الشّرح والنّقد على طريقة التخريج
فى الحديث
" النكاح بدون ولِيّ "
SYARAH
DAN KRITIK DENGAN METODE TAKHRîJ
HADITS TENTANG “NIKAH TANPA WALI “
A.
Teks dan Syahid
Pembahasan
Hadits tentang nikah tanpa wali diawali dengan ditemukannya hadits dalam kitab
takhrǐj
Maudhu`I (Bulughul Marâm) susunan al-Asqalani, Kitab Nikah no. hadits 1007 sebagai berikut :
عَنْ
أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ رواه أحمد
والأربعة وصحّحه ابن المَدينِى والتّرمذيّ وابن حبانَ. واعلَّ بالإرسال
Artinya
:`Dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali."
Meriwayatkannya Imam Ahmad dan imam yang empat; dan mensahkannya Ibnu Al-Madini
dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban. Sebagian hadits tersebut mursal.
Berdasarkan foot noot di atas
maka al-Mashâdir al-Ashliyyah dari hadits dimaksud adalah kitab Musnad
Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan Nasaǐ.
Dilâlah/Tautsǐq
menggunakan kitab al-Jâmi`u ash-Shâgir susunan as-Suyûthǐ
dengan menggunakan kata kunci lâ nikâha, maka diperoleh petunjuk sebagai
berikut :
الجامعُ
الصّغير : لانكاح إلا بوَلِيّ. (حم-4.ك) (5) (صح): لأحمد فى مسنده ولأبى داود
وللنسائي والترمذي ولابن ماجه وللحاكم فى مستدركه كلهم عن أبي موسى. ولابن ماجه عن
ابن عباس حديث صحيح. (المجلد الثانى, 751, دار الفكر)
Berdasarkan petunjuk tadi,
maka Al-Mashâdir Al-Ashliyyah dari hadits di atas adalah: Musnad Ahmad,
Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan an-Nasâi serta
Hakim dalam kitab Mustadraknya.
Dilâlah/Tautsǐq
lebih lanjut adalah menggunakan Al-Mu`jamu Al-Fahras susunan Dr. A.J
Mansinck dengan menggunakan kata waliyyun. Dalam kitab tersebut terdapat
petunjuk :
معجم
الفهرس : لانكاح إلا بوليّ. (خ. نكاح 36. د. نكاح 19. ت
نكاح 14. جه نكاح 15. دى نكاح 11. حم 1,259, 4, 394, 413, 418, 6, 36). (المجلد
السابع, 331, دار الفكر).
Berdasarkan petunjuk tadi,
maka al-Mashâdir Al-Ashliyyah dari hadits di atas adalah : Shahǐh Bukhori,
Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan Ad-Dârimǐ, dan
Musnad Ahmad.
Dilâlah/Tautsǐq
berikutnya adalah cek dan ricek berdasarkan CD hadits sembilan imam (Kutubu
at-Tis`ah). Diawali dengan membuka program CD hadits Sembilan Imam. Langkah
kedua adalah dengan mengklik nama-nama sembilan imam satu persatu; langkah
ketiga adalah mengklik tentang kitab nikah disetiap imam dan mencari fashal
tentang kitab nikah tanpa wali. Langkah selanjutnya adalah mengcopy syarah
hadits beserta terjemahnya di setiap imam. Langkah selanjutnya adalah melihat
takhrǐj hadits berdasarkan rawinya. Terakhir adalah menutup aplikasi CD hadits
Sembilan Imam. Dalam Cd hadits sembilan Imam dijelaskan bahwa hadits ini
terdapat dalam :
§
kitab Sunan Tirmidzi, Kitab Nikah hadits no. 1020.
- Sunan Ibnu Majah, Kitab Nikah no. hadits 1871
- Sunan Ad-Darimi no. hadits 2087 dan 2088
- Musnad Ahmad, Kitab Nikah no. hadits18697, 18878, 18911
Berdasarkan petunjuk tadi,
maka al-Mashâdir Al-Ashliyyah dari hadits di atas adalah : Sunan Abu Daud,
Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan Ad-Dârimǐ, dan Musnad Ahmad.
Rekapitulasi Mashâdir
al-Ashliyyah dari hadits di atas adalah sebagai berikut :
N0
|
Dilâlah/Tautsǐq
|
Al-Mashâdir Al-Ashliyyah
|
1
|
Bulughul Marâm
|
Musnad Ahmad, Sunan Abu
Daud, Sunan Tirmidzǐ, Sunan Nasaǐ, Sunan Ibnu Mâjah
|
2
|
Jami`u ash-Shâgir
|
Musnad Ahmad, Sunan Abu
Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan At-Tirmidzi dan Sunan an-Nasâi serta Hakim
dalam kitab Mustadraknya.
|
3
|
Mu`jamu al-Fahras
|
Shahǐh Bukhori, Sunan Abu
Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan Ad-Dârimǐ, dan Musnad Ahmad.
|
4
|
CD Kutub at-Tis`ah
|
Shahih Bukhori, Sunan Abu
Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mâjah, Sunan Ad-Dârimǐ, dan Musnad Ahmad.
|
Dengan demikian al-Mashâdir
al-Ashliyyah secara keseluruhan adalah :
1. Shâhih
Bukhâri,
2. Musnad
Ahmad,
3. Sunan
Abu Daud,
4. Sunan Tirmidzi,
5. Sunan
Ibnu Mâjah,
6. Mustadrak
Hâkim dan
7. Sunan Ad-Darǐmǐ.
Adapun hadits dari
al-Mashâdir al-Ashliyyah di atas adalah sebagai berikut :
1. Bulughu al-Marâm
عَنْ
أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ رواه أحمد
والأربعة وصحّحه ابن المَدينِى والتّرمذيّ وابن حبانَ. واعلَّ بالإرسال
Artinya
:`Dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali."
Meriwayatkannya Imam Ahmad dan imam yang empat; dan mensahkannya Ibnu Al-Madini
dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban. Sebagian hadits tersebut mursal
2. Jami`u
Ash-Shâgir dan Mu`jamu al-Fahras
- Shâhih Bukhorǐ
حدّثنا
يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ
النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ
ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ
يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ
فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا
تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ
ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ
الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ
فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ
وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ
فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا
تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ
فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ
وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ
يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ
مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ
رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا
حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ
الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ
ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا
نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ
Artinya
: `Telah
berkata Yahya bin Sulaiman Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus
-dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih Telah
menceritakan kepada kami Anbasah Telah menceritakan kepada kami Yunus dari Ibnu
Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah
isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan kepadanya bahwa;
Sesungguhnya pada masa Jahiliyah ada empat macam bentuk pernikahan. Pertama,
adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini,
yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian
memberikannya mahar lalu menikahinya. Bentuk kedua yaitu; Seorang suami berkata
kepada isterinya pada saat suci (tidak haidl/subur), "Temuilah si Fulan
dan bergaullah (bersetubuh) dengannya." Sementara sang suami menjauhinya
sementara waktu (tidak menjima'nya) hingga benar-benar ia positif hamil dari
hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif
hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan
hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah
Nikah Al Istibdlaa'. Kemudian bentuk ketiga; Sekelompok orang (kurang dari
sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan
melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita
itu pun mengirimkan surat
kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak.
Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun
berkata, "Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu. Dan aku telah
melahirnya, maka anak itu adalah anakmu wania Fulan." Yakni, wanita itu
memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang
ditunjuk tidak dapat mengelak. Kemudian bentuk keempat; Orang banyak berkumpul,
lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang
orang yang telah menggauli sang wanita. Para
wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka menancapkan tanda pada pintu-pintu
rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan
bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu
melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu
dipanggilkanlah orang yang ahli seluk beluk nasab (Alqafah), dan Al Qafah
inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya
sebagai bapaknya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang
itu tidak bisa mengelak. Maka ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
diutus dengan membawa kebenaran, beliau pun memusnahkan segala bentuk
pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakoni oleh orang-orang hari
ini (Shahih Bukhorǐ; no. hadits 4372).
- Musnad Ahmad
1)
حَدَّثنا عَبْدُ اللهِ
حدّثنى أبي ثنا وكيع وعبد الرّحمن عن إسرائيل عن أبى إسحق عن أبي بردة عن أبيه قال
قال رسول الله ص.م لا نكاح إلا بِولِيٍّ (المجلد الرّابع, ص. 394)
Artinya:
bercerita kepada kami `Abdullah, bercerita kepadaku bapakku, bercerita kepada
kami wak`I dan `Abdurrahman, dari Israil dari Abi Ishaq dari Abi Burdah dari
bapaknya berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidaka ada pernikahan kecuali dengan
adanya wali’ (Musnad Ahmad, jilid IV, hal. 394).
2)
حدّثنا عبد الله
حدّثنى أبي ثنا اسباط بن محمد عن يونس بن أبى إسحق عن أبي بردة عن أبيه ويزيد بن
هرون قال أنا إسرائيل عن أبي إسحق عن أبي بردة عن أبيه قال قال رسول الله ص.م لا
نكاح إلا بِولِيٍّ (المجلد الرّابع, ص. 413)
Artinya:
bercerita kepada kami `Abdullah, bercerita kepadaku bapakku, bercerita kepadaku
Asbath bin Muhammad dari Yunus bin Abi Ishaq dari Abu Burdah dari bapaknya; dan
Yazid bin Harun berkata saya Israil dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari
bapaknya berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidak ada pernikahan kecuali dengan
adanya wali` (Musnad Ahmad, jilid IV, hal. 413)
3)
حدّثنا عبد الله
حدّثنى أبي ثنا عبد الواحد الحداد قال ثنا يونس عن أبي بردة عن أبي موسى أنّ
النّبيّ ص.م قال لا نكاح إلا بِولِيٍّ (المجلد الرّابع, ص. 418)
Artinya:
bercerita kepada kami `Abdullah, bercerita kepadaku bapakku, bercerita kami
`Abdul Wahi al-Haddad berkata bercerita kepada kami Yunus dari Abu Burdah dari
Abu Musa sesungguhnya Nabi saw berkata `Tidak ada pernikahan kecuali dengan
adanya wali` (Musnad Ahmad, Jilid IV, hal. 418).
4)
حدّثنا عبد الله
حدّثنى أبي ثنا سليمان ابن حيان أبو خالد ثنا حجاج عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة
قالت قال رسول الله ص.م لا نكاح إلا بِولِيٍّ والسلطان وليّ من لا وليّ له (المجلد
السّادس, ص. 260)
Artinya:
bercerita kepada kami `Abdullah, bercerita kepadaku bapakku, bercerita kepada
kami Sulaiman bin Hayyan Abu Khâlid bercerita kepada kami Hajjâj dari Zuhri
dari `Urwah dari `Aisyah berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidak ada pernikahan
kecuali dengan adanya wali; dan penguasa adalah wali bagi yang tidak memiliki
seorang wali` (Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 260)
- Sunan Ibnu Mâjah
1)
حدّثنا أبو بكر بن أبى
شيبة ثنا معاذ ثنا ابن جريج, عن سليمان بن موسى عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة قالت
قال رسول الله ص.م " أيُّما امْرأةٍ لم ينْكِحها الولِيُّ فنكاحها باطلٌ
فنكاحها باطل فنكاحها باطل. فإن أصابها فلها مهرُها بما أصاب مِنها. فإن
اشْتجَرُوا فالسُّلطان وليٌّ مَن لا وَلِيَّ له ( الجزء السابع, نمرة. 1879 ص.
605)
Artinya:
bercerita kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, bercerita kepada kami Mu`adz
bercerita kepada kami Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari `Urwah
dari Aisyah berkata: bersabda Rasulullah saw `Wanita manapun yang menikah tanpa
wali maka nikahnya batal; maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Maka jika
suaminya menyetubuhinya, maka ia berhak mendapatkan maharnya. Maka jika mereka
berselisih maka penguasa adalaha wali bagi yang tidak mempunyai wali` (Sunan
Ibnu Mâjah, no. hadits 1879; hal. 605)
2)
حدّثنا أبو كريب ثنا
عبد الله بنُ المبارك عن حجّاج عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة عن النّبيّ ص.م وعن
عِكرمة عن ابن عباس قالا: قال رسول الله ص.م " لا نكاح إلا بِوليٍّ" وفى
حديث عائشة " والسّلطان ولِيٌّ من لا وليَّ له (الجزء السابع, نمرة. 1880 ص.
605)
Artinya:
bercerita kepada kami Abu Kuraib bercerita kepada kami `Abdullah bin al-Mubârak
dari Hajjaj dari `Urwah dari `Aisyah dari Nabi saw, dan dari Ikrimah dan Ibnu
`Abbas mereka berdua berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidak ada pernikahan
kecuali adanya wali` dan pada hadits `Aisyah tambahan lapadz `dan Penguasa
adalah wali bagi orang yang tidak punya wali` (Sunan Ibnu Mâjah, no. hadits
1880; hal. 605)
3)
حدّثنا محمد بن عبد
الملك بن أبي الشّوارب ثنا أبو عوانة ثنا أبو إسحاق المهداني عن أبي بردة عن أبي
موسى قال: قال رسول الله ص.م " لا نكاح إلا بوليّ " (الجزء السابع,
نمرة. 1881 ص. 605)
Artinya:
bercerita kepada kami Muhammad bin `Abdul Mâlik bin Abi Abi Syawârib, bercerita
kepada kami Abu `Awanah bercerita kepada kami Abu Ishaq al-Mahdâni dari Abi
Burdah dari Abi Musa berkata: bersabda Rasulullah saw `Tidak ada pernikahan
kecuali ada wali` (Sunan Ibnu Mâjah, no. hadits 1881; hal. 605)
d. Sunan
Tirmidzǐ
1)
حدّثنا عَلِيُّ بن
حجر. أخبرنا شريك بنُ عبد الله عن أبي إسحق. وحدّثنا قتيبة. حدّثنا أبو عوانة عن
أبي إسحق. ح وحدّثنا محمّد بن بشّار. حدّثنا عبد الرحمن بن مهديّ عن إسرائيل, عن
أبي إسحق. ح وحدّثنا عبد الله بن أبي زياد. حدّثنا زيد بن حباب عن يُونس بنِ أبي
إسحق عن أبي بردة عن أبي مُوسَى قال: قال رسول الله ص.م " لا نكاحَ إلا
بولِيّ " قال: وفى الباب عن عائشة وابن عباس وأبي هريرة وعمران ابن حصين
وأنس.
Artinya:
bercerita kepada kami `Ali bin Nujr, mengabarkan kepada kami Syarǐk bin
`Abdillah bin Abi Ishaq. Dan menceritakan kepada kami Qutaibah, menceritakan
kepada kami Abu `Awanah dari Abi Ishaq dari Abi Ishaq. Dan menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basyar, menceritakan kepada kami `Abdurrahman bin Mahdiy dari
Israil dari Abi Ishaq. Dan menceritakan kepada kami `Abduulah bin Ani Ziyad,
menceritakan kepada kami Zaid bin Habbab dari Yûnus bin Abi Ishaq dari Abu
Burdah dari Abi Musa berkata: bersabda Rasulullah saw ` Tidak ada pernikahan
kecuali ada wali` berkata: dan bab ini dari `Aisyah, Ibnu `Abbas, Abu Hurairah,
`Imran bin Hushain dan dari Anas.
e. Sunan
Abu Daud
1)
حدثنا محمد بن كثير
أخبرنا سفيان حدثنا ابن جريج عن سليمان بن موسى عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة
قالت: قال رسول الله ص.م " أيُّما امرأةٍ نكحت بِغير إذن مواليها فنكاحها
باطل" ثلاث مرات, " فإن دخل بها فالمهرُ لها بما أصاب منها فإن تشاجروا
فالسّلطان ولِيّ من لا وليَّ له " ( الجزء الأول, نمرة. 2083 ص. 478)
Artinya:
bercerita kepada kami Muhammad bin Katsǐr, memberitakan kepada kami Sufyân
menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari
`Urwah dari Aisyah berkata: bersabda Rasulullah saw `Perempuan mana saja yang
menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (3x) maka jika suami
mencampurinya, maka ia berhak menerima mahranya dengan apa yang telah kena
terhadapnya. Maka jika mereka berselisih maka pengusa adalah wali bagi orang
yang tidak mempunyai wali` (Sunan Abu Daud, no. hadits 2083; hal. 487)
f. Mustadrak
Hâkim
أخبرنا أبو العباس محمد بن أحمد المحبوبي بمرو ، ثنا محمد بن معاذ ، وأخبرنا
عبد الرحمن بن حمدان الجلاب ، بهمدان ، ثنا محمد بن الجهم السمري ، قالا : ثنا أبو
عاصم الضحاك بن مخلد ، ثنا ابن جريج ، قال : سمعت سليمان بن موسى ، يقول : ثنا الزهري
، قال : سمعت عروة ، يقول : سمعت عائشة رضي الله عنها ، تقول : سمعت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول : « أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها (1) ، فنكاحها باطل ، فنكاحها
باطل ، فنكاحها باطل ، فإن أصابها (2) ، فلها مهرها بما أصابها ، وإن تشاجروا فالسلطان
ولي من لا ولي له » « هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ، ولم يخرجاه
Artinya:
`telah mengabarkan kepada kami Abul `Abbas Muhammad bin Ahmad al-Mahbûbi,
bercerita kepada kami Muhammad bin Mu`adz dan mengabarkan kepada kami
`Abdurrahman bin Hamdan al-Jalâbi, bercerita kepada kami Muhammad bin jahmi
asSamri, keduanya berkata: bercerita kepada kami Abu `Ashim adh-Dhahak bin
Mukhlid, bercerita Ibnu Juraij berkata, aku telah mendengar Sulaiman bin Musa
berkata berkata, bercerita kepada kami
az-Zuhri ia berkata aku mendengar `Urwah berkata, aku mendengar `Aisyah
berkata, bersabda Rasulullah saw: `Wanita mana saja yang menikah tanpa izin
walinya, maka nikahnya batal (3x), maka jika ia telah menyetubuhinya, maka
berhak bagi si wanita tersebut atas maharnya disebabkan apa yang telah
menimpanya; dan apabila mereka berselisih, maka penguasa wali bagi yang tidak
mempunyai wali` (ini adalah hadits Shahih).
g. Sunan
Ad-Darimǐ
1) اخبرنا مالك بن إسماعيل ثنا إسرائيل عن أبي إسحاق عن أبي
بردة عن أبيه قال: قال رسول الله ص.م " لا نكاح إلا بوليّ " ( الجزء
الثّانى, نمرة. 2079 ص. 137)
Artinya:
mengabarkan kepada kami Mâlik bin Ismail bercerita kepada kami Israil dari Abi
Ishaq dari Abi Burdah dari bapaknya berkata: bersabda Rasulullah saw ` Tidak
ada pernikahan kecuali adanya seorang wali` (Sunan ad-Dârimǐ, no. Hadits 2079;
hal. 137)
2) حدّثنا عليُّ بن حجرٍ أنا شريك عن أبي إسحاق عن أبي بردة عن
أبي موسى عن النّبي ص.م قال: " لا نكاح إلا بولِيٍّ " ( الجزء الثّانى,
نمرة. 2080 ص. 137)
Artinya:
Menceritakan kepada kami `Ali bin Hujr saya Syârik dari Abi Ishaq dari Abu Burdah
dari Abu Musa dari Nabi saw bersabda ` Tidak ada pernikahan kecuali adanya
wali` (Sunan Ad-Dârimǐ, no. hadits 2080;
hal. 137)
3) حدثنا أبو
عاصم عن ابن جريج عن سليمان بن موسى عن الزّهريّ عن عروة عن عائشة عن النّبيّ ص.م
قال " أيُّما امرأةٍ نكحت بِغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها
باطل فإن تشاجروا قال أبو عاصم وقال مرّة فإن تشاجروا فالسّلطان ولِيّ من لا وليَّ
له " فإن أصابها فلها المهر بما استحلّ من فرجها قال أبو عاصم املاه عليَّ
سنة ستّ وأربعين ومأة ( الجزء الثّانى, نمرة. 2081 ص. 137)
Artinya:
Menceritakan kepada kami Abu `Ashim dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Mûsa
dari Zuhri dari `Urwah dari `Aisyah dari Nabi saw bersabda ` Wanita manapun
yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya adalah batal, maka nikahnya
adalah batal, maka nikahnya adalah batal; maka dimana mereka berselisih maka
penguasa adalah wali bagi mereka yang tidak ada walinya; maka dimana suami
menyetubuhinya maka ia berhak terhadap maharnya untuk menghalalkan
kehormatannya` (Sunan ad-Dârimǐ, no. hadits 2081; hal. 137)
3. CD Kitab
Sembilan Imam (Kutub At-Tis`ah)
a. Shâhih
Bukhâri
1) قَالَ
يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ
النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ
ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ
يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ
فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا
تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ
ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ
الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ
فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ
وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ
إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى
يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ
أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ
بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ
الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ
عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ
يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ
دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا
لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ
فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ
مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ
الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ
Artinya
: `Telah
berkata Yahya bin Sulaiman Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus
-dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih Telah
menceritakan kepada kami Anbasah Telah menceritakan kepada kami Yunus dari Ibnu
Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah
isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan kepadanya bahwa;
Sesungguhnya pada masa Jahiliyah ada empat macam bentuk pernikahan. Pertama,
adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini,
yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian
memberikannya mahar lalu menikahinya. Bentuk kedua yaitu; Seorang suami berkata
kepada isterinya pada saat suci (tidak haidl/subur), "Temuilah si Fulan
dan bergaullah (bersetubuh) dengannya." Sementara sang suami menjauhinya
sementara waktu (tidak menjima'nya) hingga benar-benar ia positif hamil dari
hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif
hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan
hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah
Nikah Al Istibdlaa'. Kemudian bentuk ketiga; Sekelompok orang (kurang dari
sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan
melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita
itu pun mengirimkan surat
kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak.
Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun
berkata, "Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu. Dan aku telah
melahirnya, maka anak itu adalah anakmu wania Fulan." Yakni, wanita itu memilih
nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang ditunjuk tidak
dapat mengelak. Kemudian bentuk keempat; Orang banyak berkumpul, lalu menggauli
seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang
telah menggauli sang wanita. Para wanita itu
adalah wanita pelacur. Mereka menancapkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka
sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan
mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka
mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli
seluk beluk nasab (Alqafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang
wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapaknya, sehingga anak itu
dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak bisa mengelak. Maka ketika
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa kebenaran,
beliau pun memusnahkan segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan
yang dilakoni oleh orang-orang hari ini (Shahih Bukhorǐ; no. hadits 4372).
b.
Musnad Ahmad
2) حَدَّثَنَا
أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَن يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ
عَنْ أَبِيهِ وَيَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ عَن أَبِي
إِسْحَاقَ عَن أَبِي بُرْدَةَ عَن أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya
:`Telah menceritakan kepada kami Asbath bin Muhammad dari Yunus bin Abu Ishaq
dari Abu Burdah dari bapaknya dan Yazid bin Harun ia berkata, telah mengabarkan
kepada kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari bapaknya ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pernikahan tidak akan
sah, kecuali dengan wali." (Musnad Ahmad; no. Hadits 18878)
3) حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ الْحَدَّادُ قَالَ ثَنَا
يُونُسُ عَن أَبِي بُرْدَةَ عَن أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya:`Telah
menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid Al Haddad; telah menceritakan kepada kami
Yunus dari Abu Burdah dari Abu Musa bahwa sesungguhnya nabi
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan
seorang wali."(Musnad Ahmad; no. hadits 18911)
c.
Sunan Ibnu Mâjah
4) حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا
ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا
بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا
وَلِيَّ لَهُ
Artinya:
`Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah
menceritakan kepada kami Mu'adz bin Mu'adz berkata, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Az Zuhri dari Urwah dari 'Aisyah
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Wanita mana saja yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya adalah
batil. Nikahnya adalah batil. Jika suaminya telah menyetubuhinya, ia berhak
mendapatkan maharnya karena persetubuhan tersebut. Jika mereka berselisih, maka
penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali." ( Sunan Ibnu Mâjah;
no. hadits 1869)
d.
Sunan Tirmidzǐ
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا
شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ
أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ
أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ
عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ وَأَنَسٍ
Artinya: `Telah menceritakan kepada kami Ali bin
Hujr, telah mengabarkan kepada kami Syarik bin Abdullah dari Abu Ishaq dan
telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Abu
'Awanah dari Abu Ishaq dan diganti dengan riwayat: telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dan
Isra`il dari Abu Ishaq: diganti dari jalur, telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab dari
Yunus bin Abu Ishaq dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali
dengan adanya wali." (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna
diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, 'Imran bin Hushain dan
Anas." (Sunan at-Tirmidzi; no. hadits 1020)
e. Sunan Ad-Dârimǐ
أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَعِيلَ
حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya: `Telah mengabarkan kepadaku Malik bin
Isma'il telah menceritakan kepada kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Abu Burdah
dari Ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak sah pernikahan tanpa seorang wali." (Sunan Ad-Darimǐ; no.
hadits 2087)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا
شَرِيكٌ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Artinya:
`Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah mengceritakan kepada kami
Syarik dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan
seorang wali." (Sunan Ad-Darimi; no. hadits 2088)
B. Unsur Hadits, Daftar
Rawi Sanad, dan Diagram/Silsilah Sanad
1. Unsur
Hadits
a) Rawi
Sanad
1. Shahih
Bukhori
a. Aisyah –
Urwah – Ibnu Syihab – Yunus bin Zaid – Anbasah – Ahmad bin Shalih
b. Aisyah –
Urwah – Ibnu Syihab – Yunus bin Zaid – Abdullah bin Wahab – Yahya bin Sulaiman
2. Musnad
Ahmad
a. Abu Musa – Abu Burdah – Abu Ishaq – Israil –
Waki` - Abu Abdullah - Abdullah
b. Abu Musa
– Abu Burdah – Abu Ishaq – Yazid bin Harun – Abu Abdullah - Abdullah
c. Abu Musa – Abu Burdah – Yunus bin Abi Ishaq
– Abdul Wahid – Abu Abdullah - Abdullah
d. Aisyah –
Urwah – Az-Zuhri – Hajjâj – Abu Khalid – Abu Abdullah - Abdullah
3. Ibnu
Mâjah
a. Aisyah –
Urwah – Az-Zuhri – Sulaiman bin Musa – Ibnu Juraiz – Mu`adz – Abu Bakr bin Abi
Syaibah
b. Aisyah
(Ibnu Abbas, Ikrimah) – Urwah – Az-Zuhri – Hajjâj – Abdullah bin Mubarak – Abu
Kuraib
c. Abu Musa
– Abu Burdah – Abu Ishaq – Abu `Awanah – Muhammad bin Abdul Mâlik
4. Tirmidzǐ
a. Abu Musa
– Abu Burdah – Yunus bin Abi Ishaq – Zaid bin Habbab – Abdullah bin Abi Ziyad
b. Abu Musa
– Abu Ishaq – Israil – Abdurrahman bin Mahdi – Muhammad bin Basyar
c. Abu Musa
– Abu Ishaq – Abu `Awanah – Qutaibah
d. Abu Musa
– Abu Ishaq – Syarik bin Abdillah – Ali bin Hujr
5. Abu
Daud
a. Aisyah –
Urwah – Az-Zuhri – Sulaiman bin Musa – Ibnu Juraij – Sufyan – Muhammad bin
Katsier
6. Hakim
a. Aisyah –
Urwah – Az-Zuhri – Sulaiman bin Yahya – Ibnu Juraij – Abul `Ashim – Abul `Abbas
7. Ad-Dârimǐ
a. Abu Musa
– Abu Burdah – Abu Ishaq – Israil – Malik bin Ismail
b. Abu Musa
– Abu Burdah – Abu Ishaq – Syarik – Ali bin
Hujr
c. Aisyah –
Urwah – Az-Zuhri – Sulaiman bin Musa – Ibnu Juraij – Abu `Ashim
Jadi rawi sanad secara
keseluruhan adalah sebagai berikut :
(1) Aisyah,
(2) Ibnu Abbas, (3) Ikrimah, (4) Abu Musa, (5) Abu Burdah, (6) Abu Ishaq, (7)
Israil, (8) Waki`, (9) Abu Abdullah, (10) Abdullah, (11) Yazid bin Harun, (12)
Yunus bin Abi Ishaq, (13) Asbath bin Muhammad, (14) Abdul Wâhid, (15) Urwah,
(17) Az-Zuhri, (18) Hajjâj, (19) Abu Khâlid, (20) Sulaiman bin Mûsa, (21) Ibnu
Juraij, (22) Mu`adz, (23) Abu Bakr bin Abi Syaibah, (24) Abu Kuraib, (25) Abu
`Awanah, (26) Muhammad bin Abdul Mâlik, (27) Zaid bin Habbab, (28) Abdullah bin
Abi Ziyad, (29) Abdurrahman bin Mahdi, (30) Muhammad bin Basyar, (31) Qutaibah,
(32) Ali bin Hujr, (33) Sufyan, (34) Muhammad bin Kâtsier, (35) Malik bin
Ismail, (36) Abu `Ashim
b) Matan
نمرة
|
المصادر الأصليّة
|
المتن
|
1
|
صحيح البخارى
|
أَنَّ النِّكَاحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ
أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ
إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا
وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ
طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا
زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ
الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا
زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ
الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ
يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ
كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ
بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ
مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ
عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا
فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ
النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ
جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ
تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ
إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ
ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ
ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا
نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ
|
2
|
مسند أحمد
|
لا نكاح إلا بِولِيٍّ
|
لا نكاح إلا بِولِيٍّ والسلطان وليّ من لا وليّ له
|
||
3
|
سنن إبن ماجه
|
أيُّما امْرأةٍ لم ينْكِحها الولِيُّ فنكاحها باطلٌ
فنكاحها باطل فنكاحها باطل. فإن أصابها فلها مهرُها بما أصاب مِنها. فإن
اشْتجَرُوا فالسُّلطان وليٌّ مَن لا وَلِيَّ له
|
لا نكاح إلا بِوليٍّ" وفى حديث عائشة "
والسّلطان ولِيٌّ من لا وليَّ له
|
||
لا نكاح إلا بوليّ
|
||
4
|
سنن التّرمذيّ
|
لا نكاحَ إلا بولِيّ
|
5
|
سنن أبو داود
|
أيُّما امرأةٍ نكحت بِغير إذن مواليها فنكاحها باطل"
ثلاث مرات, " فإن دخل بها فالمهرُ لها بما أصاب منها فإن تشاجروا فالسّلطان
ولِيّ من لا وليَّ له "
|
6
|
مستدرك الحاكم
|
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها (1) ، فنكاحها باطل
، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن أصابها (2) ، فلها مهرها بما أصابها ، وإن تشاجروا
فالسلطان ولي من لا ولي له
|
7
|
سنن الدّارمى
|
لا نكاح إلا بوليّ
|
أيُّما امرأةٍ نكحت بِغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها
باطل فنكاحها باطل فإن تشاجروا قال أبو عاصم وقال مرّة فإن تشاجروا فالسّلطان
ولِيّ من لا وليَّ له " فإن أصابها فلها المهر بما استحلّ من فرجها
|
Dari matriks di atas dapat
disimpulkan bahwa matan hadits tentang nikah tanpa wali di atas, terdapat
kesamaan dari segi makna walaupun dari segi lafadz berbeda. Dari beberapa
hadits di atas dapat ditarik dua lafadz yang berbeda yaitu dengan menggunakan
lafad Lâ nikâha illâ biwaliyyin dangan lafadz Ayyumam ra`atin nakahat
bighairi idzni waliyyihâ… namun perbedaan lapadz tersebut tidak merubah
pada inti makna, yaitu tidak syah dan tidak diterimanya nikah seorang tanpa
adanya persetujuan atau kehadiran seorang wali.
2. Daftar
Rawi Sanad
N0
|
Nama Rawi
|
Kunyah
|
Lahir
|
Wafat
|
Tempat
|
Rutbah
|
Thabaqat
|
|
Jarh
|
Ta`dil
|
|||||||
1
|
Siti Aisyah
|
Ummu Abdullah
|
58 H
|
Madinah
|
v
|
Sahabat
|
||
2
|
Ibnu Abbas
|
68 H
|
Madinah
|
v
|
Sahabat
|
|||
3
|
Abdullah bin Qais bin Hadldlor
|
Abu Musa
|
50 H
|
Kufah
|
v
|
Sahabat
|
||
4
|
Urwah bin Zubai
|
Abu Abdullah
|
93 H
|
Madinah
|
v
|
Tabi`in
|
||
5
|
Amir bin Abdullah bin Qais
|
Abu Burdah
|
104 H
|
Kufah
|
Tsiqah
|
Tabi`in
|
||
6
|
Amru bin Abdullah bin Ubaid
|
Abu Ishaq
|
128 H
|
Kufah
|
Tsiqah
|
Tabi`in
|
||
7
|
Ikrimah
|
107 H
|
Kufah
|
Tsiqah
|
Tabi`in
|
|||
8
|
Waki bin Jarrah
|
Abu Sufyan
|
196 H
|
Kufah
|
Tsiqah
|
Tabi`in
|
||
9
|
Yunus bin Abi Ishaq
|
Abu Israil
|
152 H
|
Kufah
|
Shaduq
|
Tabi`in
|
||
10
|
Asbath bin Muhammad
|
Abu Muhammad
|
200 H
|
Kufah
|
Shalih
|
Tabi`in
|
||
11
|
Malik bin Ismail
|
Abu Ghassan
|
219 H
|
Kufah
|
Tsiqah
|
Tabi`in
|
||
12
|
Sulaiman bin Musa
|
Abu Ayyub
|
115 H
|
Syam
|
Tsiqah
|
Tabi`in
|
||
13
|
Ibnu Juraij
|
Abu Khalid bin Abdul Aziz
|
80 H
|
150 H
|
Roma
|
Tsiqah
|
Tabi`in
|
|
14
|
Yazid bin Harun
|
Abu Khalid
|
206 H
|
Hait
|
Tsiqah
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
15
|
Muhammad bin Muslim
|
Az-Zuhri
|
124 H
|
Madinah
|
Faqih
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
16
|
Abdul Wahid bin Washil
|
Abu Ubaidillah
|
190 H
|
Bashrah
|
Tsiqah
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
17
|
Wadldloh bin Abdullah
|
Abu `Awanah
|
176 H
|
Bashrah
|
Tsabat
|
Tabi`u Tabiin
|
||
18
|
Muhammad bin Abdul Malik
|
Abu Ubaidillah
|
244 H
|
Basrah
|
Shaduq
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
19
|
Zaid bin Habbab
|
Abu al-Husaini
|
230 H
|
Kufah
|
Tsiqah
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
20
|
Abdurrahman bin Mahdi
|
Abu Said
|
198 H
|
Bashrah
|
Hafiz
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
21
|
Ali bin Hujr
|
Abu a-Hasan
|
244 H
|
Baghdad
|
Tsiqah hafid
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
22
|
Sufyan
|
Abu Abdullah
|
161 H
|
Kufah
|
Tsiqah
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
23
|
`Anbasah
|
-
|
198 H
|
Maru
|
Shaduq
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
24
|
Israil bin Yunus
|
Abu Yusuf
|
160 H
|
Kufah
|
Tsiqah
|
Tabi`u Tabiin
|
||
25
|
Syarik bin Abdullah bin Abi Syarik
|
Abu Abdullah
|
177 H
|
Kufah
|
Shaduq Tsiqah
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
26
|
Abdullah bin Wahab
|
Abu Muhammad
|
197 H
|
Maru
|
Tsiqah
|
Tabi`u Tabi`in
|
||
27
|
Abdullah bin Abi Ziyad
|
Abu Abdurrahma
|
255 H
|
Kufah
|
Tsiqat
|
Tabi`ul Atba`
|
||
28
|
Qutaibah bin Said
|
Abu Raja
|
240 H
|
Hims
|
Tsiqah
|
Tabi`ul Atba
|
||
29
|
Muhammad bin Katsier
|
Abu Abdullah
|
223 H
|
Bashrah
|
Shaduq
|
Tabi`ul Atba`
|
||
30
|
Muhammad bin Basyar
|
Abu Bakar
|
252 H
|
Bashrah
|
Shaduq
|
Tabi`ul Atba`
|
||
31
|
Abdullah bin Muhammad
|
Abu Bakar
|
235 H
|
Kufah
|
Shaduq
|
Tabi`ul Atba`
|
||
32
|
Yahya bin Sulaiman
|
Abu Said
|
237 H
|
Maru
|
Tsiqah
|
Tabi`ul Atba`
|
||
33
|
Ahmad
|
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad
|
164 H
|
241 H
|
Baghdad
|
Tsiqah
|
AH
|
|
34
|
Bukhori
|
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
|
194 H
|
256 H
|
Bukhoro
|
Dlabith
|
AH
|
|
35
|
Abu Daud
|
Sulaiman al-Asy`ats
|
202 H
|
275 H
|
Bashrah
|
Tsiqah
|
AH
|
|
36
|
Tirmidzi
|
Imam alHafiz Abu Isa Muhammad
|
209 H
|
279 H
|
Tirmidz
|
Dhabith
|
AH
|
|
37
|
Ibnu Majah
|
Abu Abdillah Muhammad
|
207 H
|
273 H
|
Qazwin
|
Tsiqah
|
AH
|
|
38
|
Hakim
|
Abu Abdullah Muhammad
|
321 H
|
405 H
|
Naisibur
|
AH
|
||
39
|
Darimi
|
Abdullah bin Abdurrahman
|
181 H
|
255 H
|
Hafiz
|
AH
|
3. Diagram/Silsilah Sanad
C. Jenis Hadits
Dilihat dari
jumlah rawi hadits, maka hadits bisa dikategorikan menjadi dua macam , yaitu : Mutawâtir
dan Ahad. Hadits Mutawâtir adalah hadits yang jumlah rawinya
terdiri dari minimal empat (4) orang rawi setiap thabaqâtnya. Sementara
hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak mencapai kepada
derajat hadits mutawâtir.
Hadits ahad
terbagi menjadi tiga (3) macam hadits, yaitu : Masyhûr, `Azǐz,
dan Gharǐb. Hadits masyhûr adalah hadits yang jumlah rawinya
lebih dari tiga (3) orang atau lebih setiap thabaqâtnya. Sementara
hadits `Azǐz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua (2) orang rawi,
walaupun dua orang rawi tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqât
saja. Sementara hadits Gharǐb adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang rawi saja.
Berdasarkan
definisi-definisi di atas, maka hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin
termasuk kepada hadits Ahad Masyhûr;. Karena jumlah rawi disetiap
thabaqâtnya mencapai jumlah lebih dari tiga (3) orang sebagai syarat hadits ahad
masyhûr.
Dilihat dari segi
matan, jenis hadits bisa dilihat dari dua segi yaitu bentuk dan idlhâfah.
Dari segi bentuknya hadits terbagi empat (4) macam yaitu : Qauli
(berdasarkan pada ucapan Nabi saw), Fi`li (berdasar pada perbuatan nabi
saw), Taqrǐri (berdasar pada diam atau setuju nabi saw terhadap satu
hal/perkara), dan Hammi (berdasar pada sesuatu yang berhubungan dengan
pribadi nabi saw). Maka berdasar pada pembagian hadits dari segi bentuknya,
maka hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin termasuk hadits Qauli,
hal ini berdasar pada kalimat `Qâla an-Nabiyyu saw lâ nikâha illâ
biwaliyyin`.
Berdasar pada
segi idhâfahnya (penyandaran) maka hadits terbagi menjadi empat (4)
macam, yaitu : Hadits Qudsi (disandarkan kepada Allah SWT), Hadits
Marfû` (disandarkan kepada Nabi saw), Hadits Mauqûf (disandarkan
kepada sahabat), dan Hadits Maqthû` (disandarkan kepada tabi`in). Maka
berdasar pada pembagian hadits dari segi idhâfahnya, hadits lâ nikâha
illâ biwaliyyin termasuk hadits Marfû` karena disandarkan
kepada Nabi saw`, hal ini berdasar pada kalimat `Qâla an-Nabiyyu
saw lâ nikâha illâ biwaliyyin`. Tapi dalam kitab Shâhih Bukhori termasuk
kepada hadits mauqûf karena disandarkan kepada sahabat yaitu Siti Aisyah r.a.
hal ini dibuktikan dengan kalimat anna `Aisyata akhbarathu ….
D. Kualitas Hadits
Melihat kualitas
suatu hadits bisa dilihat dengan dua cara, yaitu : `tash-hǐh` melihat
kualitas hadits dengan memperhatikan tiga hal : kualitas rawi, sanad,
dan matan`. Suatu hadits itu dianggap sahih dari segi rawi yaitu apabila
rawi-rawinya memenuhi dua (2) syarat, yaitu `adil dan dhabit
(kuat) kuat dari segi hafalannya ataupun terhadap kitabnya, juga ketika ia
harus mengungkapkannya kembali.
Suatu hadits
dianggap sahih dari sanadnya apabila sanad-sanad dalam hadits tersebut
bersambung antara yang satu dengan yang lainnya. Suatu sanad dikatakan
bersambung apabila :
§
Seluruh rawi dalam sanad tersebut benar-benar tsiqat.
§
Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya
dalam sanad tersebut benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits
secara syah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadits.
Suatu hadits dianggap sahih dari segi matannya apabila ia
tidak ber-`illat atau bebas dari cacat kesahihannya; dan hadits tersebut
juga tidak syadz (janggal) yaitu tidak ada perlawanan/pertentangan
dengan hadits maqbûl yang rawinya lebih kuat darinya; baik dari segi ke-dhabitannya,
jumlah sanadnya atau dari segi tarjih yang lainnya.
Cara yang kedua
untuk mengukur kualitas suatu hadits adalah dengan cara `itibâr. `Itibâr
berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang
asli, kitab syarah dan kitab fan yang memuat dalil-dalil hadits.
Maka kalau
diteliti dengan menggunakan cara di atas, maka hadits lâ nikâha illâ
biwaliyyin dikategorikan sebagai hadits shahǐh. Dari segi
rawi yang meriwayatkannya hadits ini diriwayatkan oleh orang-orang yang dhabit
(kuat) hafalan, terpercaya, dan memiliki sifat-sifat mulia yang lainnya,
sebagaimana telah tercantum pada tabel terdahulu (Nama rawi sanad).
Dari segi ketersambungan sanadnya hadits ini
digolongkan kepada hadits muttashil karena ketersambungan para rawinya,
mulai dari sahabat, tabi`in, tabi`u tabi`in, tabi`u atba` dan ahli
hadits. Sementara dilihat dari keadaan sanadnya hadits ini disebut dengan
hadits Nâzil Mu`an`an, karena jumlah rawi yang lebih dari tiga per
thabaqâh, serta terdapat kata `an dalam sanadnya.
Dari segi
matannya, maka hadits ini tidak menunjukkan adanya `illat ataupun syadz
bertentangan dengan ayat al-Qur`an ataupun hadits yang lainnya.
Sementara dari
metode `Itibâr berkaitan dengan hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin dalam
kitab Jâmi`u ash-Shâgir disebutkan bahwa Ibnu Abbas menyebutkan hadits
ini yang bersumber dari Abu Musa semuanya adalah Shahih. Sementara dalam kitab
Bulughul Marâm dijelaskan bahwa Ibnu al-Madǐni, at-Tirmidzǐ dan Ibnu Hibbân
men-shahihkan hadits ini.
E. Tathbǐq
Setiap hadits
shahǐh pasti maqbûl. Namun tidak setiap hadits shahǐh dapat diamalkan
dengan sendirinya (ma`mûl bih) terkadang hadits shahǐh ada yang tidak
bisa diamalkan (ghair ma`mûl bih) dengan alasan tertentu. Hadits sahǐh
yang dapat diamalkan itu harus memenuhi empat (4) unsur, yaitu : tegas dan
jelas (muhkam), kuat (mukhtalif), unggul (râjih) dan nâsikh.
Sementara hadits
sahǐh yang tidak bisa diamalkan adalah apabila terdapat salah satu unsur dari
empat hal berikut : tidak jelas (mutasyabbih), marjûh, mansûkh, dan
mutawaqif.
Kalau dilihat
hadits-hadits yang berkaitan dengan permasalahan pernikahan tanpa wali maka
kita akan mendapatkan hadits-hadits tersebut bersifat sama` yakni
tidak ada di antara hadits-hadits tersebut yang bertentangan (tanâqud).
Selain bersifat sama` hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin juga
bersifat muhkam karena kejelasan dan ketegasan baik segi matan atau
maknanya. Dengan ketegasan dan kejelasan lafadz dan makna hadits ini, maka ia
bisa diamalkan (ma`mûl bih) atau dijadikan hujjah dalam urusan
pernikahan.
E. Mufradat/Makna Lafadz
Ø
لا adalah huruf nafi bermakna `tidak ada` dan berfungsi
meniadakan semua bentuk atau macam yang dimaksud oleh isim lâ.
Ø
نكاح secara bahasa kata nikah bermakna al-wath`u `sesuatu
yang rendah` dan adh-dhammu `sesuatu yang terhimpun`. Sedangkan menurut
para fuqaha memberi makna nikah dengan `akad nikah adalah satu alat yang disyari`atkan
untuk menggapai kenikmatan seorang suami dari seorang istri baik sebagian tubuh
atau seluruh badannya`[1].
Ø
إلا
adalah
huruf istitsna bermakna `kecuali` yang berfungsi untuk mengecualikan
sesuatu dari mustatsna minhu-nya.
Ø
بِ adalah huruf jar bermakna
`dengan`.
Ø
وَلِيٍّ secara bahasa bermakna `kawan, sahabat, atau yang memberi
pertolongan`[2]. Sedangkan yang dimaksud
dalam wali pernikahan adalah mereka yang ada pertalian nasab yang diutamakan. Para ulama secara umum bersepakat bahwa wali nikah itu
terbagi menjadi tiga (3) macam, yaitu : wali mujbir yaitu bapak si
pengantin wanita; wali yang diwashiyatkan oleh wali mujbir; dan yang
ketiga adalah wali hakim.[3]
Berkaitan dengan
permasalahan wali dalam pernikahan, Imam Maliki, Syafi`I dan Hambali telah
sepakat akan pentingnya kehadiran seorang wali di dalam proses pernikahan.
Menurut mereka kalaulah pernikahan tanpa kehadiran seorang wali, maka
pernikahan itu menjadi batal atau tidak syah. Maka tidak boleh seorang wanita
dewasa ataupun yang muda usia, yang berakal ataupun kurang berakal mengadakan
akad pernikahan tanpa kehadiran seorang wali. Begitu juga tidak boleh seorang
perempuan yang perawan menikah tanpa izin seorang wali.
G. Asbâbul Wurûd
Setelah penulis
membuka kitab asbâbul wurûd dan syarah hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin,
penulis tidak menemukan asbâbul wurûd hadits ini. Namun penulis
berpendapat bahwa hadits ini diturunkan berkaitan dengan kondisi kebiasaan
orang-orang jahiliyyah dalam melaksanakan praktek pernikahan. Pada masa
jahiliyyah pernikahan dilakukan dengan empat (4) cara, yaitu :
- Seorang laki-laki melamar seorang wanita, kemudian ia menikahinya dan memberi mahar.
- Seorang laki-laki mempersilahkan istrinya untuk digauli oleh laki-laki yang dianggap akan memberikan keturunan yang baik; maka ketika si istri hamil, maka sang suami baru menggaulinya kalau ia mau.
- Ada sekelompok laki-laki antar lima s/d sepuluh orang, kemudian mereka menggauli seorang perempuan; maka ketika perempuan itu hamil, maka salah seorang dari mereka tidak bisa menolak kalau perempuan itu menunjuk dia sebagai bapak bayi tersebut.
- Sekelompok laki-laki yang menggauli seorang pelacur, dan bagi mereka tidak boleh menolak untuk dijadikan bapak dari bayi perempuan tersebut setelah di konsultasikan dengan orang-orang pintar.
Ke-empat cara pernikahan di
zaman jahiliyyah tersebut sebagaimana yang tertera dalam hadits mauqûf,
yaitu hadits yang disandarkan kapada sahabat Siti Aisyah ummul mukminǐn yang
mengisahkan tentang cara pernikahan pada zaman jahiliyyah. (hadits tercantum
pada pembahasan sebelumnya)
Hadits di atas
menjelaskan bahwa ketika Islam datang, maka tata cara pernikahan tersebut
dihapuskan, dan Rasulullah saw memberikan tuntunan pernikahan dalam Islam salah
satunya adalah dengan hadits `Lâ nikâha illâ biwaliyyin` bahwa tidak sah
sebuah pernikahan tanpa adanya seorang wali.
H. Istinbâth Ahkâm
Dilihat dari
susunan tata bahasa (qawâid al-Lughoh) Arab, maka hadits Lâ Nikâha
illâ biwaliyyin` terdiri dari dua kaidah pokok tata bahasa, pertama
hukum lan Nâfiyatu liljinsi yaitu kalimat lâ nikâha. Dalam bahasa
arab huruf lâ nâfi berfungsi untuk meniadakan seluruh bentuk isim di
depannya. Lâ nikâha mempunyai makna meniadakan segala bentuk dan macam
pernikahan; baik pernikahan dengan pesta besar-besaran, pesta sederhana,
pernikahan negarawan, rakyat biasa, ataupun pernikahan yang bentuknya massal;
dengan huruf lâ tadi maka semua bentuk pernikahan tersebut ditiadakan.
Kedua adalah hukum mustatsna bi`illâ,
yaitu menjelaskan isim yang terletak setelah huruf illâ sebagai
pengecualian dari mustatsna minhunya. Pada contoh hadits ini yang
menjadi pengecualian (mustatsna bi`illâ) adalah kalimat biwaliyyin,
sedangkan mustatsna minhunya adalah kalimat Nikâha. Maka
pernikahan dengan adanya wali adalah pengecualian dari bentuk-bentuk dan
macam-macam pernikahan yang ditiadakan oleh huruf lâ nafi. Maka makna
secara gamblang adalah tidak ada pernikahan atau tidak syah semua pernikahan
kecuali adanya seorang wali.
Selanjutnya para
fuqoha, seperti Imam Malik, Syafi`I dan Imam Hambali sepakat bahwa kehadiran
seorang wali dalam acara pernikahan adalah suatu hal yang sangat penting.
Karena akan menjadi batal atau tidak sahnya sebuah pernikahan tanpa kehadiran
seorang wali. Kehadiran seorang wali baik wali mujbir, wali yang
ditunjuk oleh wali mujbir ataupun wali hakim merupakan satu
syarat mutlak untuk syahnya sebuah pernikahan.
I. Syarah dan Musykilât
Islam datang
membawa ajaran-ajaran yang mengangkat harkat derajat semua manusia; baik
laki-laki, hamba sahaya, anak kecil ataupun seorang wanita tidak ada perbedaan
derajat dalam pandangan Islam kecuali mereka yang bertaqwa.
Kedudukan seorang
wanita sebelum Islam datang ada dalam posisi yang sangat rendah sekali; dalam
setiap ajaran pun posisi wanita direndahkan. Orang-orang Nasrani mempunyai
anggapan bahwa seorang wanita dilahirkan ke dunia ini telah membawa dosa
turunan, yaitu dosa yang dilakukan oleh Siti Hawa yang telah menyebabkan Adam
as dikeluarkan oleh Allah SWT dari syurga. Dengan keyakinan ini baik
orang-orang Nasrani atau Yahudi menganggap wanita sebagai sesuatu yang najis,
sehingga ketika seorang wanita datang bulan (haidl) maka mereka tidak mau
menyentuhnya bahkan lebih jauh ditinggalkannya.
Zaman jahiliyyah
kedudukan wanita pun tidak jauh berbeda. Mereka tidak mendapat tempat dalam
kehidupan sosial bangsa Arab, bahkan lebih jauh mereka hendak dimusnahkan dari
kehidupan, karena satu keluarga akan mempunyai aib kalau dia mempunyai
keturunan berjenis kelamin perempuan. Perempuan zaman jahiliyyah tidak berhak
mendapatkan warits, karena menurut mereka wanita tidak membarikan peran atau
keuntungan dalam keluarga; bahkan seorang wanita bagaikan piala bergilir di
antara mereka. Kalau seorang ayah meninggal, maka istrinya menjadi warisan bagi
anaknya; bisa dinikahi ataupun bisa dijual kepada orang lain. Bagi bangsa Arab,
wanita selain sebagai sebuah beban keluarga, tapi juga hanya sebagai alat
pemuas nafsu belaka.
Namun dalam tata
cara Arab jahiliyyah dalam menyalurkan hawa nafsu mereka terhadap lawan jenis
mempunyai beberapa cara, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Maka ketika
Islam datang, ia merombak tata aturan pernikahan yang dilakukan pada zaman
jahiliyyah tersebut. Salah satu tata cara pernikahan dalam Islam adalah dengan
keharusan hadirnya seorang wali nikah di fihak perempuan; bahkan tidak sah pernikahan
seseorang kalau wali dari fihak perempuan tidak memberi restu.
Para ulama fuqoha telah sepakat
tentang pentingnya kehadiran seorang wali dalam pernikahan. Namun di antara
mereka berselisih dalam menentukan posisi wali dalam pernikahan tersebut; apakah
ia termasuk kepada rukun nikah atau syarat nikah? Imam Aj-Jazǐri menyebutkan bahwa rukun nikah
itu ada dua, yaitu Ijab dan kabûl. Ijab adalah ucapan yang disampaikan oleh
wali perempuan, dan kabûl adalah ucapan penerimaan dari pengantin laki-laki.
Madzhab
Malikiyyah berpendapat bahwa rukun nikah itu ada lima
macam, yaitu : wali, mahar, pengantin laki-laki, pengantin perempuan dan shigot
(akad tikah).menurut madzhab Maliki kelima rukun ini saling berkaitan, yang
tidak mungkin terjadinya pernikahan kalau salah satu di antara lima rukun ini tidak ada.
Sementara Imam
Syafi`I berpendapat bahwa wali termasuk kepada salah satu dari syarat sahnya
pernikahan selain dari mempelai laki-laki dan perempuan serta akad nikah.
Sedangkan Imam Hanifah menyebutkan bahwa syarat sahnya pernikahan itu ada tiga,
yaitu : yang berkaitan dengan shigot (bentuk), berkaitan dengan akad, dan
berkaitan dengan persaksian, di mana salah satunya adalah kehadiran wali.
Sepintas seperti
terjadinya pertentangan di antara pendapat di atas; yang satu menyebutkan wali
adalah termasuk rukun nikah, yang satu termasuk syarat sah nikah. Namun menurut
hemat penulis perbedaan tersebut menjadi tidak urgen karena kedua-duanya
menuntut kehadiran seorang wali dalam acara pertikahan; sehingga mau termasuk rukun
nikah ataupun syarat sahnya nikah, kehadiran wali tetap wajib dalam sebuah
pernikahan.
J. Khulâsoh dan Natǐjah
Hadits Lâ Nikâha
illâ biwaliyyin memberikan kesimpulan kepada kaum muslimin bahwa pernikahan
itu akan dianggap sah dan sesuai dengan aturan Islam apabila dihadiri oleh wali
nikah dari fihak perempuan. Perempuan yang masih perawan ketika akan ditikahkan
maka ia harus mendapat restu dari wali nikahnya; sementara mereka yang janda
atau pernah berumahtangga, tidak perlu dapat restu dari wali tapi kehadiran
wali tersebut dalam acara pernikahan tetap harus ada.
Implikasi dari
hadits tersebut memberi penjelasan bahwa tidak ada dan tidak syah sebuah
pernikahan tanpa kehadiran seorang wali. Maka apabila ada seorang wanita yang
melakukan kawin lari ataupun mengadakan pesta pernikahan secara massal tanpa
ada kehadiran seorang wali, maka nikahnya batal.
Hadits `lâ
nikâha illâ biwaliyyin` dilihat dari matan maupun sanadnya termasuk hadits
shahih. Dari segi matannya hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin tidak bertentangan
dengan hadits yang kuat ataupun tidak bertentangan dengan al-Qur`an. Dilihat
dari segi sanadnya hadits ini diriwayatkan oleh rawi-rawi yang sebagian besar
adalah tsiqat. Dalam kitab Jâmi`u ash-Shaghǐr disebutkan bahwa hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin yang
bersumber dari Abu Musa semuanya adalah shahih.
Implementasi dari
keshahihan hadits `lâ nikâha illâ biwaliyyin` dia bisa diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari dan ia bisa dijadikan hujjah atau dalil tentang keharusan
adanya seorang wali dalam pelaksanaan pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA
- Departemen Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Fitrah Rabbani, Jakarta, 2009.
- Ibnu Abi Bakar As-Suyuthi, Jalâluddin `Abdurrahman. Al-Jâ`mi`u ash-Shâghir fǐ ahâdǐtsi al-Basyǐr an-Nadzǐr, jil. II. Dzar Al-Fikr, Beirut.
- Barukhoman. Al-Mu`jam al-Fahras li-Alfadhi al-H
- adǐts al-Nabawi, Juz. VII. London, 1969.
- `Abdul Bâqi, Muhammad Fu`âd. Sunan Ibnu Mâjah, Juz.I. Dzar al-Fikr,tt.
- `Abdul Bâqi, Muhammad Fu`âd. Al- Jâmi`u ash-Shâhih Sunan at-Tirmidzi, Juz.I. Dzar al-Fikr,tt.
- Sunan ad-Dârimǐ, Percetakan Dahlan, Indonesia, tt.
- Ibnu Muh `Audl al-Jazǐri, Abdurrahman. Al-Fiqhu `Ala al-Madzâhib al-`Arba`ah. Muassasatu al-Mukhtâr Kairo, 2006.
- Yunus, Mahmud. Kamus Arab – Indonesia. YPPA Jakarta, 1972.
- Solahuddin, M.Ag, DR. M. Agus. Ulumul Hadits, Pustaka Setia Bandung, 2008.
- Luthfi Fathullah, MA DR. Ahmad. Cd Metode Belajar Interaktif Hadits dan Ilmu Hadits. Pusat Kajian Hadits Al-Mughni Centre, Jakarta.
- Ensiklopedi Hadits. Cd Kitab 9 Imam. www. Lidwa Pustaka.
- Al-Qaththan, Syaikh Manna. Terj. Abdurrahman, Mifdhol. Lc. Pengantar Studi Ilmu hadits. 2004. Pustaka al-Kautsar Jakarta.
- At-Thahaan, Mahmud. DR. Taisir Mushthalahul Hadits. 1985. Al-Haramain, Sanqafuroh Indonesia.
- Al-`Ubbad, `Abdul Muhsin. Min Athyabil Munji Fii `Ilmil Mushthalah. Jami`ah Islamiyyah Madinah. T.t
- Ibnu Ahmad Karakhǐ, A. Zakaria. Al-Muyassar fǐ `Ilmi an-Nahwi. Dâr Ibnu Azka, Garut, 1987.
- Ibnu Ahmad Karakhǐ, A. Zakaria. Tarbiyah An-Nisâ. Dâr Ibnu Azka, Garut, 1987.
[1]
Al-Jazǐriy, Abdurrahman, al-Fiqhu `ala al-Madzâhib
al-`Arba`ah, jilid. 4 hal. 4. Muassisatul al-Mukhtâr, Kairo. 2000.
[2]. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, hal. 507.
YYPA, Jakarta.
1972
[3]
. Al-Jazǐriy, Abdurrahman, al-Fiqhu `ala al-Madzâhib
al-`Arba`ah, jilid. 4 hal. 4. Muassisatul al-Mukhtâr, Kairo. 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar