabila mereka berselisih, maka penguasa wali bagi yang tidak mempunyai wali` (ini adalah hadits Shahih).


g.      Sunan Ad-Darimǐ
1) اخبرنا مالك بن إسماعيل ثنا إسرائيل عن أبي إسحاق عن أبي بردة عن أبيه قال: قال رسول الله ص.م " لا نكاح إلا بوليّ " ( الجزء الثّانى, نمرة. 2079 ص. 137)
Artinya: mengabarkan kepada kami Mâlik bin Ismail bercerita kepada kami Israil dari Abi Ishaq dari Abi Burdah dari bapaknya berkata: bersabda Rasulullah saw ` Tidak ada pernikahan kecuali adanya seorang wali` (Sunan ad-Dârimǐ, no. Hadits 2079; hal. 137)
2) حدّثنا عليُّ بن حجرٍ أنا شريك عن أبي إسحاق عن أبي بردة عن أبي موسى عن النّبي ص.م قال: " لا نكاح إلا بولِيٍّ " ( الجزء الثّانى, نمرة. 2080 ص. 137)
Artinya: Menceritakan kepada kami `Ali bin Hujr saya Syârik dari Abi Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi saw bersabda ` Tidak ada pernikahan kecuali adanya wali` (Sunan Ad-Dârimǐ, no. hadits  2080; hal. 137)
3) حدثنا أبو عاصم عن ابن جريج عن سليمان بن موسى عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة عن النّبيّ ص.م قال " أيُّما امرأةٍ نكحت بِغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن تشاجروا قال أبو عاصم وقال مرّة فإن تشاجروا فالسّلطان ولِيّ من لا وليَّ له " فإن أصابها فلها المهر بما استحلّ من فرجها قال أبو عاصم املاه عليَّ سنة ستّ وأربعين ومأة ( الجزء الثّانى, نمرة. 2081 ص. 137)
Artinya: Menceritakan kepada kami Abu `Ashim dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Mûsa dari Zuhri dari `Urwah dari `Aisyah dari Nabi saw bersabda ` Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya adalah batal, maka nikahnya adalah batal, maka nikahnya adalah batal; maka dimana mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi mereka yang tidak ada walinya; maka dimana suami menyetubuhinya maka ia berhak terhadap maharnya untuk menghalalkan kehormatannya` (Sunan ad-Dârimǐ, no. hadits 2081; hal. 137)

3. CD Kitab Sembilan Imam (Kutub At-Tis`ah)
a. Shâhih Bukhâri
1) قَالَ يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ
Artinya : `Telah berkata Yahya bin Sulaiman Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih Telah menceritakan kepada kami Anbasah Telah menceritakan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan kepadanya bahwa; Sesungguhnya pada masa Jahiliyah ada empat macam bentuk pernikahan. Pertama, adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya. Bentuk kedua yaitu; Seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci (tidak haidl/subur), "Temuilah si Fulan dan bergaullah (bersetubuh) dengannya." Sementara sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjima'nya) hingga benar-benar ia positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah Nikah Al Istibdlaa'. Kemudian bentuk ketiga; Sekelompok orang (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun mengirimkan surat kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak. Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun berkata, "Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu. Dan aku telah melahirnya, maka anak itu adalah anakmu wania Fulan." Yakni, wanita itu memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang ditunjuk tidak dapat mengelak. Kemudian bentuk keempat; Orang banyak berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka menancapkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli seluk beluk nasab (Alqafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapaknya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak bisa mengelak. Maka ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa kebenaran, beliau pun memusnahkan segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakoni oleh orang-orang hari ini (Shahih Bukhorǐ; no. hadits 4372).



b. Musnad Ahmad
2) حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَن يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ وَيَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ عَن أَبِي إِسْحَاقَ عَن أَبِي بُرْدَةَ عَن أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya :`Telah menceritakan kepada kami Asbath bin Muhammad dari Yunus bin Abu Ishaq dari Abu Burdah dari bapaknya dan Yazid bin Harun ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari bapaknya ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pernikahan tidak akan sah, kecuali dengan wali." (Musnad Ahmad; no. Hadits 18878)
3) حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ الْحَدَّادُ قَالَ ثَنَا يُونُسُ عَن أَبِي بُرْدَةَ عَن أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya:`Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid Al Haddad; telah menceritakan kepada kami Yunus dari Abu Burdah dari Abu Musa bahwa sesungguhnya nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan seorang wali."(Musnad Ahmad; no. hadits 18911)

c. Sunan Ibnu Mâjah
4) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Artinya: `Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Mu'adz berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Az Zuhri dari Urwah dari 'Aisyah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wanita mana saja yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya adalah batil. Nikahnya adalah batil. Jika suaminya telah menyetubuhinya, ia berhak mendapatkan maharnya karena persetubuhan tersebut. Jika mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali." ( Sunan Ibnu Mâjah; no. hadits 1869)

d. Sunan Tirmidzǐ
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ وَأَنَسٍ
Artinya: `Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr, telah mengabarkan kepada kami Syarik bin Abdullah dari Abu Ishaq dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abu Ishaq dan diganti dengan riwayat: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dan Isra`il dari Abu Ishaq: diganti dari jalur, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab dari Yunus bin Abu Ishaq dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali." (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, 'Imran bin Hushain dan Anas." (Sunan at-Tirmidzi; no. hadits 1020)

e. Sunan Ad-Dârimǐ

أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya: `Telah mengabarkan kepadaku Malik bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah pernikahan tanpa seorang wali." (Sunan Ad-Darimǐ; no. hadits 2087)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya: `Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah mengceritakan kepada kami Syarik dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan seorang wali." (Sunan Ad-Darimi; no. hadits 2088)

B. Unsur Hadits, Daftar Rawi Sanad, dan Diagram/Silsilah Sanad
1.      Unsur Hadits
a)      Rawi Sanad
1.      Shahih Bukhori
a.       Aisyah – Urwah – Ibnu Syihab – Yunus bin Zaid – Anbasah – Ahmad bin Shalih
b.      Aisyah – Urwah – Ibnu Syihab – Yunus bin Zaid – Abdullah bin Wahab – Yahya bin Sulaiman


2.      Musnad Ahmad
a.          Abu Musa – Abu Burdah – Abu Ishaq – Israil – Waki` - Abu Abdullah - Abdullah
b.      Abu Musa – Abu Burdah – Abu Ishaq – Yazid bin Harun – Abu Abdullah - Abdullah
c.          Abu Musa – Abu Burdah – Yunus bin Abi Ishaq – Abdul Wahid – Abu Abdullah - Abdullah
d.      Aisyah – Urwah – Az-Zuhri – Hajjâj – Abu Khalid – Abu Abdullah - Abdullah
3.      Ibnu Mâjah
a.       Aisyah – Urwah – Az-Zuhri – Sulaiman bin Musa – Ibnu Juraiz – Mu`adz – Abu Bakr bin Abi Syaibah
b.      Aisyah (Ibnu Abbas, Ikrimah) – Urwah – Az-Zuhri – Hajjâj – Abdullah bin Mubarak – Abu Kuraib
c.       Abu Musa – Abu Burdah – Abu Ishaq – Abu `Awanah – Muhammad bin Abdul Mâlik
4.      Tirmidzǐ
a.       Abu Musa – Abu Burdah – Yunus bin Abi Ishaq – Zaid bin Habbab – Abdullah bin Abi Ziyad
b.      Abu Musa – Abu Ishaq – Israil – Abdurrahman bin Mahdi – Muhammad bin Basyar
c.       Abu Musa – Abu Ishaq – Abu `Awanah – Qutaibah
d.      Abu Musa – Abu Ishaq – Syarik bin Abdillah – Ali bin Hujr
5.      Abu Daud
a.       Aisyah – Urwah – Az-Zuhri – Sulaiman bin Musa – Ibnu Juraij – Sufyan – Muhammad bin Katsier
6.      Hakim
a.       Aisyah – Urwah – Az-Zuhri – Sulaiman bin Yahya – Ibnu Juraij – Abul `Ashim – Abul `Abbas
7.      Ad-Dârimǐ
a.       Abu Musa – Abu Burdah – Abu Ishaq – Israil – Malik bin Ismail
b.      Abu Musa – Abu Burdah – Abu Ishaq – Syarik – Ali bin  Hujr
c.       Aisyah – Urwah – Az-Zuhri – Sulaiman bin Musa – Ibnu Juraij – Abu `Ashim
Jadi rawi sanad secara keseluruhan adalah sebagai berikut :
(1)   Aisyah, (2) Ibnu Abbas, (3) Ikrimah, (4) Abu Musa, (5) Abu Burdah, (6) Abu Ishaq, (7) Israil, (8) Waki`, (9) Abu Abdullah, (10) Abdullah, (11) Yazid bin Harun, (12) Yunus bin Abi Ishaq, (13) Asbath bin Muhammad, (14) Abdul Wâhid, (15) Urwah, (17) Az-Zuhri, (18) Hajjâj, (19) Abu Khâlid, (20) Sulaiman bin Mûsa, (21) Ibnu Juraij, (22) Mu`adz, (23) Abu Bakr bin Abi Syaibah, (24) Abu Kuraib, (25) Abu `Awanah, (26) Muhammad bin Abdul Mâlik, (27) Zaid bin Habbab, (28) Abdullah bin Abi Ziyad, (29) Abdurrahman bin Mahdi, (30) Muhammad bin Basyar, (31) Qutaibah, (32) Ali bin Hujr, (33) Sufyan, (34) Muhammad bin Kâtsier, (35) Malik bin Ismail, (36) Abu `Ashim

b)     Matan
  نمرة
المصادر الأصليّة
المتن
1
صحيح البخارى
أَنَّ النِّكَاحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ

2
مسند أحمد
لا نكاح إلا بِولِيٍّ


لا نكاح إلا بِولِيٍّ والسلطان وليّ من لا وليّ له
3
سنن إبن ماجه
أيُّما امْرأةٍ لم ينْكِحها الولِيُّ فنكاحها باطلٌ فنكاحها باطل فنكاحها باطل. فإن أصابها فلها مهرُها بما أصاب مِنها. فإن اشْتجَرُوا فالسُّلطان وليٌّ مَن لا وَلِيَّ له


لا نكاح إلا بِوليٍّ" وفى حديث عائشة " والسّلطان ولِيٌّ من لا وليَّ له


لا نكاح إلا بوليّ
4
سنن التّرمذيّ
لا نكاحَ إلا بولِيّ



5
سنن أبو داود
أيُّما امرأةٍ نكحت بِغير إذن مواليها فنكاحها باطل" ثلاث مرات, " فإن دخل بها فالمهرُ لها بما أصاب منها فإن تشاجروا فالسّلطان ولِيّ من لا وليَّ له "
6
مستدرك الحاكم
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها (1) ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن أصابها (2) ، فلها مهرها بما أصابها ، وإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
7
سنن الدّارمى
لا نكاح إلا بوليّ


أيُّما امرأةٍ نكحت بِغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن تشاجروا قال أبو عاصم وقال مرّة فإن تشاجروا فالسّلطان ولِيّ من لا وليَّ له " فإن أصابها فلها المهر بما استحلّ من فرجها

Dari matriks di atas dapat disimpulkan bahwa matan hadits tentang nikah tanpa wali di atas, terdapat kesamaan dari segi makna walaupun dari segi lafadz berbeda. Dari beberapa hadits di atas dapat ditarik dua lafadz yang berbeda yaitu dengan menggunakan lafad Lâ nikâha illâ biwaliyyin dangan lafadz Ayyumam ra`atin nakahat bighairi idzni waliyyihâ… namun perbedaan lapadz tersebut tidak merubah pada inti makna, yaitu tidak syah dan tidak diterimanya nikah seorang tanpa adanya persetujuan atau kehadiran seorang wali.



2.      Daftar Rawi Sanad

N0

Nama Rawi

Kunyah

Lahir

Wafat

Tempat
Rutbah

Thabaqat
Jarh
Ta`dil
1
Siti Aisyah
Ummu Abdullah

58 H
Madinah

v
Sahabat
2
Ibnu Abbas


68 H
Madinah

v
Sahabat
3
Abdullah bin Qais bin Hadldlor
Abu Musa

50 H
Kufah

v
Sahabat
4
Urwah bin Zubai
Abu Abdullah

93 H
Madinah

v
Tabi`in
5
Amir bin Abdullah bin Qais
Abu Burdah

104 H
Kufah

Tsiqah
Tabi`in
6
Amru bin Abdullah bin Ubaid
Abu Ishaq

128 H
Kufah

Tsiqah
Tabi`in
7
Ikrimah


107 H
Kufah

Tsiqah
Tabi`in
8
Waki bin Jarrah
Abu Sufyan

196 H
Kufah

Tsiqah
Tabi`in
9
Yunus bin Abi Ishaq
Abu Israil

152 H
Kufah

Shaduq
Tabi`in
10
Asbath bin Muhammad
Abu Muhammad

200 H
Kufah

Shalih
Tabi`in
11
Malik bin Ismail
Abu Ghassan

219 H
Kufah

Tsiqah
Tabi`in
12
Sulaiman bin Musa
Abu Ayyub

115 H
Syam

Tsiqah
Tabi`in
13
Ibnu Juraij
Abu Khalid bin Abdul Aziz
80 H
150 H
Roma

Tsiqah
Tabi`in
14
Yazid bin Harun
Abu Khalid

206 H
Hait

Tsiqah
Tabi`u Tabi`in
15
Muhammad bin Muslim
Az-Zuhri

124 H
Madinah

Faqih
Tabi`u Tabi`in
16
Abdul Wahid bin Washil
Abu Ubaidillah

190 H
Bashrah

Tsiqah
Tabi`u Tabi`in
17
Wadldloh bin Abdullah
Abu `Awanah

176 H
Bashrah

Tsabat
Tabi`u Tabiin
18
Muhammad bin Abdul Malik
Abu Ubaidillah

244 H
Basrah

Shaduq
Tabi`u Tabi`in
19
Zaid bin Habbab
Abu al-Husaini

230 H
Kufah

Tsiqah
Tabi`u Tabi`in
20
Abdurrahman bin Mahdi
Abu Said

198 H
Bashrah

Hafiz
Tabi`u Tabi`in
21
Ali bin Hujr
Abu a-Hasan

244 H
Baghdad

Tsiqah hafid
Tabi`u Tabi`in
22
Sufyan
Abu Abdullah

161 H
Kufah

Tsiqah
Tabi`u Tabi`in
23
`Anbasah
-

198 H
Maru

Shaduq
Tabi`u Tabi`in
24
Israil bin Yunus
Abu Yusuf

160 H
Kufah

Tsiqah
Tabi`u Tabiin
25
Syarik bin Abdullah bin Abi Syarik
Abu Abdullah

177 H
Kufah

Shaduq Tsiqah
Tabi`u Tabi`in
26
Abdullah bin Wahab
Abu Muhammad

197 H
Maru

Tsiqah
Tabi`u Tabi`in
27
Abdullah bin Abi Ziyad
Abu Abdurrahma

255 H
Kufah

Tsiqat
Tabi`ul Atba`
28
Qutaibah bin Said
Abu Raja

240 H
Hims

Tsiqah
Tabi`ul Atba
29
Muhammad bin Katsier
Abu Abdullah

223 H
Bashrah

Shaduq
Tabi`ul Atba`
30
Muhammad bin Basyar
Abu Bakar

252 H
Bashrah

Shaduq
Tabi`ul Atba`
31
Abdullah bin Muhammad
Abu Bakar

235 H
Kufah

Shaduq
Tabi`ul Atba`
32
Yahya bin Sulaiman
Abu Said

237 H
Maru

Tsiqah
Tabi`ul Atba`
33
Ahmad
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad
164 H
241 H
Baghdad

Tsiqah
AH
34
Bukhori
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
194 H
256 H
Bukhoro

Dlabith
AH
35
Abu Daud
Sulaiman al-Asy`ats
202 H
275 H
Bashrah

Tsiqah
AH
36
Tirmidzi
Imam alHafiz Abu Isa Muhammad
209 H
279 H
Tirmidz

Dhabith
AH
37
Ibnu Majah
Abu Abdillah Muhammad
207 H
273 H
Qazwin

Tsiqah
AH
38
Hakim
Abu Abdullah Muhammad
321 H
405 H
Naisibur


AH
39
Darimi
Abdullah bin Abdurrahman
181 H
255 H


Hafiz
AH











3. Diagram/Silsilah Sanad












































C. Jenis Hadits
Dilihat dari jumlah rawi hadits, maka hadits bisa dikategorikan menjadi dua macam , yaitu : Mutawâtir dan Ahad. Hadits Mutawâtir adalah hadits yang jumlah rawinya terdiri dari minimal empat (4) orang rawi setiap thabaqâtnya. Sementara hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak mencapai kepada derajat hadits mutawâtir.
Hadits ahad terbagi menjadi tiga (3) macam hadits, yaitu : Masyhûr, `Azǐz, dan Gharǐb. Hadits masyhûr adalah hadits yang jumlah rawinya lebih dari tiga (3) orang atau lebih setiap thabaqâtnya. Sementara hadits `Azǐz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua (2) orang rawi, walaupun dua orang rawi tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqât saja. Sementara hadits Gharǐb adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin termasuk kepada hadits Ahad Masyhûr;. Karena jumlah rawi disetiap thabaqâtnya mencapai jumlah lebih dari tiga (3) orang sebagai syarat hadits ahad masyhûr.
Dilihat dari segi matan, jenis hadits bisa dilihat dari dua segi yaitu bentuk dan idlhâfah. Dari segi bentuknya hadits terbagi empat (4) macam yaitu : Qauli (berdasarkan pada ucapan Nabi saw), Fi`li (berdasar pada perbuatan nabi saw), Taqrǐri (berdasar pada diam atau setuju nabi saw terhadap satu hal/perkara), dan Hammi (berdasar pada sesuatu yang berhubungan dengan pribadi nabi saw). Maka berdasar pada pembagian hadits dari segi bentuknya, maka hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin termasuk hadits Qauli, hal ini berdasar pada kalimat `Qâla an-Nabiyyu saw lâ nikâha illâ biwaliyyin`.
Berdasar pada segi idhâfahnya (penyandaran) maka hadits terbagi menjadi empat (4) macam, yaitu : Hadits Qudsi (disandarkan kepada Allah SWT), Hadits Marfû` (disandarkan kepada Nabi saw), Hadits Mauqûf (disandarkan kepada sahabat), dan Hadits Maqthû` (disandarkan kepada tabi`in). Maka berdasar pada pembagian hadits dari segi idhâfahnya, hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin termasuk hadits Marfû` karena disandarkan kepada Nabi saw`, hal ini berdasar pada kalimat `Qâla an-Nabiyyu saw lâ nikâha illâ biwaliyyin`. Tapi dalam kitab Shâhih Bukhori termasuk kepada hadits mauqûf karena disandarkan kepada sahabat yaitu Siti Aisyah r.a. hal ini dibuktikan dengan kalimat anna `Aisyata akhbarathu ….

D. Kualitas Hadits
Melihat kualitas suatu hadits bisa dilihat dengan dua cara, yaitu : `tash-hǐh` melihat kualitas hadits dengan memperhatikan tiga hal : kualitas rawi, sanad, dan matan`. Suatu hadits itu dianggap sahih dari segi rawi yaitu apabila rawi-rawinya memenuhi dua (2) syarat, yaitu `adil dan dhabit (kuat) kuat dari segi hafalannya ataupun terhadap kitabnya, juga ketika ia harus mengungkapkannya kembali.
Suatu hadits dianggap sahih dari sanadnya apabila sanad-sanad dalam hadits tersebut bersambung antara yang satu dengan yang lainnya. Suatu sanad dikatakan bersambung apabila :
§ Seluruh rawi dalam sanad tersebut benar-benar tsiqat.
§ Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad tersebut benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara syah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadits.
Suatu hadits  dianggap sahih dari segi matannya apabila ia tidak ber-`illat atau bebas dari cacat kesahihannya; dan hadits tersebut juga tidak syadz (janggal) yaitu tidak ada perlawanan/pertentangan dengan hadits maqbûl yang rawinya lebih kuat darinya; baik dari segi ke-dhabitannya, jumlah sanadnya atau dari segi tarjih yang lainnya.
Cara yang kedua untuk mengukur kualitas suatu hadits adalah dengan cara `itibâr. `Itibâr berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan kitab fan yang memuat dalil-dalil hadits.
Maka kalau diteliti dengan menggunakan cara di atas, maka hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin dikategorikan sebagai hadits shahǐh. Dari segi rawi yang meriwayatkannya hadits ini diriwayatkan oleh orang-orang yang dhabit (kuat) hafalan, terpercaya, dan memiliki sifat-sifat mulia yang lainnya, sebagaimana telah tercantum pada tabel terdahulu (Nama rawi sanad).
 Dari segi ketersambungan sanadnya hadits ini digolongkan kepada hadits muttashil karena ketersambungan para rawinya, mulai dari sahabat, tabi`in, tabi`u tabi`in, tabi`u atba` dan ahli hadits. Sementara dilihat dari keadaan sanadnya hadits ini disebut dengan hadits Nâzil Mu`an`an, karena jumlah rawi yang lebih dari tiga per thabaqâh, serta terdapat kata `an dalam sanadnya.
Dari segi matannya, maka hadits ini tidak menunjukkan adanya `illat ataupun syadz bertentangan dengan ayat al-Qur`an ataupun hadits yang lainnya.
Sementara dari metode `Itibâr berkaitan dengan hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin dalam kitab Jâmi`u ash-Shâgir disebutkan bahwa Ibnu Abbas menyebutkan hadits ini yang bersumber dari Abu Musa semuanya adalah Shahih. Sementara dalam kitab Bulughul Marâm dijelaskan bahwa Ibnu al-Madǐni, at-Tirmidzǐ dan Ibnu Hibbân men-shahihkan hadits ini.

E. Tathbǐq
Setiap hadits shahǐh pasti maqbûl. Namun tidak setiap hadits shahǐh dapat diamalkan dengan sendirinya (ma`mûl bih) terkadang hadits shahǐh ada yang tidak bisa diamalkan (ghair ma`mûl bih) dengan alasan tertentu. Hadits sahǐh yang dapat diamalkan itu harus memenuhi empat (4) unsur, yaitu : tegas dan jelas (muhkam), kuat (mukhtalif), unggul (râjih) dan nâsikh.
Sementara hadits sahǐh yang tidak bisa diamalkan adalah apabila terdapat salah satu unsur dari empat hal berikut : tidak jelas (mutasyabbih), marjûh, mansûkh, dan mutawaqif.
Kalau dilihat hadits-hadits yang berkaitan dengan permasalahan pernikahan tanpa wali maka kita akan mendapatkan hadits-hadits tersebut bersifat sama` yakni tidak ada di antara hadits-hadits tersebut yang bertentangan (tanâqud). Selain bersifat sama` hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin juga bersifat muhkam karena kejelasan dan ketegasan baik segi matan atau maknanya. Dengan ketegasan dan kejelasan lafadz dan makna hadits ini, maka ia bisa diamalkan (ma`mûl bih) atau dijadikan hujjah dalam urusan pernikahan.

E. Mufradat/Makna Lafadz
Ø  لا adalah huruf nafi bermakna `tidak ada` dan berfungsi meniadakan semua bentuk atau macam yang dimaksud oleh isim lâ.
Ø  نكاح secara bahasa kata nikah bermakna al-wath`u `sesuatu yang rendah` dan adh-dhammu `sesuatu yang terhimpun`. Sedangkan menurut para fuqaha memberi makna nikah dengan `akad nikah adalah satu alat yang disyari`atkan untuk menggapai kenikmatan seorang suami dari seorang istri baik sebagian tubuh atau seluruh badannya`[1].
Ø  إلا  adalah huruf istitsna bermakna `kecuali` yang berfungsi untuk mengecualikan sesuatu dari mustatsna minhu-nya.
Ø  بِ adalah huruf jar bermakna `dengan`.
Ø  وَلِيٍّ secara bahasa bermakna `kawan, sahabat, atau yang memberi pertolongan`[2]. Sedangkan yang dimaksud dalam wali pernikahan adalah mereka yang ada pertalian nasab yang diutamakan. Para ulama secara umum bersepakat bahwa wali nikah itu terbagi menjadi tiga (3) macam, yaitu : wali mujbir yaitu bapak si pengantin wanita; wali yang diwashiyatkan oleh wali mujbir; dan yang ketiga adalah wali hakim.[3]

Berkaitan dengan permasalahan wali dalam pernikahan, Imam Maliki, Syafi`I dan Hambali telah sepakat akan pentingnya kehadiran seorang wali di dalam proses pernikahan. Menurut mereka kalaulah pernikahan tanpa kehadiran seorang wali, maka pernikahan itu menjadi batal atau tidak syah. Maka tidak boleh seorang wanita dewasa ataupun yang muda usia, yang berakal ataupun kurang berakal mengadakan akad pernikahan tanpa kehadiran seorang wali. Begitu juga tidak boleh seorang perempuan yang perawan menikah tanpa izin seorang wali.

G. Asbâbul Wurûd
Setelah penulis membuka kitab asbâbul wurûd dan syarah hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin, penulis tidak menemukan asbâbul wurûd hadits ini. Namun penulis berpendapat bahwa hadits ini diturunkan berkaitan dengan kondisi kebiasaan orang-orang jahiliyyah dalam melaksanakan praktek pernikahan. Pada masa jahiliyyah pernikahan dilakukan dengan empat (4) cara, yaitu :
  1. Seorang laki-laki melamar seorang wanita, kemudian ia menikahinya dan memberi mahar.
  2. Seorang laki-laki mempersilahkan istrinya untuk digauli oleh laki-laki yang dianggap akan memberikan keturunan yang baik; maka ketika si istri hamil, maka sang suami baru menggaulinya kalau ia mau.
  3. Ada sekelompok laki-laki antar lima s/d sepuluh orang, kemudian mereka menggauli seorang perempuan; maka ketika perempuan itu hamil, maka salah seorang dari mereka tidak bisa menolak kalau perempuan itu menunjuk dia sebagai bapak bayi tersebut.
  4. Sekelompok laki-laki yang menggauli seorang pelacur, dan bagi mereka tidak boleh menolak untuk dijadikan bapak dari bayi perempuan tersebut setelah di konsultasikan dengan orang-orang pintar.
Ke-empat cara pernikahan di zaman jahiliyyah tersebut sebagaimana yang tertera dalam hadits mauqûf, yaitu hadits yang disandarkan kapada sahabat Siti Aisyah ummul mukminǐn yang mengisahkan tentang cara pernikahan pada zaman jahiliyyah. (hadits tercantum pada pembahasan sebelumnya)
Hadits di atas menjelaskan bahwa ketika Islam datang, maka tata cara pernikahan tersebut dihapuskan, dan Rasulullah saw memberikan tuntunan pernikahan dalam Islam salah satunya adalah dengan hadits `Lâ nikâha illâ biwaliyyin` bahwa tidak sah sebuah pernikahan tanpa adanya seorang wali.

H. Istinbâth Ahkâm
Dilihat dari susunan tata bahasa (qawâid al-Lughoh) Arab, maka hadits Lâ Nikâha illâ biwaliyyin` terdiri dari dua kaidah pokok tata bahasa, pertama hukum lan Nâfiyatu liljinsi yaitu kalimat lâ nikâha. Dalam bahasa arab huruf lâ nâfi berfungsi untuk meniadakan seluruh bentuk isim di depannya. Lâ nikâha mempunyai makna meniadakan segala bentuk dan macam pernikahan; baik pernikahan dengan pesta besar-besaran, pesta sederhana, pernikahan negarawan, rakyat biasa, ataupun pernikahan yang bentuknya massal; dengan huruf lâ tadi maka semua bentuk pernikahan tersebut ditiadakan.
Kedua adalah hukum mustatsna bi`illâ, yaitu menjelaskan isim yang terletak setelah huruf illâ sebagai pengecualian dari mustatsna minhunya. Pada contoh hadits ini yang menjadi pengecualian (mustatsna bi`illâ) adalah kalimat biwaliyyin, sedangkan mustatsna minhunya adalah kalimat Nikâha. Maka pernikahan dengan adanya wali adalah pengecualian dari bentuk-bentuk dan macam-macam pernikahan yang ditiadakan oleh huruf lâ nafi. Maka makna secara gamblang adalah tidak ada pernikahan atau tidak syah semua pernikahan kecuali adanya seorang wali.
Selanjutnya para fuqoha, seperti Imam Malik, Syafi`I dan Imam Hambali sepakat bahwa kehadiran seorang wali dalam acara pernikahan adalah suatu hal yang sangat penting. Karena akan menjadi batal atau tidak sahnya sebuah pernikahan tanpa kehadiran seorang wali. Kehadiran seorang wali baik wali mujbir, wali yang ditunjuk oleh wali mujbir ataupun wali hakim merupakan satu syarat mutlak untuk syahnya sebuah pernikahan.

I. Syarah dan Musykilât
Islam datang membawa ajaran-ajaran yang mengangkat harkat derajat semua manusia; baik laki-laki, hamba sahaya, anak kecil ataupun seorang wanita tidak ada perbedaan derajat dalam pandangan Islam kecuali mereka yang bertaqwa.
Kedudukan seorang wanita sebelum Islam datang ada dalam posisi yang sangat rendah sekali; dalam setiap ajaran pun posisi wanita direndahkan. Orang-orang Nasrani mempunyai anggapan bahwa seorang wanita dilahirkan ke dunia ini telah membawa dosa turunan, yaitu dosa yang dilakukan oleh Siti Hawa yang telah menyebabkan Adam as dikeluarkan oleh Allah SWT dari syurga. Dengan keyakinan ini baik orang-orang Nasrani atau Yahudi menganggap wanita sebagai sesuatu yang najis, sehingga ketika seorang wanita datang bulan (haidl) maka mereka tidak mau menyentuhnya bahkan lebih jauh ditinggalkannya.
Zaman jahiliyyah kedudukan wanita pun tidak jauh berbeda. Mereka tidak mendapat tempat dalam kehidupan sosial bangsa Arab, bahkan lebih jauh mereka hendak dimusnahkan dari kehidupan, karena satu keluarga akan mempunyai aib kalau dia mempunyai keturunan berjenis kelamin perempuan. Perempuan zaman jahiliyyah tidak berhak mendapatkan warits, karena menurut mereka wanita tidak membarikan peran atau keuntungan dalam keluarga; bahkan seorang wanita bagaikan piala bergilir di antara mereka. Kalau seorang ayah meninggal, maka istrinya menjadi warisan bagi anaknya; bisa dinikahi ataupun bisa dijual kepada orang lain. Bagi bangsa Arab, wanita selain sebagai sebuah beban keluarga, tapi juga hanya sebagai alat pemuas nafsu belaka.
Namun dalam tata cara Arab jahiliyyah dalam menyalurkan hawa nafsu mereka terhadap lawan jenis mempunyai beberapa cara, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Maka ketika Islam datang, ia merombak tata aturan pernikahan yang dilakukan pada zaman jahiliyyah tersebut. Salah satu tata cara pernikahan dalam Islam adalah dengan keharusan hadirnya seorang wali nikah di fihak perempuan; bahkan tidak sah pernikahan seseorang kalau wali dari fihak perempuan tidak memberi restu.
Para ulama fuqoha telah sepakat tentang pentingnya kehadiran seorang wali dalam pernikahan. Namun di antara mereka berselisih dalam menentukan posisi wali dalam pernikahan tersebut; apakah ia termasuk kepada rukun nikah atau syarat nikah?  Imam Aj-Jazǐri menyebutkan bahwa rukun nikah itu ada dua, yaitu Ijab dan kabûl. Ijab adalah ucapan yang disampaikan oleh wali perempuan, dan kabûl adalah ucapan penerimaan dari pengantin laki-laki.
Madzhab Malikiyyah berpendapat bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu : wali, mahar, pengantin laki-laki, pengantin perempuan dan shigot (akad tikah).menurut madzhab Maliki kelima rukun ini saling berkaitan, yang tidak mungkin terjadinya pernikahan kalau salah satu di antara lima rukun ini tidak ada.
Sementara Imam Syafi`I berpendapat bahwa wali termasuk kepada salah satu dari syarat sahnya pernikahan selain dari mempelai laki-laki dan perempuan serta akad nikah. Sedangkan Imam Hanifah menyebutkan bahwa syarat sahnya pernikahan itu ada tiga, yaitu : yang berkaitan dengan shigot (bentuk), berkaitan dengan akad, dan berkaitan dengan persaksian, di mana salah satunya adalah kehadiran wali.
Sepintas seperti terjadinya pertentangan di antara pendapat di atas; yang satu menyebutkan wali adalah termasuk rukun nikah, yang satu termasuk syarat sah nikah. Namun menurut hemat penulis perbedaan tersebut menjadi tidak urgen karena kedua-duanya menuntut kehadiran seorang wali dalam acara pertikahan; sehingga mau termasuk rukun nikah ataupun syarat sahnya nikah, kehadiran wali tetap wajib dalam sebuah pernikahan.

J. Khulâsoh dan Natǐjah
Hadits Lâ Nikâha illâ biwaliyyin memberikan kesimpulan kepada kaum muslimin bahwa pernikahan itu akan dianggap sah dan sesuai dengan aturan Islam apabila dihadiri oleh wali nikah dari fihak perempuan. Perempuan yang masih perawan ketika akan ditikahkan maka ia harus mendapat restu dari wali nikahnya; sementara mereka yang janda atau pernah berumahtangga, tidak perlu dapat restu dari wali tapi kehadiran wali tersebut dalam acara pernikahan tetap harus ada.
Implikasi dari hadits tersebut memberi penjelasan bahwa tidak ada dan tidak syah sebuah pernikahan tanpa kehadiran seorang wali. Maka apabila ada seorang wanita yang melakukan kawin lari ataupun mengadakan pesta pernikahan secara massal tanpa ada kehadiran seorang wali, maka nikahnya batal.
Hadits `lâ nikâha illâ biwaliyyin` dilihat dari matan maupun sanadnya termasuk hadits shahih. Dari segi matannya hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin tidak bertentangan dengan hadits yang kuat ataupun tidak bertentangan dengan al-Qur`an. Dilihat dari segi sanadnya hadits ini diriwayatkan oleh rawi-rawi yang sebagian besar adalah tsiqat. Dalam kitab Jâmi`u ash-Shaghǐr disebutkan bahwa hadits  lâ nikâha illâ biwaliyyin yang bersumber dari Abu Musa semuanya adalah shahih.
Implementasi dari keshahihan hadits `lâ nikâha illâ biwaliyyin` dia bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan ia bisa dijadikan hujjah atau dalil tentang keharusan adanya seorang wali dalam pelaksanaan pernikahan.




















DAFTAR PUSTAKA

  • Departemen Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Fitrah Rabbani, Jakarta, 2009.
  • Ibnu Abi Bakar As-Suyuthi, Jalâluddin `Abdurrahman. Al-Jâ`mi`u ash-Shâghir fǐ ahâdǐtsi al-Basyǐr an-Nadzǐr, jil. II. Dzar Al-Fikr, Beirut.
  • Barukhoman. Al-Mu`jam al-Fahras li-Alfadhi al-H
  • adǐts al-Nabawi, Juz. VII. London, 1969.
  • `Abdul Bâqi, Muhammad Fu`âd. Sunan Ibnu Mâjah, Juz.I. Dzar al-Fikr,tt.
  • `Abdul Bâqi, Muhammad Fu`âd. Al- Jâmi`u ash-Shâhih Sunan at-Tirmidzi, Juz.I. Dzar al-Fikr,tt.
  • Sunan ad-Dârimǐ, Percetakan Dahlan, Indonesia, tt.
  • Ibnu Muh `Audl al-Jazǐri, Abdurrahman. Al-Fiqhu `Ala al-Madzâhib al-`Arba`ah. Muassasatu al-Mukhtâr Kairo, 2006.
  • Yunus, Mahmud. Kamus Arab – Indonesia. YPPA Jakarta, 1972.
  • Solahuddin, M.Ag, DR. M. Agus. Ulumul Hadits, Pustaka Setia Bandung, 2008.
  • Luthfi Fathullah, MA DR. Ahmad. Cd Metode Belajar Interaktif Hadits dan Ilmu Hadits. Pusat Kajian Hadits Al-Mughni Centre, Jakarta.
  • Ensiklopedi Hadits. Cd Kitab 9 Imam. www. Lidwa Pustaka.
  • Al-Qaththan, Syaikh Manna. Terj. Abdurrahman, Mifdhol. Lc. Pengantar Studi Ilmu hadits. 2004. Pustaka al-Kautsar Jakarta.
  • At-Thahaan, Mahmud. DR. Taisir Mushthalahul Hadits. 1985. Al-Haramain, Sanqafuroh Indonesia.
  • Al-`Ubbad, `Abdul Muhsin. Min Athyabil Munji Fii `Ilmil Mushthalah.  Jami`ah Islamiyyah Madinah. T.t
  • Ibnu Ahmad Karakhǐ, A. Zakaria. Al-Muyassar fǐ `Ilmi an-Nahwi. Dâr Ibnu Azka, Garut, 1987.
  • Ibnu Ahmad Karakhǐ, A. Zakaria. Tarbiyah An-Nisâ. Dâr Ibnu Azka, Garut, 1987.



[1] Al-Jazǐriy, Abdurrahman, al-Fiqhu `ala al-Madzâhib al-`Arba`ah, jilid. 4 hal. 4. Muassisatul al-Mukhtâr, Kairo. 2000.
[2]. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, hal. 507. YYPA, Jakarta. 1972

[3] . Al-Jazǐriy, Abdurrahman, al-Fiqhu `ala al-Madzâhib al-`Arba`ah, jilid. 4 hal. 4. Muassisatul al-Mukhtâr, Kairo. 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar