BAB.
I
PENDAHULUAN
Manusia terlahir ke dunia jauh
berbeda dengan kondisi hewan yang dilahirkan oleh induknya. Ketika seorang
manusia lahir, hanya menangis yang bisa ia lakukan; namun seekor ular ketika ia
keluar dari cangkang telurnya, maka ia sudah langsung bisa merayap dan mencari
makan sendiri; begitu juga seekor domba umpamanya, ketika ia dilahirkan oleh
induknya maka ia membutuhkan hanya beberapa menit untuk mampu berdiri dan
menyusu ke induknya secara mandiri.
Apa yang dilakukan oleh ular
ataupun domba seperti yang digambarkan di atas adalah berdasarkan gharizah atau
naluri yang mereka miliki dan dibekali oleh Allah SWT; karena binatang dapat
tumbuh hidup dan berkembang berdasarkan naluri atau instingtif yang mereka
miliki.[1]Sementara
manusia tidak bisa melakukan hal tersebut karena manusia tidak dibekali hal
yang seperti itu. Namun Allah SWT justru membekali manusia dengan alat yang
lebih sempurna yaitu akal fikiran, melalui pemberian pendengaran (telinga),
penglihatan (mata), dan rasa (hati). Dengan ketiga bekal yang dimiliki oleh
manusia tersebut, maka manusia akan jauh berbeda kualitasnya dengan hewan dan
makhluk Tuhan yang lainnya.
Namun, ketiga bekal di atas
tidak akan berperan dan berfungsi kalau tidak diberdayagunakan oleh manusia itu
sendiri. Pemberdayaan ketiga bekal di atas adalah melalui pendidikan.
Pendidikanlah yang akan mengantarkan perbedaan kualitas dan derajat seorang
individu manusia.[2]
Dengan pendidikan seorang manusia bisa meraih kekayaan, kehormatan, ataupun
segala hal yang ia inginkan. Namun, ketika seorang manusia tidak berpendidikan
dan tidak memberdayakan ketiga bekal yang telah diberikan oleh Allah SWT, maka
niscaya kehidupan ia akan seperti binatang bahkan mungkin lebih sesat dari
seekor bintang.[3]
Hakikat dari sebuah pendidikan
adalah `bagaimana memanusiakan manusia menjadi seorang manusia` sebagaimana
yang diungkapkan oleh Immanuel Kant;[4]
dengan pendidikan diharapkan seorang manusia mengetahui hakikat dirinya
sendiri, orang lain, serta lingkungan dan alam semesta lainnya; dengan pendidikan
juga diharapkan manusia mengetahui dan memahami hak dan kewajiban dia hidup,
baik sebagai individu manusia, masyarakat, dan hamba Allah SWT.
Namun sayang dewasa ini banyak
yang menilai bahwa pendidikan banyak yang gagal membentuk manusia menjadi
seorang manusia sejati. Banyak lembaga pendidikan yang gagal melahirkan manusia
yang berkualitas, baik kualitas secara akademik ataupun sosil kemasyarakatan
dan juga kulitas akhlak kepribadian. Menurut para pengamat pendidikan,
kegagalan dari sebuah pendidikan banyak faktor penyebab, salah satunya adalah
tidak profesionalime-nya pendidikan. Hal ini menarik untuk dicermati
tentang profesinalisme pendidikan itu apa dan bagaimana?
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di
atas, maka penyusun merumuskan pembahasan melalui beberapa pertenyaan, yaitu:
- Apa itu profesionalisme?
- Apa itu Pendidikan?
- Meliputi apa saja profesionalisme pendidikan itu?
- Bagaimana profesionalisme pendidikan di MTs. Persisi Tarogong?
1.3 Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas,
ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun yaitu:
- Mengetahui arti dan makna profesionalisme.
- Mengetahui arti dan makna pendidikan.
- Mengetahui seluk beluk profesinalisme dalam dunia pendidikan.
- Mengetahui sejauh mana bentuk profesionalisme pendidikan di MTs.Persis Tarogong.
1.4 SistematikaPembahasan
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Arti Profesionalisme
Kata profesionalisme berasal
dari kata profesi, yang memiliki delapan (8) kriteria yang harus dipenuhi,
seperti yang diungkapkan oleh Muchtar Luthfi dan dikutip oleh DR. Ahmad Tafsir,[5]
yaitu: a) memiliki keahlian; b) ditunaikan secara penuh waktu, dan dipandang
itu sebagai kewajiban; c) memiliki teori-teori yang baku secara universal; d)
bertujuan untuk masyarakat bukan untuk pribadi; e) dilandasi oleh kecakapan
diagnostik dan kompetensi aplikatif; f) Memiliki otonomi tersendiri; g)
mempunyai kode etik; dan h) memiliki klien atau yang harus dilayani
Selanjutnya Finn, masih
dikutip oleh Ahmad Tafsir[6]
menyebutkan bahwa sebuah profesi harus memiliki sebuah organisasi keprofesian
yang kuat, sehingga bisa saling membantu dan saling menguatkan; selain itu
profesi juga harus mempunyai rekanan yang jelas dengan profesi yang lain,
karena pada satu waktu satu garapan profesi membutuhkan profesi yang lain.
Suparlan[7]
menjelaskan bahwa kata profesionalisme berasal dari kata profesi yang merujuk
pada makna suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab,
dan kesetiaan pada pekerjaan. Sementara kata profesional menunjuk pada dua hal
yaitu orang yang melakukan pekerjaan baik dari segi penampilan atau kinerjanya
dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Dari kata profesional kemudian
terbentuklah istilah profesionalisme yang memiliki makna menunjuk pada derajat
atau tingkat penampilan seseorang sebagai seorang yang profesional dalam
melaksanakan profesi yang ditekuninya.
2.2 Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata
didik yang berarti `memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan`[8]
Dimyati, sebagaimana dikutip oleh Dinn Wahyudin[9],
memberikan pengertian pendidikan sebagai `proses interaksi yang bertujuan; guru
berinteraksi dengan siswa yang bertujuan meningkatkan perkembangan mental
sehingga menjadi pribadi yang mandiri dan utuh`.
Syed Muh. Naquid al-Attas
memberikan definisi pendidikan sebagai berikut ` Suatu proses penamaan sesuatu
ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara
bertahap, dan kepada manusia penerima proses kandungan pendidikan. Dari
definisi tersebut ada tiga unsur utama dalam sebuah pendidikan, yaitu : proses,
kandungan, dan penerima.
Syaikh M. Jamaludin Mahfudz,[10]
mengungkapkan bahwa kata pendidikan lebih luas maknanya dari kata pengajaran.
Makna pendidikan mencakup semua kebangkitan dan peningkatan positif yang
terjadi berkat kekuatan seseorang; sementara makna pengajaran adalah terbatas
hanya pemindahan pengetahuan saja (transfer of knowledge).
Pendidikan dalam Islam secara
istilah menurut Zaini, sebagaimana dikutip oleh Hermawan[11]
adalah `usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar
terwujud (tercapai) kehidupan manusia yang makmur dan bahagia`. Sementara
menurut Abdurrahman Al-Nahlawi masih dikutip oleh Hermawan[12]
menjelaskan bahwa Pendidikan Islam adalah `suatu proses penataan individual dan
sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk dan taat kepada Islam dan
menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Sedangkan menurut Muhammad Quthb, Pendidikan Islam adalah usaha melakukan
pendekatan menyeluruh terhadap wujud manusia, baik segi jasmani maupun rohani,
baik kehidupannya secara fisik maupun mental dalam melaksanakan kegiatannya di
bumi ini.
Athiyah al-Abrasy menyebutkan
bahwa yang disebut dengan Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya
hidup dengan sempurna dan bahagia mencintai tanah air, sigap jasmaninya,
sempurna budi pekertinya, pola fikirnya teratur dengan rapi, halus perasaannya,
profesional dalam bekerja, dan manis tutur sapanya. Sedangkan Ahmad D. Marimba
menegaskan bahwa yang disebut dengan ilmu pendidikan adalah `bimbingan jasmani
dan rohani berdasarkan ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.
Ahmad Tafsir mengemukakan
pendapatnya tentang pengertian Pendidikan Islam yaitu `bimbingan seseorang kepada
seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam; atau
dengan kata lain Pendidikan Islam adalah bimbingan seseorang terhadap orang
lain agar ia menjadi seorang muslim yang maksimal.
Syed Muh. Naquid al-Attas
memberikan definisi pendidikan Islam sebagai berikut `pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan,
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di
dalam tatanan wujud dan kepribadian. Sehingga pendidikan ini hanya
diperuntukkan untuk manusia.
Disebabkan karena pendidikan
itu hanya untuk manusia, maka Syed Muh. Naquid al-Attas lebih memilih
menggunakan kata ta`dib untuk kalimat Pendidikan Islam; karena kata at-Tarbiyah
lebih luas lagi cakupannya, bisa digunakan juga untuk pendidikan selain kepada
manusia, binatang umpanya.
2.3
Pandangan Islam terhadap Profesionalisme dan Cara Menerapkannya di Lembaga
Pendidikan Islam
Islam sangat menjunjung sekali
aspek keadilan dalam setiap bidang kegiatan. Makna adil dalam pandangan
syari`at Islam adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ketika seseorang
menyalahi ataupun tidak menempatkan sesuatu sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan, maka ia telah berbuat ketidakadilan atau disebut dengan dhalim.
Berkaitan dengan pendidikan
pun Islam mensyari`atkan untuk menempatkan orang (pendidik) sesuai dengan
keahliaannya; karena dalam syari`at Islam ketika suatu urusan diberikan bukan
kepada ahlinya maka tunggulah kehancuran;[13]
artinya ketika sebuah pendidikan diberikan kepada mereka yang bukan ahlinya
atau tidak profesional, maka tunggulah kehancuran baik dilihat dari hasil
pendidikan ataupun dari nilai pendidikan itu sendiri.
Dalam dunia pendidikan, sikap
profesionalisme ini setidak-tidaknya harus dimiliki oleh empat (4) komponen
pendidikan, yaitu:
a. Ketua yayasan (khusus
bagi swasta)
Sebuah yayasan biasanya tidak
hanya berkutat dalam satu bidang, tapi minimal dua atau lebih bidang usaha yang
digarap. Maka disinilah ketua yayasan dituntut keprofesionalannya dalam
memajukan lembaga pendidikan yang dibawahinya. Dalam hal ini ketua yayasan
diposisikan sebagai pengambil kebijakan dalam pengembangan semua bidang usaha
yang dikembangkannya bukan hanya lembaga pendidikan. Maka untuk mengembangkan
lembaga pendidikan tersebut, maka ketua yayasan wajib mengangkat beberapa orang
yang profesional dalam bidang garapannya masing-masing.
b. Kepala sekolah
Kepala sekolah adalah tombak
utama maju mundurnya pendidikan di sebuah lembaga pendidikan; maka disinilah
kepala sekolah dituntuk mempunyai keprofesionalan dalam kerjanya; bagaimana ia
meningkatkan kinerja tenaga pendidik, menempatkan para pembantunya sesuai
dengan profesionalismenya, dan bagaimana ia mempunyai visi misi untuk
berkembangnya pendidikan di lembaga tersebut.
c. Pendidik
Salah satu faktor utama
keberhasilan suatu pendidikan adalah tenaga pendidiknya. Awal mula untuk
menentukan apakah seorang pendidik itu profesional atau tidak adalah ketika
penerimaan tenaga pendidik. Terkadang banyak lembaga pendidikan yang menerima
tenaga pendidik itu secara sembarang, baik karena ikatan darah, pertemanan
ataupun karena dia seorang alumni lembaga tersebut, sehingga terkadang
penerimaan tenaga pendidik ini tanpa melihat latar belakang pendidikan ataupun
keahliannya, sehingga pada akhirnya hal ini yang merugikan lembaga pendidikan
itu sendiri; karena kualitas pendiidk yang tidak profesinal maka banyak
melahirkan para siswa yang tidak memenuhi ekspetas lembaga pendidikan itu
sendiri.
d. Tenaga tata usaha
Keprofesionalan tenaga tata
usaha adalah salah satu unsur pendukung kelancaran berlangsungnya sebuah
pendidikan. Bukan jumlah orang pegawai tata usaha, namun kualitas dan kinerja
mereka dalam melayani proses pendidikan yang menentukan profesionalnya tenaga
tata usaha.[14]
2.4 Sekilas MTs.Persis Tarogong
Madrasah Tsanawiyyah Persis
Tarogong Garut adalah lembaga pendidikan Islam yang berdiri sejak tahun 1980 di
bawah pembinaan sebuah organisasi kemasyarakatan yaitu Persatuan Islam (Persis).
MTs. Persis Tarogong terletak di jalan terusan Pembangunan no. 1 Tarogong Kidul
Garut.
MTs. Persis Tarogong adalah
cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Persis Tarogong Garut yang beralamat
persis sama dengan MTs. Persis Tarogong. Ketika awal berdirinya MTs. Persis
Tarogong hanya mengandalkan penerimaan siswanya atau santrinya dari masyarakat
sekitar dan beberapa anggota ormas Persis yang ada di luar kab. Garut.
Namun dengan perjuangan dan
semangat yang tidak kenal lelah, maka MTs. Persis bisa berkembang dengan cukup
pesat dan bisa diterima di masyarakat. Kalau pada awal berdirinya, santri yang
belajar di MTs. Persis Tarogong adalah anak-anak dari anggota dan simpatisan
ormas Persis, namun akhir-akhir ini banyak masyarakat yang notabene bukan anggota
ormas Persis yang mempercayakan anaknya untuk belajar di MTs. Persis Tarogong.
Ketika tahun-tahun awal jumlah
kelas atau rombongan belajar di MTs. Persis Tarogong itu baru tiga kelas atau
paling banyak lima kelas, namun memasuki tahun 90-an jumlah rombongan belajar
sudah mencapai 10 kelas, dan mulai dari tahun 2000 an bertambah menjadi 20
kelas dengan rata-rata santri perkelas adalah 35 orang. Tahun pembelajaran
2010/2011 jumlah santri yang belajar di MTs. Persis Tarogong sekitar 700 orang
santri.
Penambahan jumlah kelas dan
santri adalah bukti konkrit kemajuan yang dialami oleh MTs. Persis Tarogong
dari segi kwantitas. Sementara dari segi prestasi akademis pun, MTs. Persis
Tarogong mendapat pengakuan yang cukup positif khususnya di kab. Garut, baik
dari prestasi akademis ataupun prestasi non akademis.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai
oleh MTs. Persis Tarogong tentu saja tidak terlepas dari peranan seluruh Stake
Holder pendidikan yang ada di lembaga tersebut, mulai dari kepala sekolah,
tenaga pengajar, maupun tenaga tata usaha. Namun, tentu saja dibalik kemajuan
yang telah dicapai oleh MTs. Persis Tarogong masih banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki, salah satunya adalah berkaitan dengan Profesionalisme Pendidikan
yang akan di urai di bab III dan bab IV.
BAB. III
PROFESIONALISME PENDIDIKAN
DI MTs. PERSIS TAROGONG
Sebagaimana telah disinggung
pada bab.II bahwa profesionalisme pendidikan di sebuah lembaga pendidikan
sekurang-kurangnya meliputi empat komponen pokok, yaitu : kepala yayasan,
kepala sekolah, tenaga pendidik (guru) dan tenaga tata usaha. Dalam makalah ini
pun penyusun akan menyoroti permasalahan profesionalisme pendidikan di MTs.
Persis Tarogong dari keempat hal di atas.
3.1 Kepala Yayasan
Dalam struktur pimpinan di
MTs. Persis Tarogong (khususnya) dan di pondok-pondok Pesantren Persis
(umumnya) tidak mengenal istilah kepala yayasan, karena pondok pesantren ini
bukan berdiri di bawah naungan sebuah yayasan, tapi berdiri di bawah organisasi
kemasyarakatan yaitu Persatuan Islam (Persis). Secara umum pesantren-pesantren
Persis berdiri atas prakarsa pribadi ataupun masyarakat kemudian berafiliasi
dengan jama`ah yaitu Persatuan Islam.
Ketika pesantren tersebut
berdiri, maka biasanya pemrakarsa tersebut yang kemudian menjadi pimpinan
pesantren. Dengan seiring perkembangan pesantren, maka struktur kepemimpinan
itu dipecah sesuai dengan kebutuhan. Pondok Pesantren Persis Tarogong
berkembang pesat menjadi lima bagian otonom, yaitu: tingkat diniyyah, RA, SDIT,
MTs, dan Aliyah (mu`allimin). Berdasarkan perkembangan ini, maka pimpinan
pesantren mengangkat seorang pendidik untuk menjadi kepala di masing-masing
tingkatan; kepala yang membawahi tiap tingkatan disebut dengan istilah mudir.
Selanjutnya pimpinan pesantren berubah nama menjadi al-mudirul `am.
Dari perkembangan inilah
dimulai kerancuan dalam kewenangan dan tugas masing-masing mudir. Yang paling
membingungkan adalah posisi pimpinan pesantren atau al-mudirul `am, apakah dia
sebagai setara kepala yayasan yang tugas utamanya adalah mengembangkan eksistensi
lembaga pendidikan atau sebagai pengambil keputusan dalam setiap tingkatan.
Realita yang terjadi, seringkali al-mudiru `am melakukan overlaping terhadap
kinarja yang harusnya dilakukan oleh mudir-mudir tiap tingkatan; sehingga
terkadang hal ini menjadi sebuah kebingungan bagi mudir-mudir di setiap
tingkatan.
Di samping itu, al-mudir `am
di setiap pesantren Persis juga merangkap sebagai tenaga pengajar, sehingga hal
inipun kadangkala menjadi sebuah dilematis bagi seorang mudir tingkatan yang
kebetulan al-mudirul `am mengajar pada tingkatan tersebut. Dengan terjun secara
langsung di lapangan, terkadang al-mudirul `am terjun secara langsung dalam
pengambil keputusan secara operasional, yang secara ideak adalah hak dari mudir
tingkatan.
Contoh riil yang terjadi di
lapangan salah satunya adalah berkaitan dengan kelulusan siswa; terkadang
ketika hasil di rapat mudir tingkatan bersama staff dan guru-guru di tingkat
tersebut memutuskan untuk tidak meluluskan seorang siswa, namun ketika sampai
ke al-mudirul `am terkadang keputusan tersebut bisa dibatalkan.
Hal tersebut bisa terjadi
dikarenakan pola kepemimpinan di pesantren yang dahulu masih terbawa. Padahal
mekanisme dan struktuk kerja yang ada pada saat ini jauh berbeda dengan
pesantren dahulu yang hanya terpusat pada satu jenjang pendidikan. Pada
intinya, untuk tataran pimpinan setaraf kepala yayasan di MTs. Persis Tarogong
bisa dikatakan belum profesional.
3.2 Kepala Sekolah
Kepala Sekolah di MTs. Persis Tarogong
dikenal dengan istilah mudir. Secara akademik lulusan, mudir MTs. Persis Tarogong
telah menyelesaikan jenjang S2 dan dari segi pengalaman belajar beliau adalah
orang yang paling awal dan ikut memperjuangkan perkembangan MTs. Persis
Tarogong. Dalam realita yang terjadi beliau mempunyai jiwa dan semangat untuk
terus mengembangkan MTs. Persis Tarogong (khususnya) dan Pondok Pesantren
Persis Tarogong (umumnya).
Bukti dari sikap tersebut
adalah, bagaimana beliau selalu mendorong tenaga pendidiknya untuk terus
berkarya dan menambah wawasan. Hal ini beliau lakukan dengan menempuh pengadaan
diklat-diklat bagi para guru. Selanjutnya beliau mendorong khususnya kepada
para pendidik bidang keagamaan untuk membuat buku khas kepesantrenan, dan ini
bisa terwujud.
Sikap lain dari bentuk
keprofesionalan mudir MTs. Persis Tarogong adalah beliau selalu menjadi pioner
dalam segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang akan
mendukung majunya MTs. Persis Tarogong Garut. dapat dikatakan bahwa untuk
tingkat kepala sekolah MTs. Persis Tarogong telah profesionalisme.
3.3 Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik di MTs. Persis
Tarogong terbagi menjadi tiga kategori, yaitu : Guru Tetap Yayasan (GTY), Guru
Tidak Tetap (GTT) dan guru yang diperbantukan pemerintah (DPK); dari ketiga
kategori tersebut tentu saja memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Tenaga
pendidik yang ada di MTs. Persis Tarogong berjumlah 46 orang, mulai dari tenaga
pendidik dan tenaga tata usaha.
Secara akademik, tenaga
pendidik di MTs. Persis Tarogong hampir 100% telah menyelesaikan pendidikannya
di jenjang S1 dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan luar negri dengan
berbagai keahlian yang berbeda. Namun tidak semua guru di MTs. Persis Tarogong
adalah lulusan perguruan tinggi yang berkualifikasi guru, sehingga walaupun
semua sudah menyelesaikan pendidikannya di S1 belum menjamin untuk mempunyai
sikap seperti mereka yang lulusan perguruan tinggi yang berkualifikasi guru.
Bukti yang nyata dari hal
tersebut adalah bahwa masih ada di antara para guru yang mengajar tanpa
melengkapi administrasi mengajar; jarang diantara mereka yang mengajar dengan
membawa RPP ke kelas, ataupun tidak jarang mereka yang mengajar tidak tahu
silabus pengajaran.
Namun, dengan seringnya ada
diklat-diklat pendidikan yang diadakan oleh lembaga, maka mereka mulai memahami
tentang pentingnya administrasi pendidikan sebagai bahan rujukan dan
kelengkapan ketika mengajar. Mereka mulai membuat silabus, RPP, kisi-kisi soal
dan administrasi yang lainnya.
Namun, sangat disayangkan
bahwa hal tersebut dilaksanakan secara temporer saja, yaitu ketika akhir tahun
atau mendekati adanya pengakreditasian; sementara administrasi yang bersifat
kontinyu baru sampai pada tahap absensi santri, sementara berkaitan dengan
pembuatan RPP masih berat untuk dilaksanakan.
3.4 Tenaga Tata Usaha
Pada awal berdiri Pesantren
Persis Tarogong berusaha merangkul para alumni untuk mengabdikan dirinya dalam
mengembangkan almamaternya. Hal inipun dijadikan acuan tidak tertulis oleh
pimpinan pesantren untuk mengangkat baik tenaga pendidik, karyawan atau tenaga tata
usaha itu adalah para alumni.
Di MTs. Persis Tarogong pun
mempekerjakan tenaga tata usaha adalah mereka yang pernah belajar di pesantren.
Walaupun bisa dikatakan pada awal tenaga tata usaha ini tidak profesional, tapi
MTs. Persis Tarogong berusaha untuk menjadikan mereka menjadi profesional
dengan pengadaan pelatihan-pelatihan; juga mereka didorong untuk menyelesaikan
pendidikannya sampai S1.
Namun, untuk dikatakan
profesional masih jauh, karena untuk bendahara tingkatan pun masih
memberdayakan guru yang mengajar. Sehingga terkadang mereka tidak fokus untuk
mengelola keuangan tersebut. Hal ini dapat difahami, karena keberadaan
bendahara di tingkat MTs itu hanya sementara, yaitu mereka mengelola dana
bantuan dari pemerintah, baik itu BOS, BSM dan yang lainnya; sementara untuk
pengelolaan uang secara keseluruhan ada di tingkat pusat.
BAB. IV
PEMBAHASAN
Setelah permasalahan
profesionalisme di MTs. Persis Tarogong diurai pada bab sebelumnya, maka ada
beberapa hal yang perlu dibenahi oleh stake holder di MTs. Persis Tarogong
(khususnya) dan di Pondok Pesantren Persis Tarogong (umumnya), yaitu :
1. Ketua Yayasan
(al-Mudirul `Am)
Harus ada kejelasan fungsi,
tugas, wewenang dan kewajiban dari diri seorang al-Mudirul `Am. Kalau dia
berfungsi sebagai ketua yayasan, maka dia hanya berhak dan berkewajiban untuk
mengembangkan lembaga pesantren secara keseluruhan; dan tidak berhak untuk
secara langsung mengambil keputusan yang sifatnya operasional dan lebih pas yang memutuskan
adalah bagian otonom dari pesantren; dan mungkin ini sulit untuk direalisasikan
kalau al-Mudirul `Am masih menggunakan pola kepemimpinan pesantren yang dahulu,
yaitu sentralisasi kepemimpinan dengan tolak ukur kekharismatikan pimpinan
pesantren.
2. Kepala Sekolah
secara sepintas mudir (kepala
sekolah) MTs. Persis Tarogong sudah melakukan hal-hal yang mendekati tingkat
profesionalisme jabatan, walaupun mungkin belum mendekati kesempurnaan;
terutama hal ini berkaitan dengan ketidakberdayaan beliau sebagai bawahan
setingkat al-Mudirul `Am. Namun, untuk tingkatan sekolah swasta dan berlabel
pesantren beliau sudah dikategorikan profesional.
3. Tenaga Pendidik
Dalam setiap kegiatan reward
(pnghargaan) dan Funishment (hukuman) adalah suatu hal yang lumrah dalam rangka
evaluasi kegiatan dan lebih jauhnya untuk peningkatan hasil usaha. Berkaitan
dengan tenaga pendidik di MTs. Persis Tarogong kaitannya dengan aturan
pendidikan yaitu tentang kelengkapan administrasi pendidikan, perlu kiranya
kepala sekolah untuk memberikan reward dan funishment bagi mereka. Satu hal
yang menjadi kendala tidak berjalannya kelengkapan administrasi pembelajaran
bukan ketidaktahuan para guru, tapi terletak pada kemauan dan ketaatan mereka
terhadap pimpinan. Dengan adanya reward bagi mereka yang melengkapi
administrasi kegiatan dan memberikan funishmen bagi mereka yang tidak
melaksanakan, diharapkan hal ini bisa memperbaiki kinerja mereka.
4. Tenaga Tata Usaha
Rekrutmen tenaga pendidik,
tata usaha, ataupun karyawan harus segera diubah oleh fihak lembaga, karena hal
ini berkaitan dengan kinerja mereka. Pesantren dari dahulu memang sudah
terkenal lemah dari segi pengadministrasian, baik itu pengadministrasian
berkaitan dengan siswa, surat-menyurat, keuangan ataupun hal yang lainnya.
Sekali lagi hal ini diakibatkan adanya stigma pemanfaatan alumni pesantren.
Tapi alangkah baiknya bila mengangkat karyawan sesuai dengan kualifikasi
keahlian. Berkaitan dengan tenaga tata usaha yang berkutat seputar administrasi
pesantren, maka harus ada terobosan baru untuk mengangkat mereka yang mempunyai
keahlian di bidangnya.
BAB. V
KESIMPULAN
Dari rumusan masalah pada bab.
I maka ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, yaitu :
1)
profesionalisme berasal dari kata profesi yang
merujuk pada makna suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian,
tanggung jawab, dan kesetiaan pada pekerjaan. Sementara kata profesional
menunjuk pada dua hal yaitu orang yang melakukan pekerjaan baik dari segi
penampilan atau kinerjanya dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Dari kata
profesional kemudian terbentuklah istilah profesionalisme yang memiliki makna
menunjuk pada derajat atau tingkat penampilan seseorang sebagai seorang yang
profesional dalam melaksanakan profesi yang ditekuninya.
2)
Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti
`memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak
dan kecerdasan. pendidikan sebagai `proses interaksi yang bertujuan; guru
berinteraksi dengan siswa yang bertujuan meningkatkan perkembangan mental
sehingga menjadi pribadi yang mandiri dan utuh`.
3)
Dalam dunia pendidikan, sikap profesionalisme ini
setidak-tidaknya harus dimiliki oleh empat (4) komponen pendidikan, yaitu:
Ketua Yayasan, Kepala Sekolah, Tenaga Pendidik (guru), dan Tenaga Tata Usaha.
4)
Sikap profesionalisme di lembaga pendidikan MTs.
Persis Tarogong belum terwujud secara utuh. Masih banyak stake holder yang
perlu memperbaiki sikap dan tindakan yang mengarah terhadap sikap
profesionalisme jabatan yaitu sebagai tenaga pendidik.
DAFTAR PUSTAKA
a. Iskandar MS, Prof. DR. H. Jusman. Teori
Sosial. Pupaga Bandung, 2009
b. Tafsir, DR. Ahmad. Ilmu
Pedidikan Dalam Perspektif Islam. PT. Remaja Rosda
Karya Bandung, 2004
c. Hermawan, M.Ag. Ilmu
Pendidikan Islam. Staida Press Garut, 2005
d. Wahyudin, Dinn. Pengantar
Pendidikan. PT. Universitas Terbuka Jakarta, 2007
e. Shidiq, Abdul Rosyad.
Psikologi Anak dan Remaja (terj). Pustaka Kautsar Jakarta, 2003
f. Ihsan Zubaidi, Lc Bahrun Abu Bakar. Tahapan
Mendidik Anak, Teladan Rasulullah SAW (terj). Irsyad Baitus
Salam Bandung, 2005.
[1].
[2]. Lihat
Q.S al-Hujurât
[3]. Lihat
Q.S
[4]. Wahyudin, Dinn. Pengantar Pendidikan,
hal. 1.15. Universitas Terbuka, Jakarta. 2007
[5]. DR. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, hal. 107. Rosda Jakarta. 2004.
[6]. DR. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, hal. 108. Rosda Jakarta. 2004.
[7]. DR. Suparlan. Guru sebagai profesi,
hal.71. Hikayat Publishing, Yogyakarta. 2006.
[8]. Lihat
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 263. Balai Pustaka, Jakarta. 2007.
[9].
Wahyudin, Dinn. Pengantar Pendidikan. Hal. 2.16. Universitas Terbuka, Jakarta.
2007
[10] . Majfudz, M. Jamaludin. Terjemahan
Psikologi Anak dan Remaja Muslim, hal.154. Pustaka Kautsar, Jakarta. 2001.
[11]. Hermawan, M.Ag. Drs. Ilmu Pendidikan
Islam, hal. 1. Staida Press, Garut. 1996
[12]. Hermawan,
M.Ag. Drs. Ilmu Pendidikan Islam, hal. 1. Staida Press, Garut. 1996
[13]. Bersabda Rasulullah SAW: `Apabila suatu
urusan diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran`
(H.R Bukhori).
[14]. Lihat
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hal. 116-118. Rosda,
Bandung. 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar