Sabtu, 24 November 2012

Profesionalisme Pendidikan di MTs. Persis Tarogong



BAB. I
PENDAHULUAN

Manusia terlahir ke dunia jauh berbeda dengan kondisi hewan yang dilahirkan oleh induknya. Ketika seorang manusia lahir, hanya menangis yang bisa ia lakukan; namun seekor ular ketika ia keluar dari cangkang telurnya, maka ia sudah langsung bisa merayap dan mencari makan sendiri; begitu juga seekor domba umpamanya, ketika ia dilahirkan oleh induknya maka ia membutuhkan hanya beberapa menit untuk mampu berdiri dan menyusu ke induknya secara mandiri.
Apa yang dilakukan oleh ular ataupun domba seperti yang digambarkan di atas adalah berdasarkan gharizah atau naluri yang mereka miliki dan dibekali oleh Allah SWT; karena binatang dapat tumbuh hidup dan berkembang berdasarkan naluri atau instingtif yang mereka miliki.[1]Sementara manusia tidak bisa melakukan hal tersebut karena manusia tidak dibekali hal yang seperti itu. Namun Allah SWT justru membekali manusia dengan alat yang lebih sempurna yaitu akal fikiran, melalui pemberian pendengaran (telinga), penglihatan (mata), dan rasa (hati). Dengan ketiga bekal yang dimiliki oleh manusia tersebut, maka manusia akan jauh berbeda kualitasnya dengan hewan dan makhluk Tuhan yang lainnya.
Namun, ketiga bekal di atas tidak akan berperan dan berfungsi kalau tidak diberdayagunakan oleh manusia itu sendiri. Pemberdayaan ketiga bekal di atas adalah melalui pendidikan. Pendidikanlah yang akan mengantarkan perbedaan kualitas dan derajat seorang individu manusia.[2] Dengan pendidikan seorang manusia bisa meraih kekayaan, kehormatan, ataupun segala hal yang ia inginkan. Namun, ketika seorang manusia tidak berpendidikan dan tidak memberdayakan ketiga bekal yang telah diberikan oleh Allah SWT, maka niscaya kehidupan ia akan seperti binatang bahkan mungkin lebih sesat dari seekor bintang.[3]
Hakikat dari sebuah pendidikan adalah `bagaimana memanusiakan manusia menjadi seorang manusia` sebagaimana yang diungkapkan oleh Immanuel Kant;[4] dengan pendidikan diharapkan seorang manusia mengetahui hakikat dirinya sendiri, orang lain, serta lingkungan dan alam semesta lainnya; dengan pendidikan juga diharapkan manusia mengetahui dan memahami hak dan kewajiban dia hidup, baik sebagai individu manusia, masyarakat, dan hamba Allah SWT.
Namun sayang dewasa ini banyak yang menilai bahwa pendidikan banyak yang gagal membentuk manusia menjadi seorang manusia sejati. Banyak lembaga pendidikan yang gagal melahirkan manusia yang berkualitas, baik kualitas secara akademik ataupun sosil kemasyarakatan dan juga kulitas akhlak kepribadian. Menurut para pengamat pendidikan, kegagalan dari sebuah pendidikan banyak faktor penyebab, salah satunya adalah tidak profesionalime-nya pendidikan. Hal ini menarik untuk dicermati tentang profesinalisme pendidikan itu apa dan bagaimana?
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka penyusun merumuskan pembahasan melalui beberapa pertenyaan, yaitu:
  1. Apa itu profesionalisme?
  2. Apa itu Pendidikan?
  3. Meliputi apa saja profesionalisme pendidikan itu?
  4. Bagaimana profesionalisme pendidikan di MTs. Persisi Tarogong?

1.3 Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun yaitu:
  1. Mengetahui arti dan makna profesionalisme.
  2. Mengetahui arti dan makna pendidikan.
  3. Mengetahui seluk beluk profesinalisme dalam dunia pendidikan.
  4. Mengetahui sejauh mana bentuk profesionalisme pendidikan di MTs.Persis Tarogong.

1.4 SistematikaPembahasan





BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arti Profesionalisme
Kata profesionalisme berasal dari kata profesi, yang memiliki delapan (8) kriteria yang harus dipenuhi, seperti yang diungkapkan oleh Muchtar Luthfi dan dikutip oleh DR. Ahmad Tafsir,[5] yaitu: a) memiliki keahlian; b) ditunaikan secara penuh waktu, dan dipandang itu sebagai kewajiban; c) memiliki teori-teori yang baku secara universal; d) bertujuan untuk masyarakat bukan untuk pribadi; e) dilandasi oleh kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif; f) Memiliki otonomi tersendiri; g) mempunyai kode etik; dan h) memiliki klien atau yang harus dilayani
Selanjutnya Finn, masih dikutip oleh Ahmad Tafsir[6] menyebutkan bahwa sebuah profesi harus memiliki sebuah organisasi keprofesian yang kuat, sehingga bisa saling membantu dan saling menguatkan; selain itu profesi juga harus mempunyai rekanan yang jelas dengan profesi yang lain, karena pada satu waktu satu garapan profesi membutuhkan profesi yang lain.
Suparlan[7] menjelaskan bahwa kata profesionalisme berasal dari kata profesi yang merujuk pada makna suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan pada pekerjaan. Sementara kata profesional menunjuk pada dua hal yaitu orang yang melakukan pekerjaan baik dari segi penampilan atau kinerjanya dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Dari kata profesional kemudian terbentuklah istilah profesionalisme yang memiliki makna menunjuk pada derajat atau tingkat penampilan seseorang sebagai seorang yang profesional dalam melaksanakan profesi yang ditekuninya.

2.2 Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti `memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan`[8] Dimyati, sebagaimana dikutip oleh Dinn Wahyudin[9], memberikan pengertian pendidikan sebagai `proses interaksi yang bertujuan; guru berinteraksi dengan siswa yang bertujuan meningkatkan perkembangan mental sehingga menjadi pribadi yang mandiri dan utuh`.
Syed Muh. Naquid al-Attas memberikan definisi pendidikan sebagai berikut ` Suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses kandungan pendidikan. Dari definisi tersebut ada tiga unsur utama dalam sebuah pendidikan, yaitu : proses, kandungan, dan penerima.
Syaikh M. Jamaludin Mahfudz,[10] mengungkapkan bahwa kata pendidikan lebih luas maknanya dari kata pengajaran. Makna pendidikan mencakup semua kebangkitan dan peningkatan positif yang terjadi berkat kekuatan seseorang; sementara makna pengajaran adalah terbatas hanya pemindahan pengetahuan saja (transfer of knowledge).
Pendidikan dalam Islam secara istilah menurut Zaini, sebagaimana dikutip oleh Hermawan[11] adalah `usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud (tercapai) kehidupan manusia yang makmur dan bahagia`. Sementara menurut Abdurrahman Al-Nahlawi masih dikutip oleh Hermawan[12] menjelaskan bahwa Pendidikan Islam adalah `suatu proses penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk dan taat kepada Islam dan menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Sedangkan menurut Muhammad Quthb, Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan menyeluruh terhadap wujud manusia, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupannya secara fisik maupun mental dalam melaksanakan kegiatannya di bumi ini.
Athiyah al-Abrasy menyebutkan bahwa yang disebut dengan Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia mencintai tanah air, sigap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola fikirnya teratur dengan rapi, halus perasaannya, profesional dalam bekerja, dan manis tutur sapanya. Sedangkan Ahmad D. Marimba menegaskan bahwa yang disebut dengan ilmu pendidikan adalah `bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Ahmad Tafsir mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Pendidikan Islam yaitu `bimbingan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam; atau dengan kata lain Pendidikan Islam adalah bimbingan seseorang terhadap orang lain agar ia menjadi seorang muslim yang maksimal.
Syed Muh. Naquid al-Attas memberikan definisi pendidikan Islam sebagai berikut `pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Sehingga pendidikan ini hanya diperuntukkan untuk manusia.
Disebabkan karena pendidikan itu hanya untuk manusia, maka Syed Muh. Naquid al-Attas lebih memilih menggunakan kata ta`dib untuk kalimat Pendidikan Islam; karena kata at-Tarbiyah lebih luas lagi cakupannya, bisa digunakan juga untuk pendidikan selain kepada manusia, binatang umpanya.

2.3 Pandangan Islam terhadap Profesionalisme dan Cara Menerapkannya di Lembaga Pendidikan Islam
Islam sangat menjunjung sekali aspek keadilan dalam setiap bidang kegiatan. Makna adil dalam pandangan syari`at Islam adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ketika seseorang menyalahi ataupun tidak menempatkan sesuatu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, maka ia telah berbuat ketidakadilan atau disebut dengan dhalim.
Berkaitan dengan pendidikan pun Islam mensyari`atkan untuk menempatkan orang (pendidik) sesuai dengan keahliaannya; karena dalam syari`at Islam ketika suatu urusan diberikan bukan kepada ahlinya maka tunggulah kehancuran;[13] artinya ketika sebuah pendidikan diberikan kepada mereka yang bukan ahlinya atau tidak profesional, maka tunggulah kehancuran baik dilihat dari hasil pendidikan ataupun dari nilai pendidikan itu sendiri.
Dalam dunia pendidikan, sikap profesionalisme ini setidak-tidaknya harus dimiliki oleh empat (4) komponen pendidikan, yaitu:
a.       Ketua yayasan (khusus bagi swasta)
Sebuah yayasan biasanya tidak hanya berkutat dalam satu bidang, tapi minimal dua atau lebih bidang usaha yang digarap. Maka disinilah ketua yayasan dituntut keprofesionalannya dalam memajukan lembaga pendidikan yang dibawahinya. Dalam hal ini ketua yayasan diposisikan sebagai pengambil kebijakan dalam pengembangan semua bidang usaha yang dikembangkannya bukan hanya lembaga pendidikan. Maka untuk mengembangkan lembaga pendidikan tersebut, maka ketua yayasan wajib mengangkat beberapa orang yang profesional dalam bidang garapannya masing-masing.
b.      Kepala sekolah
Kepala sekolah adalah tombak utama maju mundurnya pendidikan di sebuah lembaga pendidikan; maka disinilah kepala sekolah dituntuk mempunyai keprofesionalan dalam kerjanya; bagaimana ia meningkatkan kinerja tenaga pendidik, menempatkan para pembantunya sesuai dengan profesionalismenya, dan bagaimana ia mempunyai visi misi untuk berkembangnya pendidikan di lembaga tersebut.
c.       Pendidik
Salah satu faktor utama keberhasilan suatu pendidikan adalah tenaga pendidiknya. Awal mula untuk menentukan apakah seorang pendidik itu profesional atau tidak adalah ketika penerimaan tenaga pendidik. Terkadang banyak lembaga pendidikan yang menerima tenaga pendidik itu secara sembarang, baik karena ikatan darah, pertemanan ataupun karena dia seorang alumni lembaga tersebut, sehingga terkadang penerimaan tenaga pendidik ini tanpa melihat latar belakang pendidikan ataupun keahliannya, sehingga pada akhirnya hal ini yang merugikan lembaga pendidikan itu sendiri; karena kualitas pendiidk yang tidak profesinal maka banyak melahirkan para siswa yang tidak memenuhi ekspetas lembaga pendidikan itu sendiri.
d.      Tenaga tata usaha
Keprofesionalan tenaga tata usaha adalah salah satu unsur pendukung kelancaran berlangsungnya sebuah pendidikan. Bukan jumlah orang pegawai tata usaha, namun kualitas dan kinerja mereka dalam melayani proses pendidikan yang menentukan profesionalnya tenaga tata usaha.[14]

2.4 Sekilas MTs.Persis Tarogong
Madrasah Tsanawiyyah Persis Tarogong Garut adalah lembaga pendidikan Islam yang berdiri sejak tahun 1980 di bawah pembinaan sebuah organisasi kemasyarakatan yaitu Persatuan Islam (Persis). MTs. Persis Tarogong terletak di jalan terusan Pembangunan no. 1 Tarogong Kidul Garut.
MTs. Persis Tarogong adalah cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Persis Tarogong Garut yang beralamat persis sama dengan MTs. Persis Tarogong. Ketika awal berdirinya MTs. Persis Tarogong hanya mengandalkan penerimaan siswanya atau santrinya dari masyarakat sekitar dan beberapa anggota ormas Persis yang ada di luar kab. Garut.
Namun dengan perjuangan dan semangat yang tidak kenal lelah, maka MTs. Persis bisa berkembang dengan cukup pesat dan bisa diterima di masyarakat. Kalau pada awal berdirinya, santri yang belajar di MTs. Persis Tarogong adalah anak-anak dari anggota dan simpatisan ormas Persis, namun akhir-akhir ini banyak masyarakat yang notabene bukan anggota ormas Persis yang mempercayakan anaknya untuk belajar di MTs. Persis Tarogong.
Ketika tahun-tahun awal jumlah kelas atau rombongan belajar di MTs. Persis Tarogong itu baru tiga kelas atau paling banyak lima kelas, namun memasuki tahun 90-an jumlah rombongan belajar sudah mencapai 10 kelas, dan mulai dari tahun 2000 an bertambah menjadi 20 kelas dengan rata-rata santri perkelas adalah 35 orang. Tahun pembelajaran 2010/2011 jumlah santri yang belajar di MTs. Persis Tarogong sekitar 700 orang santri.
Penambahan jumlah kelas dan santri adalah bukti konkrit kemajuan yang dialami oleh MTs. Persis Tarogong dari segi kwantitas. Sementara dari segi prestasi akademis pun, MTs. Persis Tarogong mendapat pengakuan yang cukup positif khususnya di kab. Garut, baik dari prestasi akademis ataupun prestasi non akademis.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh MTs. Persis Tarogong tentu saja tidak terlepas dari peranan seluruh Stake Holder pendidikan yang ada di lembaga tersebut, mulai dari kepala sekolah, tenaga pengajar, maupun tenaga tata usaha. Namun, tentu saja dibalik kemajuan yang telah dicapai oleh MTs. Persis Tarogong masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki, salah satunya adalah berkaitan dengan Profesionalisme Pendidikan yang akan di urai di bab III dan bab IV.











BAB. III
PROFESIONALISME PENDIDIKAN
DI MTs. PERSIS TAROGONG

Sebagaimana telah disinggung pada bab.II bahwa profesionalisme pendidikan di sebuah lembaga pendidikan sekurang-kurangnya meliputi empat komponen pokok, yaitu : kepala yayasan, kepala sekolah, tenaga pendidik (guru) dan tenaga tata usaha. Dalam makalah ini pun penyusun akan menyoroti permasalahan profesionalisme pendidikan di MTs. Persis Tarogong dari keempat hal di atas.
3.1 Kepala Yayasan
Dalam struktur pimpinan di MTs. Persis Tarogong (khususnya) dan di pondok-pondok Pesantren Persis (umumnya) tidak mengenal istilah kepala yayasan, karena pondok pesantren ini bukan berdiri di bawah naungan sebuah yayasan, tapi berdiri di bawah organisasi kemasyarakatan yaitu Persatuan Islam (Persis). Secara umum pesantren-pesantren Persis berdiri atas prakarsa pribadi ataupun masyarakat kemudian berafiliasi dengan jama`ah yaitu Persatuan Islam.
Ketika pesantren tersebut berdiri, maka biasanya pemrakarsa tersebut yang kemudian menjadi pimpinan pesantren. Dengan seiring perkembangan pesantren, maka struktur kepemimpinan itu dipecah sesuai dengan kebutuhan. Pondok Pesantren Persis Tarogong berkembang pesat menjadi lima bagian otonom, yaitu: tingkat diniyyah, RA, SDIT, MTs, dan Aliyah (mu`allimin). Berdasarkan perkembangan ini, maka pimpinan pesantren mengangkat seorang pendidik untuk menjadi kepala di masing-masing tingkatan; kepala yang membawahi tiap tingkatan disebut dengan istilah mudir. Selanjutnya pimpinan pesantren berubah nama menjadi al-mudirul `am.
Dari perkembangan inilah dimulai kerancuan dalam kewenangan dan tugas masing-masing mudir. Yang paling membingungkan adalah posisi pimpinan pesantren atau al-mudirul `am, apakah dia sebagai setara kepala yayasan yang tugas utamanya adalah mengembangkan eksistensi lembaga pendidikan atau sebagai pengambil keputusan dalam setiap tingkatan. Realita yang terjadi, seringkali al-mudiru `am melakukan overlaping terhadap kinarja yang harusnya dilakukan oleh mudir-mudir tiap tingkatan; sehingga terkadang hal ini menjadi sebuah kebingungan bagi mudir-mudir di setiap tingkatan.
Di samping itu, al-mudir `am di setiap pesantren Persis juga merangkap sebagai tenaga pengajar, sehingga hal inipun kadangkala menjadi sebuah dilematis bagi seorang mudir tingkatan yang kebetulan al-mudirul `am mengajar pada tingkatan tersebut. Dengan terjun secara langsung di lapangan, terkadang al-mudirul `am terjun secara langsung dalam pengambil keputusan secara operasional, yang secara ideak adalah hak dari mudir tingkatan.
Contoh riil yang terjadi di lapangan salah satunya adalah berkaitan dengan kelulusan siswa; terkadang ketika hasil di rapat mudir tingkatan bersama staff dan guru-guru di tingkat tersebut memutuskan untuk tidak meluluskan seorang siswa, namun ketika sampai ke al-mudirul `am terkadang keputusan tersebut bisa dibatalkan.
Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan pola kepemimpinan di pesantren yang dahulu masih terbawa. Padahal mekanisme dan struktuk kerja yang ada pada saat ini jauh berbeda dengan pesantren dahulu yang hanya terpusat pada satu jenjang pendidikan. Pada intinya, untuk tataran pimpinan setaraf kepala yayasan di MTs. Persis Tarogong bisa dikatakan belum profesional.

3.2 Kepala Sekolah
Kepala Sekolah di MTs. Persis Tarogong dikenal dengan istilah mudir. Secara akademik lulusan, mudir MTs. Persis Tarogong telah menyelesaikan jenjang S2 dan dari segi pengalaman belajar beliau adalah orang yang paling awal dan ikut memperjuangkan perkembangan MTs. Persis Tarogong. Dalam realita yang terjadi beliau mempunyai jiwa dan semangat untuk terus mengembangkan MTs. Persis Tarogong (khususnya) dan Pondok Pesantren Persis Tarogong (umumnya).
Bukti dari sikap tersebut adalah, bagaimana beliau selalu mendorong tenaga pendidiknya untuk terus berkarya dan menambah wawasan. Hal ini beliau lakukan dengan menempuh pengadaan diklat-diklat bagi para guru. Selanjutnya beliau mendorong khususnya kepada para pendidik bidang keagamaan untuk membuat buku khas kepesantrenan, dan ini bisa terwujud.
Sikap lain dari bentuk keprofesionalan mudir MTs. Persis Tarogong adalah beliau selalu menjadi pioner dalam segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang akan mendukung majunya MTs. Persis Tarogong Garut. dapat dikatakan bahwa untuk tingkat kepala sekolah MTs. Persis Tarogong telah profesionalisme.

3.3 Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik di MTs. Persis Tarogong terbagi menjadi tiga kategori, yaitu : Guru Tetap Yayasan (GTY), Guru Tidak Tetap (GTT) dan guru yang diperbantukan pemerintah (DPK); dari ketiga kategori tersebut tentu saja memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Tenaga pendidik yang ada di MTs. Persis Tarogong berjumlah 46 orang, mulai dari tenaga pendidik dan tenaga tata usaha.
Secara akademik, tenaga pendidik di MTs. Persis Tarogong hampir 100% telah menyelesaikan pendidikannya di jenjang S1 dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan luar negri dengan berbagai keahlian yang berbeda. Namun tidak semua guru di MTs. Persis Tarogong adalah lulusan perguruan tinggi yang berkualifikasi guru, sehingga walaupun semua sudah menyelesaikan pendidikannya di S1 belum menjamin untuk mempunyai sikap seperti mereka yang lulusan perguruan tinggi yang berkualifikasi guru.
Bukti yang nyata dari hal tersebut adalah bahwa masih ada di antara para guru yang mengajar tanpa melengkapi administrasi mengajar; jarang diantara mereka yang mengajar dengan membawa RPP ke kelas, ataupun tidak jarang mereka yang mengajar tidak tahu silabus pengajaran.
Namun, dengan seringnya ada diklat-diklat pendidikan yang diadakan oleh lembaga, maka mereka mulai memahami tentang pentingnya administrasi pendidikan sebagai bahan rujukan dan kelengkapan ketika mengajar. Mereka mulai membuat silabus, RPP, kisi-kisi soal dan administrasi yang lainnya.
Namun, sangat disayangkan bahwa hal tersebut dilaksanakan secara temporer saja, yaitu ketika akhir tahun atau mendekati adanya pengakreditasian; sementara administrasi yang bersifat kontinyu baru sampai pada tahap absensi santri, sementara berkaitan dengan pembuatan RPP masih berat untuk dilaksanakan.

3.4 Tenaga Tata Usaha
Pada awal berdiri Pesantren Persis Tarogong berusaha merangkul para alumni untuk mengabdikan dirinya dalam mengembangkan almamaternya. Hal inipun dijadikan acuan tidak tertulis oleh pimpinan pesantren untuk mengangkat baik tenaga pendidik, karyawan atau tenaga tata usaha itu adalah para alumni.
Di MTs. Persis Tarogong pun mempekerjakan tenaga tata usaha adalah mereka yang pernah belajar di pesantren. Walaupun bisa dikatakan pada awal tenaga tata usaha ini tidak profesional, tapi MTs. Persis Tarogong berusaha untuk menjadikan mereka menjadi profesional dengan pengadaan pelatihan-pelatihan; juga mereka didorong untuk menyelesaikan pendidikannya sampai S1.
Namun, untuk dikatakan profesional masih jauh, karena untuk bendahara tingkatan pun masih memberdayakan guru yang mengajar. Sehingga terkadang mereka tidak fokus untuk mengelola keuangan tersebut. Hal ini dapat difahami, karena keberadaan bendahara di tingkat MTs itu hanya sementara, yaitu mereka mengelola dana bantuan dari pemerintah, baik itu BOS, BSM dan yang lainnya; sementara untuk pengelolaan uang secara keseluruhan ada di tingkat pusat.




















BAB. IV
PEMBAHASAN

Setelah permasalahan profesionalisme di MTs. Persis Tarogong diurai pada bab sebelumnya, maka ada beberapa hal yang perlu dibenahi oleh stake holder di MTs. Persis Tarogong (khususnya) dan di Pondok Pesantren Persis Tarogong (umumnya), yaitu :
1.   Ketua Yayasan (al-Mudirul `Am)
Harus ada kejelasan fungsi, tugas, wewenang dan kewajiban dari diri seorang al-Mudirul `Am. Kalau dia berfungsi sebagai ketua yayasan, maka dia hanya berhak dan berkewajiban untuk mengembangkan lembaga pesantren secara keseluruhan; dan tidak berhak untuk secara langsung mengambil keputusan yang sifatnya  operasional dan lebih pas yang memutuskan adalah bagian otonom dari pesantren; dan mungkin ini sulit untuk direalisasikan kalau al-Mudirul `Am masih menggunakan pola kepemimpinan pesantren yang dahulu, yaitu sentralisasi kepemimpinan dengan tolak ukur kekharismatikan pimpinan pesantren.
2.   Kepala Sekolah
secara sepintas mudir (kepala sekolah) MTs. Persis Tarogong sudah melakukan hal-hal yang mendekati tingkat profesionalisme jabatan, walaupun mungkin belum mendekati kesempurnaan; terutama hal ini berkaitan dengan ketidakberdayaan beliau sebagai bawahan setingkat al-Mudirul `Am. Namun, untuk tingkatan sekolah swasta dan berlabel pesantren beliau sudah dikategorikan profesional.
3.   Tenaga Pendidik
Dalam setiap kegiatan reward (pnghargaan) dan Funishment (hukuman) adalah suatu hal yang lumrah dalam rangka evaluasi kegiatan dan lebih jauhnya untuk peningkatan hasil usaha. Berkaitan dengan tenaga pendidik di MTs. Persis Tarogong kaitannya dengan aturan pendidikan yaitu tentang kelengkapan administrasi pendidikan, perlu kiranya kepala sekolah untuk memberikan reward dan funishment bagi mereka. Satu hal yang menjadi kendala tidak berjalannya kelengkapan administrasi pembelajaran bukan ketidaktahuan para guru, tapi terletak pada kemauan dan ketaatan mereka terhadap pimpinan. Dengan adanya reward bagi mereka yang melengkapi administrasi kegiatan dan memberikan funishmen bagi mereka yang tidak melaksanakan, diharapkan hal ini bisa memperbaiki kinerja mereka.
4.   Tenaga Tata Usaha
Rekrutmen tenaga pendidik, tata usaha, ataupun karyawan harus segera diubah oleh fihak lembaga, karena hal ini berkaitan dengan kinerja mereka. Pesantren dari dahulu memang sudah terkenal lemah dari segi pengadministrasian, baik itu pengadministrasian berkaitan dengan siswa, surat-menyurat, keuangan ataupun hal yang lainnya. Sekali lagi hal ini diakibatkan adanya stigma pemanfaatan alumni pesantren. Tapi alangkah baiknya bila mengangkat karyawan sesuai dengan kualifikasi keahlian. Berkaitan dengan tenaga tata usaha yang berkutat seputar administrasi pesantren, maka harus ada terobosan baru untuk mengangkat mereka yang mempunyai keahlian di bidangnya.




















BAB. V
KESIMPULAN

Dari rumusan masalah pada bab. I maka ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, yaitu :
1)         profesionalisme berasal dari kata profesi yang merujuk pada makna suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan pada pekerjaan. Sementara kata profesional menunjuk pada dua hal yaitu orang yang melakukan pekerjaan baik dari segi penampilan atau kinerjanya dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Dari kata profesional kemudian terbentuklah istilah profesionalisme yang memiliki makna menunjuk pada derajat atau tingkat penampilan seseorang sebagai seorang yang profesional dalam melaksanakan profesi yang ditekuninya.
2)         Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti `memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan. pendidikan sebagai `proses interaksi yang bertujuan; guru berinteraksi dengan siswa yang bertujuan meningkatkan perkembangan mental sehingga menjadi pribadi yang mandiri dan utuh`.
3)         Dalam dunia pendidikan, sikap profesionalisme ini setidak-tidaknya harus dimiliki oleh empat (4) komponen pendidikan, yaitu: Ketua Yayasan, Kepala Sekolah, Tenaga Pendidik (guru), dan Tenaga Tata Usaha.
4)         Sikap profesionalisme di lembaga pendidikan MTs. Persis Tarogong belum terwujud secara utuh. Masih banyak stake holder yang perlu memperbaiki sikap dan tindakan yang mengarah terhadap sikap profesionalisme jabatan yaitu sebagai tenaga pendidik.
















 


DAFTAR PUSTAKA

a.      Iskandar MS, Prof. DR. H. Jusman. Teori Sosial. Pupaga Bandung, 2009
b.      Tafsir, DR. Ahmad. Ilmu Pedidikan Dalam Perspektif Islam. PT. Remaja Rosda Karya Bandung, 2004
c.       Hermawan, M.Ag. Ilmu Pendidikan Islam. Staida Press Garut, 2005
d.      Wahyudin, Dinn. Pengantar Pendidikan. PT. Universitas Terbuka Jakarta, 2007
e.       Shidiq, Abdul Rosyad. Psikologi Anak dan Remaja (terj). Pustaka Kautsar Jakarta, 2003
f.       Ihsan Zubaidi, Lc Bahrun Abu Bakar. Tahapan Mendidik Anak, Teladan Rasulullah SAW (terj). Irsyad Baitus Salam Bandung, 2005.






[1].
[2]. Lihat Q.S al-Hujurât
[3]. Lihat Q.S
[4]. Wahyudin, Dinn. Pengantar Pendidikan, hal. 1.15. Universitas Terbuka, Jakarta. 2007
[5]. DR. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hal. 107. Rosda Jakarta. 2004.
[6]. DR. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hal. 108. Rosda Jakarta. 2004.
[7]. DR. Suparlan. Guru sebagai profesi, hal.71. Hikayat Publishing, Yogyakarta. 2006.
[8]. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 263. Balai Pustaka, Jakarta. 2007.
[9]. Wahyudin, Dinn. Pengantar Pendidikan. Hal. 2.16. Universitas Terbuka, Jakarta. 2007
[10] . Majfudz, M. Jamaludin. Terjemahan Psikologi Anak dan Remaja Muslim, hal.154. Pustaka Kautsar, Jakarta. 2001.
[11]. Hermawan, M.Ag. Drs. Ilmu Pendidikan Islam, hal. 1. Staida Press, Garut. 1996
[12]. Hermawan, M.Ag. Drs. Ilmu Pendidikan Islam, hal. 1. Staida Press, Garut. 1996
[13]. Bersabda Rasulullah SAW: `Apabila suatu urusan diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran` (H.R Bukhori).
[14]. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hal. 116-118. Rosda, Bandung. 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar