Sebuah
Renungan!
Keagungan
dan kebermaknaan di balik sebuah nama
William Shakespeare
(1564-1616) seorang seniman besar berkebangsaan Inggris pernah menulis `Apalah
arti dalam sebuah nama?` mungkin menurut dia nama tidaklah menjadi sesuatu hal
penting dan utama, namun yang paling penting adalah eksistensi dan kebermaknaan
itu sendiri yang dapat dirasakan. Benarkah demikian? Sepintas pernyataan
Shakespeare tersebut dirasa benar, terkadang kita atau satu waktu kita terjebak
dalam prinsip tersebut, kita lebih mengutamakan sesuatu yang dirasakan enak,
nikmat, indah ataupun perasaan yang dapat menentramkan jiwa tanpa peduli nama
sesuatu yang dapat memberikan semua itu.
Bagaimana Islam memandang
tentang hal ini? Ternyata Islam memberikan pandangan yang lain tentang makna
dalam sebuah nama (terutama kaitannya dengan nama seorang manusia). Islam
memberikan sebuah tuntunan dan syari`at kepada umatnya untuk memberikan nama
sesuatu dengan hal yang baik dan indah karena menurut hadits Rasulullah saw
`sesungguhnya Allah itu Indah dan Dia menyukai keindahan`. Kaitannya dengan
nama seseorang malah Islam memberikan satu perintah kepada para orang tua untuk
memberikan nama yang baik dan indah untuk anak-anaknya. Dalam sebuah Atsar
dijelaskan `Hak anak dari orang tuanya adalah dibaikkan akhlaknya dan diberi
nama yang baik` (Kitab Minhajul Muslim, 76); bahkan Rasulullah saw dalam
beberapa haditsnya melarang untuk memberikan nama seseorang yang berkonotasi
jelek seperti Yasar, Rabah, Najih dan Aflah (Muslim, kitabul Adab no. 3985).
Dalam konteks yang lain jumhur ulama mengatakan bahwa nama dari seseorang
merupakan do`a dan harapan dari orang tuanya.
Allah SWT sendiri sudah
memberikan aturan tentang masalah nama seseorang itu, yaitu tidak boleh kita
memanggil seseorang dengan panggilan yang jelek ` Janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang
buruk setelah iman` (Q.S al-Hujurat, 49; 11). Ayat ini begitu jelas
mengajarkan kita untuk tidak memanggil seseorang dengan panggilan dan sebutan
yang jelek dan tidak pantas.
Namun, realita yang terjadi
pada saat ini… mulai dari anak kecil, remaja, pemuda, orang dewasa bahkan ada
sebagian orang tua yang dengan tenang dan tidak merasa bersalah mereka saling
menyapa dan berbicara dengan panggilan dan sebutan yang tidak layak. Mereka
sudah terbiasa dengan sebutan an****, ba** atau panggilan-panggilan lainnya
yang tidak pantas dan layak diucapkan oleh mereka yang berpendidikan dan lebih
jauhnya oleh mereka yang mengaku seorang Muslim.
Selanjutnya, ada satu fenomena
yang cukup menarik sekaligus memprihatinkan yang terjadi di kalangan para
santri (khususnya di Pesantren Persis Tarogong atau mungkin terjadi di tempat
yang lain); yaitu tatkala terjadinya dialog atau saling panggilnya para santri
(khususnya di kalangan santri putra/RG) yaitu dengan panggilan nama orang
tuanya secara langsung tanpa embel-embel `Pa/bapak` atau `Bu/ibu`. Contoh
ketika Ahmad memanggil temannya yang bernama Roni dan mempunyai bapak bernama
Umar… maka Ahmad memanggil Roni bukan `Roni` tapi memanggilnya `Umar` dan lebih
menyedihkannya lagi intonasi dan gaya ngomongnya seperti sedang melecehkan;
sehingga terkadang peristiwa ini menjadi sebuah problematika social yang
terjadi di dalam kelas, Karena tidak sedikit dengan fenomena ini terjadinya
unsur kekeresan seperti perkelahian, pendeskriditan seseorang bahkan pelecehan
terhadap satu individu.
Dari pengamatan dan pengalaman
penulis ternyata fenomena ini menjadi sebuah hal yang menjadi turun temurun
dari generasi ke generasi; dan penulis tidak tahu latar belakang dan asal usul
kenapa fenomena seperti ini bisa terjadi. Padahal Islam telah memberikan
gambaran yang jelas tentang bagaimana kewajiban seorang anak untuk menghormati
kedua orang tuanya, dan akan dianggap menjadi anak durhaka ketika seorang anak
tidak menghormati kedua orang tuanya. Mungkin mereka tidak sadar bahwa ketika
kita melecehkan orang tua teman kita berarti kita telah melecehkan orang tua
sendiri. Rasulullah pernah bersabda `Orang yang memaki kedua orang tuanya
termasuk dosa besar; ada orang bertanya `adakah orang memaki kedua orang
tuanya? Rasulullah menjawab `ya… ia memaki ayah orang lain, maka orang tersebut
balik memaki ayahnya… (H.R Bukhari Muslim bab. Kebaikan dan silaturahmi).
Dari hadits di atas memberi
penjelasan ketika kita memaki ayah seseorang, berarti kita telah memaki ayah
kita sendiri; ketika kita mencela ibu orang lain, berarti kita telah mencela
ibu kita sendiri. Marilah kita renungkan!
Fenomena lain yang terjadi di
kalangan para santri/wati adalah penyebutan atau pemanggilan kepada
sebagian/seluruh Asatidz dengan menggunakan Akronim nama. Fenomena ini juga
muncul sedemikian rupa dan terjadi di setiap angkatan. Panggilan nama Ust. AL,
Ust. UL, Ust. IB dan yang lainnya menjadi sebuah warna lain di kehidupan social
di kalangan santri akhir-akhir ini. Pertanyaannya layakkah panggilan seperti
itu?
Kalau kita mencoba melihat
realita yang terjadi saat ini, khususnya di Negara Indonesia, maka
panggilan-panggilan yang menggunakan akronim nama adalah bagi mereka yang
berbuat kejahatan atau tindakan criminal. Kita sering membaca di media cetak
atau mendengar di media elektronik sebutan AQJ (Abdul Qadir Jaelani) untuk
seorang yang telah melakukan pelanggaran lalulintas; panggilan AM (Andi
Malarangeng) yang tersangkut kasus korupsi Hambalang; nama LHI (Luthfi Hasan
Ishaq) untuk seorang yang tersangkut kasus korupsi daging sapi impor ataupun
akronim-akronim lain yang ditujukan bagi mereka yang telah melakukan kejahatan.
Pertanyaannya: apakah panggilan-panggilan untuk seorang Ust dengan menggunakan
akronim nama karena terinspirasi oleh hal tersebut? Maka kalau ya, alangkah
berdosanya kita karena telah menggunakan panggilan yang mungkin tidak baik
untuk digunakan; tapi kalau mungkin bukan, ada alasan yang lain? Wallahu `alam.
Sangat miris kalau kita
mencoba membandingkan bagaimana mereka (santriwati khususnya) melabeli
nama-nama mereka dengan panggilan-panggilan dengan nama-nama mirip kepunyaan
bangsa lain (Korea-red) mereka begitu bangganya menuliskan nama-nama mereka
dengan panggilan yang menurut mereka lebih keren dan lebih gaya; mereka lupa
bahwa orang tua memberi nama kepada mereka dengan berbagai harapan dan do`a
agar mereka menjadi anak yang baik, sholeh/ah… pertanyaannya lagi: tidakkah ini
sebuah bentuk kedurhakaan kita kepada orang tua? Wallahu `alam!
Sekali lagi untuk kita
renungkan… Nama pemberian orang tua adalah keberkahan bagi kita dengan berbagai
harapan dan do`a; masihkah kita minder dengan nama-nama pemberian orang tua
kita dan lebih bangga dengan nama-nama orang lain tanpa ada makna???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar