Senin, 21 Oktober 2013

Keagungan dan Kebermaknaan Sebuah Nama



Sebuah Renungan!
Keagungan dan kebermaknaan di balik sebuah nama
William Shakespeare (1564-1616) seorang seniman besar berkebangsaan Inggris pernah menulis `Apalah arti dalam sebuah nama?` mungkin menurut dia nama tidaklah menjadi sesuatu hal penting dan utama, namun yang paling penting adalah eksistensi dan kebermaknaan itu sendiri yang dapat dirasakan. Benarkah demikian? Sepintas pernyataan Shakespeare tersebut dirasa benar, terkadang kita atau satu waktu kita terjebak dalam prinsip tersebut, kita lebih mengutamakan sesuatu yang dirasakan enak, nikmat, indah ataupun perasaan yang dapat menentramkan jiwa tanpa peduli nama sesuatu yang dapat memberikan semua itu.
Bagaimana Islam memandang tentang hal ini? Ternyata Islam memberikan pandangan yang lain tentang makna dalam sebuah nama (terutama kaitannya dengan nama seorang manusia). Islam memberikan sebuah tuntunan dan syari`at kepada umatnya untuk memberikan nama sesuatu dengan hal yang baik dan indah karena menurut hadits Rasulullah saw `sesungguhnya Allah itu Indah dan Dia menyukai keindahan`. Kaitannya dengan nama seseorang malah Islam memberikan satu perintah kepada para orang tua untuk memberikan nama yang baik dan indah untuk anak-anaknya. Dalam sebuah Atsar dijelaskan `Hak anak dari orang tuanya adalah dibaikkan akhlaknya dan diberi nama yang baik` (Kitab Minhajul Muslim, 76); bahkan Rasulullah saw dalam beberapa haditsnya melarang untuk memberikan nama seseorang yang berkonotasi jelek seperti Yasar, Rabah, Najih dan Aflah (Muslim, kitabul Adab no. 3985). Dalam konteks yang lain jumhur ulama mengatakan bahwa nama dari seseorang merupakan do`a dan harapan dari orang tuanya.
Allah SWT sendiri sudah memberikan aturan tentang masalah nama seseorang itu, yaitu tidak boleh kita memanggil seseorang dengan panggilan yang jelek ` Janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk setelah iman` (Q.S al-Hujurat, 49; 11). Ayat ini begitu jelas mengajarkan kita untuk tidak memanggil seseorang dengan panggilan dan sebutan yang jelek dan tidak pantas.
Namun, realita yang terjadi pada saat ini… mulai dari anak kecil, remaja, pemuda, orang dewasa bahkan ada sebagian orang tua yang dengan tenang dan tidak merasa bersalah mereka saling menyapa dan berbicara dengan panggilan dan sebutan yang tidak layak. Mereka sudah terbiasa dengan sebutan an****, ba** atau panggilan-panggilan lainnya yang tidak pantas dan layak diucapkan oleh mereka yang berpendidikan dan lebih jauhnya oleh mereka yang mengaku seorang Muslim.
Selanjutnya, ada satu fenomena yang cukup menarik sekaligus memprihatinkan yang terjadi di kalangan para santri (khususnya di Pesantren Persis Tarogong atau mungkin terjadi di tempat yang lain); yaitu tatkala terjadinya dialog atau saling panggilnya para santri (khususnya di kalangan santri putra/RG) yaitu dengan panggilan nama orang tuanya secara langsung tanpa embel-embel `Pa/bapak` atau `Bu/ibu`. Contoh ketika Ahmad memanggil temannya yang bernama Roni dan mempunyai bapak bernama Umar… maka Ahmad memanggil Roni bukan `Roni` tapi memanggilnya `Umar` dan lebih menyedihkannya lagi intonasi dan gaya ngomongnya seperti sedang melecehkan; sehingga terkadang peristiwa ini menjadi sebuah problematika social yang terjadi di dalam kelas, Karena tidak sedikit dengan fenomena ini terjadinya unsur kekeresan seperti perkelahian, pendeskriditan seseorang bahkan pelecehan terhadap satu individu.
Dari pengamatan dan pengalaman penulis ternyata fenomena ini menjadi sebuah hal yang menjadi turun temurun dari generasi ke generasi; dan penulis tidak tahu latar belakang dan asal usul kenapa fenomena seperti ini bisa terjadi. Padahal Islam telah memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana kewajiban seorang anak untuk menghormati kedua orang tuanya, dan akan dianggap menjadi anak durhaka ketika seorang anak tidak menghormati kedua orang tuanya. Mungkin mereka tidak sadar bahwa ketika kita melecehkan orang tua teman kita berarti kita telah melecehkan orang tua sendiri. Rasulullah pernah bersabda `Orang yang memaki kedua orang tuanya termasuk dosa besar; ada orang bertanya `adakah orang memaki kedua orang tuanya? Rasulullah menjawab `ya… ia memaki ayah orang lain, maka orang tersebut balik memaki ayahnya… (H.R Bukhari Muslim bab. Kebaikan dan silaturahmi).
Dari hadits di atas memberi penjelasan ketika kita memaki ayah seseorang, berarti kita telah memaki ayah kita sendiri; ketika kita mencela ibu orang lain, berarti kita telah mencela ibu kita sendiri. Marilah kita renungkan!
Fenomena lain yang terjadi di kalangan para santri/wati adalah penyebutan atau pemanggilan kepada sebagian/seluruh Asatidz dengan menggunakan Akronim nama. Fenomena ini juga muncul sedemikian rupa dan terjadi di setiap angkatan. Panggilan nama Ust. AL, Ust. UL, Ust. IB dan yang lainnya menjadi sebuah warna lain di kehidupan social di kalangan santri akhir-akhir ini. Pertanyaannya layakkah panggilan seperti itu?
Kalau kita mencoba melihat realita yang terjadi saat ini, khususnya di Negara Indonesia, maka panggilan-panggilan yang menggunakan akronim nama adalah bagi mereka yang berbuat kejahatan atau tindakan criminal. Kita sering membaca di media cetak atau mendengar di media elektronik sebutan AQJ (Abdul Qadir Jaelani) untuk seorang yang telah melakukan pelanggaran lalulintas; panggilan AM (Andi Malarangeng) yang tersangkut kasus korupsi Hambalang; nama LHI (Luthfi Hasan Ishaq) untuk seorang yang tersangkut kasus korupsi daging sapi impor ataupun akronim-akronim lain yang ditujukan bagi mereka yang telah melakukan kejahatan. Pertanyaannya: apakah panggilan-panggilan untuk seorang Ust dengan menggunakan akronim nama karena terinspirasi oleh hal tersebut? Maka kalau ya, alangkah berdosanya kita karena telah menggunakan panggilan yang mungkin tidak baik untuk digunakan; tapi kalau mungkin bukan, ada alasan yang lain? Wallahu `alam.
Sangat miris kalau kita mencoba membandingkan bagaimana mereka (santriwati khususnya) melabeli nama-nama mereka dengan panggilan-panggilan dengan nama-nama mirip kepunyaan bangsa lain (Korea-red) mereka begitu bangganya menuliskan nama-nama mereka dengan panggilan yang menurut mereka lebih keren dan lebih gaya; mereka lupa bahwa orang tua memberi nama kepada mereka dengan berbagai harapan dan do`a agar mereka menjadi anak yang baik, sholeh/ah… pertanyaannya lagi: tidakkah ini sebuah bentuk kedurhakaan kita kepada orang tua? Wallahu `alam!
Sekali lagi untuk kita renungkan… Nama pemberian orang tua adalah keberkahan bagi kita dengan berbagai harapan dan do`a; masihkah kita minder dengan nama-nama pemberian orang tua kita dan lebih bangga dengan nama-nama orang lain tanpa ada makna???

irwan.burhanudin@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar