BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Membincangkan pendidikan berarti membincangkan
masalah diri manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan yang dipersiapkan untuk
menjadi khalifah-Nya di muka bumi dalam kerangka mengabdi kepada-Nya.
Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang dari sejak
awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang dibekali
potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan proses panjang yang tidak
berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan dan tanggung jawab,
sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika pendidikan Islam yang
muncul selalu complicate serumit persoalan manusia itu sendiri.[1] Problem pendidikan Islam mulai pengertian
pendidikan, tujuan, materi dan strategi pendidikan-pengajarannya hingga lembaga
penyelenggara pendidikan Islam, yang muncul dari masa ke masa, dikaji dan
dicari jawabannya selalu berkembang dan melahirkan pemikiran-penting seiring
dengan perkembangan zaman, peradaban dan produk-produknya, khususnya hasil ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat berpengaruh bagi eksistensi dan peran
pendidikan Islam di masyarakatnya.
Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai
komponen pembangunan bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang
sangat besar dan ini berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa
Indonesia. Hal ini dapat dilihat praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan
oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis
taklim. Forum pengajian, surau, masjid dan pesantren-pesantren yang berkembang
subur dan eksis hingga sekarang. Bahkan setelah kemerdekaan penyelenggaraan
pendidikan Islam semakin memperoleh pengakuan dan payung yuridisnya dengan
adanya berbagai produk perundang-undangan tentang pendidikan nasional.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga
kini boleh dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara
'determinisme historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam
belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban
Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa'
untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari
Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis empiris,
kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan di
tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda transfomasi sosial yang
digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal sulam' saja. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila di satu sisi kita masih saja mendapatkan tampilan
'sistem pendidikan Islam' yang sangat tradisional karena tetap memakai 'baju
lama'[2]
Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan
kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat
manusia, hampir tidak ada sekelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan
sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam
masyarakat yang masih terbelakang (primitif). Pendidikan sebagai usaha
sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan untuk anak manusia demi menunjang perannya
di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa tentu
memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa di masa
mendatang, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia,
bahkan M. Natsir menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang
ikut menentukan maju mundurnya kehidupan masyarakat tersebut.[3]
Pernyataan M. Natsir di atas merupakan indikasi tentang urgensi pendidikan bagi
kehidupan manusia, karena pendidikan itu sendiri mempunyai peranan sentral
dalam mendorong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya dalam
segala aspek kehidupan demi mencapai kemajuan, dan untuk menunjang perannya di
masa mendatang. Hal ini terbukti dalam kehidupan sekarang, pendidikan tampil
dengan daya pengaruh yang sangat besar dan menjadi variabel pokok masa depan
manusia.
Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan
manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga
"belajar", tetapi lebih ditentukan oleh insting, sedangkan bagi
manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju "pendewasaan" guna
menuju kehidupan yang lebih berarti. Oleh karena itu berbagai pandangan yang
menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan proses budaya untuk mengangkat
"harkat dan martabat" manusia dan berlangsung sepanjang hayat.
Apabila demikian, maka pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi
dan perkembangan manusia, "karena pendidikan merupakan usaha melestarikan,
dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudyaan dalam segala
aspeknya dan jenis kepada generasi penerus" untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia.
Untuk mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia,
negara, dan pemerintah, maka "pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan
secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di Negara
ini". Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan
suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa
bangsa tersebut di masa mendatang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada
perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu,
mau tidak mau pendidikan Agama Islam harus didesain mengikuti irama perubahan
tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Tuntutan pembaharuan
pendidikan menjadi suatu kaharusan dan "pembaruan" pendidikan selalu
mengikuti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum,
proses, fungsi, tujuan, manajemen lembaga-lembaga pendidikan, dan sumber daya
pengelola pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas berkaitan dengan pendidikan Islam di
Indonesia, maka penulis merumuskan pembahasan dengan beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
a. Apa perbedaan Ilmu Pendidikan Islam dan Filsafat Islam?
b. Apa perbedaan sistem pendidikan Islam dengan sistem Pendidikan umum?
c. Jelaskan hakikat tujuan Pendidikan Islam?
d. Bagaimana konsep/karakter pendidik dan peserta didik dalam Pendidikan
Islam?
e. Bagaimana posisi lembaga pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?
1.3 Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang
ingin dicapai oleh penulis, yaitu:
a. Mengetahui perbedaan Ilmu Pendidikan Islam dengan Filsafat Islam
b. Mengetahui perbedaan sistem Pendidikan Islam dengan sistem pendidikan umum
c. Mengetahui hakikat tujuan pendidikan Islam
d. Mengetahui konsep/karakter pendidik dan peserta didik dalam pendidikan
Islam
e. Mengetahui posisi/peranan lembega pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pendidikan Islam
Secara bahasa kata `pendidikan` merupakan terjemahan dari
kata rabba – yurabbi – tarbiyatan `pendidikan, pengasuhan dan
pemeliharaan` (M. Yunus, ;137). Namun
dalam istilah ilmu keislaman makna `pendidikan` dikemukakan dengan beberapa
istilah, yaitu : al-Tarbiyah, al-Ta`lǐm, al-Ta`dǐb, al-tahdzǐb, dan
al-Riyâdlah. Drs. Hermawan, M.Ag berpendapat bahwa dari kelima istilah di
atas yang merujuk kepada pendidikan yang lebih dekat adalah al-Tarbiyah.[4]
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa, kata al-Tarbiyah
mengandung arti bertambah, tumbuh, berkembang, mengasuh, dan memelihara,
menjaga, membimbing, memberi makan, mengatur, dan menguasai. Berdasarkan hal
tersebut al-Tarbiyyah adalah
a. Menumbuhkan fisik dan mengembangkan mental peserta didik;
b.
Menjaga dan memelihara fisik dan mental peserta didik.
Pendidikan Islam secara istilah menurut Zaini,
sebagaimana dikutip oleh Hermawan[5]
adalah `usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar
terwujud (tercapai) kehidupan manusia yang makmur dan bahagia`. Sementara
menurut Abdurrahman Al-Nahlawi masih dikutip oleh Hermawan[6]
menjelaskan bahwa Pendidikan Islam adalah `suatu proses penataan individual dan
sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk dan taat kepada Islam dan
menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Sedangkan menurut Muhammad Quthb, Pendidikan Islam adalah usaha melakukan
pendekatan menyeluruh terhadap wujud manusia, baik segi jasmani maupun rohani,
baik kehidupannya secara fisik maupun mental dalam melaksanakan kegiatannya di
bumi ini.
Athiyah al-Abrasy menyebutkan bahwa yang disebut dengan
Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan
bahagia mencintai tanah air, sigap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola
fikirnya teratur dengan rapi, halus perasaannya, profesional dalam bekerja, dan
manis tutur sapanya. Sedangkan Ahmad D. Marimba menegaskan bahwa yang disebut
dengan ilmu pendidikan adalah `bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan ajaran
Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Ahmad Tafsir mengemukakan pendapatnya tentang pengertian
Pendidikan Islam yaitu `bimbingan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam; atau dengan kata lain Pendidikan
Islam adalah bimbingan seseorang terhadap orang lain agar ia menjadi seorang
muslim yang maksimal.
Syed Muh. Naquid al-Attas memberikan definisi pendidikan
Islam sebagai berikut `pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan ke dalam diri manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Sehingga pendidikan ini hanya diperuntukkan untuk manusia.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
yang disebut dengan Ilmu
pendidikan Islam adalah ilmu yang digunakan dalam proses pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam sebagai pedoman umat manusia khususnya umat Islam. Pendidikan
adalah segala upaya , latihan dan sebagainya untuk menumbuh kembangkan segala
potensi yang ada dalam diri manusia baik secara mental, moral dan fisik untuk
menghasilkan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab sebagai makhluk yang
berbudi luhur.
Sedangkan
pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam
yang mencangkup semua aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia sebagai hamba Allah
sebagaimana Islam sebagai pedoman kehidupan dunia dan akhirat.Sejalan dengan
perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin bertambah dan
luas, maka pendidikan Islam bersifat terbuka dan akomodatif terhadap tuntutan
zaman sesuai norma-norma Islam.
2.2. Pengertian Filsafat Islam
Dari
segi bahasa, Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu gabungan dari kata Philo
yang artinya cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang
mendalam. Jadi dilihat dari akar katanya, filsafat berarti ingin tahu dengan
mendalam atau cinta terhadap kebijaksanaan.
Adapun
makna filsafat menurut terminologi adalah berfikir secara sistematis, radikal
dan universal, untuk mengetahui hakekat segala sesuatu yang ada, seperti
hakekat alam, hakekat manusia, hakekat masyarakat, hakekat ilmu, hakekat
pendidikan dan seterusnya. Dengan demikian maka muncullah apa yang disebut
filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ilmu dan sebagainya.
Socrates
(469-399 SM) memberikan pengertian filsafat dengan `Suatu peninjauan diri yang
bersifat reflektif dan perenungan terhadap asas-asas kehidupan yang adil dan
bahagia. Sementara Plato (427-347 M) mengartikan filsafat dengan `Ilmu
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Francis Bacon
(1561-1626 M) menyebut filsafat sebagai induk dari ilmu; dan Hegel (1770-1831
M) membatasi filsafat sebagai penyelidikan hal-hal melalui pemikiran dan
perenungan. Sementara itu Al-Farabi (870-950 M) selanjutnya dikenal sebagai
seorang filusuf muslim, memberi definisi filsafat sebagai berikut `Ilmu
pengetahuan tentang alam maujud dan bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Islam
dari segi bahasa adalah selamat, sentausa, berserah diri, patuh, tunduk dan
taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut Muslim, yaitu orang yang telah
menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, patuh dan tunduk kepada Allah SWT. Islam
menurut terminologi adalah Agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan oleh Allah
SWT kepada manusia melalui nabi Muhammad sebagai Rasul Allah. Dari
pengertian-pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Filsafat
Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hakekat
segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah
Filsafat yang berorientasi kepada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai
masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Jadi ciri utama filsafat Islam
adalah berfikir tentang segala sesuatu, dapat berfikir teratur, tidak cepat
puas dalam penemuan sesuatu,selalu bertanya dan saling menghargai pendapat
orang lain.
2.3
Perbedaan Ilmu Pendidikan Islam dengan Filsafat Islam
Dari uraian di atas tentang pengertian Ilmu
Pendidikan Islam dan Filsafat Islam, ada persamaan diantara keduanya yang cukup
jelas yaitu sama-sama mengkaji tentang ajaran Islam. Namun, dibalik persamaan
diantara keduanya, tentu saja ada hal-hal yang membedakan diantara keduanya.
Perbedaan yang paling mendasar di antara keduanya adalah:
a. Objek
Kajian; Ilmu Pendidikan Islam yang menjadi objek kajiaannya adalah teori-teori
berkaitan dengan pendidikan Islam; tentu saja dalam hal ini teori-teori yang
dipelajari adalah teori-teori yang menjadi landasan ilmu dalam ajaran Islam. Sementara
Filsafat Islam yang menjadi objek kajiannya adalah materi hakikat pendidikan
(lebih luasnya) ajaran Islam. Filsafat
b. Metodologi
yang digunakan; Ilmu Pendidikan Islam dalam metodologinya menggunakan dua pokok
sumber pengetahuan, yaitu: Rasio, yakni bersumber pada akal fikiran dan jiwa
manusia; dan Empiris, yakni berdasar pengalaman yang dapat diindera oleh
pancaindera.
Filsafat
dalam metodologinya bersandar pada dua hal pokok, yaitu: spekulatif/komparatif,
yaitu berfikir dalam keadaan tenang untuk mendapatkan kebenaran tentang hakikat
yang difikirkannya; dan Normatif yaitu mencari dan menetapkan
kebenaran-kebenaran dalam kehidupan yang nyata.
c. Fungsi;
Ilmu Pendidikan Islam berfungsi Teoritis, yaitu sesuatu yang digunakan sbagai
sebuah teori untuk mengkaji pendidikan Islam.
Filsafat Islam bersifat normative dan
deskriptif, yaitu menetapkan, menggambarkan dan menjelaskan aturan, disamping
itu juga bersifat evaluative.
2.4
Hakikat Tujuan Pendidikan Islam
Berangkat dari pengertian pendidikan Islam, secara teori
berarti memberi makan kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan
rohani sesuai ajaran Islam baik melalui lembaga atau sistem kurikuler.
Sedangkan tujuan fungsionalnya adalah potensi dinamis manusia yaitu keyakinan,
ilmu pengetahuan, akhlak dan pengalaman. Sebagai lingkaran proses pendidikan
Islam yang akan mengantarkan manusia sebagai hamba Allah yang mukmin, muslim,
muhsin, dan mushlihin mutaqin.
Sedangkan objek pendidikan Islam adalah menyadarkan manusia
sebagai makhluk individu yang diciptakan Tuhan yang paling sempurna dan lebih
mulia dari makhluk lain (QS. As-Shaad: 71-72), memiliki kedudukan yang lebih
tinggi (QS. Al-Isra’: 70). Disamping itu manusia diberi beban tanggung jawab
terhadap dirinya dan masyarakat (QS. Al-Isra’: 15).Sejalan hal itu, menyadarkan
manusia sebagai makhluk sosial yang harus mengadakan interelasi (QS.
AL-Anbiya’: 92), berinteraksi, gotong-royong dan bersatu (QS. Al-Imran: 103),
bersudara (QS. Al-hujurat: 10), tanpa membedakan berbagai perbedaan baik bahasa
atau warna kulit (QS. Ar-Ruum: 22).
Disamping itu juga tidak melupakan bahwa manusia sebagai
hamba Alloh yang diberi fitrah untuk beragama. Sehingga watak dan sikap
religiusnya perlu dikembangkan agar mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya
sesuai firman Allah dalam surat Al-An’am: 102-103.
BAB III
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
3.1 Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Umum
Pendidikan
merupakan salah satu unsur yang sangat penting terhadap pembentukan karakter
dan pembangun peradaban suatu bangsa. Setidaknya ada tiga faktor
pembentukan sebuah peradaban yaitu pandangan hidup (worldview), ilmu pengetahuan
(science) dan salah satunya adalah pendidikan (education). Kaitan antara ketiga
faktor tersebut merupakan vicious circle (lingkaran setan).
Artinya pandangan hidup dapat lahir dan berkembang dari akumulasi ilmu
pengetahuan yang diperoleh melalui proses pendidikan.
Islam
dan Barat memiliki pandangan berbeda mengenai pendidikan. Paham rasionalisme
empirisme, humanisme, kapitalisme, eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan
lainnya yang berkembang di Barat dijadikan dasar pijakan bagi konsep-konsep
pendidikan Barat. Ini jauh berbeda dengan Islam yang memiliki al-Qur’an, Sunnah
dan Ijtihad para ulama sebagai konsep pendidikannya. Hal inilah yang membedakan
ciri pendidikan yang ada di Barat dengan pendidikan Islam. Masing-masing
peradaban ini memiliki karakter yang berbeda sehingga out put yang ‘dihasilkan’
pun berbeda.
Tokoh
pendidikan Barat, John Dewey mengatakan bahwa Pendidikan suatu bangsa dapat
ditinjau dari dua segi; pertama, dari sudut pandang masyarakat (community
perspective), dan kedua, dari segi pandangan individu (individual
perspective). Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti
pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup
masyarakat tetap berlanjutan. Sedangkan dari sudut pandang individu, pendidikan
berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.
Jadi,
Pendidikan merupakan sebuah proses, bukan hanya sekedar mengembangkan aspek
intelektual semata atau hanya sebagai transfer pengetahuan dari satu orang ke
orang lain saja, tapi juga sebagai proses transformasi nilai dan pembentukan
karakter dalam segala aspeknya. Dengan kata lain, pendidikan juga ikut berperan
dalam membangun peradaban dan membangun masa depan bangsa.
3.2 Karakter Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
A. Pendidik
Pendidik adalah salah satu komponen penting di samping peserta
didik dalam terjadinya proses belajar mengajar (pendidikan). Pendidik adalah
sebagai sumber utama terjadinya proses pemindahan ilmu pengetahuan kepada
peserta didik. Berhasil tidaknya sebuah proses pendidikan salah satu sumbernya
adalah ditentukan oleh kwalitas dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang
pendidik.
Karena pendidik adalah sebagai salah satu sumber utama
keberhasilan sebuah pemindahan ilmu pengetahuan, maka tentu saja dia harus
memiliki kemampuan atau skill dalam hal penyampaian atau proses penyampaian
ilmu pengetahuan tersebut; oleh sebab itu, maka seorang pendidik wajib memiliki
ilmu tentang kependidikan (pedagogik).
Di samping harus memiliki ilmu tentang kependidikan
(pedagogik), seorang pendidik pun dituntut untuk memiliki budi pekerti yang
baik dan jiwa yang suci. Imam al-Ghazali dalam kitabnya `Ihyâ `ulûmuddin`
sebagaimana dikutip oleh Hermawan[7]
menjelaskan tentang konsepsi pendidik, beliau menggambarkan bahwa seorang
pendidik adalah `Spritual Father` atau `Al- Abu ar-Rûhi`, karena dialah yang
memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan, akhlak, dan menegakkannya.
Imam an-Nahlawi masih dikutip oleh Hermawan[8] menyebutkan bahwa ada dua tugas utama
pendidik terhadap anak didiknya yaitu : a) Penyucian, yaitu
pengembangan, pembersihan, dan pengangkatan jiwa kepada penciptanya, menjauhkan
dari kejahatan dan menjaganya agar tetap selalu berada dalam fitrahnya; b) Pengajaran,
yaitu pengalihan berbagai pengetahuan dan aqidah kepada akal dan hati kaum
mukminin, agar mereka merealisasikannya dalam tingkah laku kesehariannya.
Dari uraian di atas, maka Hermawan[9]
mendefinisikan pendidik sebagai `orang dewasa yang bertanggung jawab memberi
pertolongan kepada anak didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar
mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri, memenuhi tugasnya sebagai
hamba Allah dan khalifah Allah, dan mampu sebagai makhluk sosial dan individu
yang mandiri.
B. Peserta (anak) didik
Langeveld berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya
disebut dengan animal educandum yaitu `makhluk yang harus dididik`; disamping
itu juga manusia bisa disebut sebgai animal educable yaitu`makhluk yang dapat
dididik`. Arti dari ungkapan tersebut berkaitan dengan pendidikan adalah
manusia merupakan objek dari pendidikan. Karena hakikat dari pendidikan adalah
usaha sadar untuk lebih memanusiakan manusia.
Manusia terlahir dengan membawa dua bekal yang memiliki
potensi masing-masing. Bekal yang pertama adalah aspek fisik-biologis. Bila
ditinjau secara fisik biologis, manusia memiliki kesamaan dengan hewan. Namun
demikian, kesamaan fisik manusia dan hewan bersifat gradual bukan esensial, hal
ini disebabkan karena secara esensial fisik manusia lebih sempurna dibandingkan
hewan.[10]
Bekal yang kedua yang dimiliki oleh manusia adalah
metafisik-ruhani. Fungsi utama manusia di muka bumi ini adalah jelas sebagai
khalifah fil ardhi`; dengan fungsi ini, maka ada perbedaan antara pertumbuhan
manusia dan hewan, kalau manusia mempunyai potensi untuk berkembang dan
beradaftasi dengan lingkungannya; sementara hewan hanya bersifat statis dan
instinktif.
Kedua bekal atau potensi manusia di atas tentu saja harus diasah dan
dilatih agar kedua potensi tersebut tidak menjadi sia-sia bahkan lebih jauhnya
menjadi bencana bagi manusia itu sendiri.[11]
Maka untuk melatih bekal yang pertama yaitu fisik-biologis maka manusia
dianjurkan untuk berolahraga agar terjaga kebugaran dan kesehatan fisiknya.
Pendidikan yang bersifat jasmani ini dikenal dengan istilah al-Riyâdlah.
Sedangkan untuk memlatih dan menjaga kesehatan bekal kedua yaitu secara ruhani,
maka manusia perlu pendidikan; dan pendidikan yang paling tepat untuk bekal
yang kedua ini adalah dengan Pendidikan Islam, karena selain terjaga dari
kecerdasan secara kognitif juga akan terjaga kecerdasan secara spritual.
3.3 Lembaga Pendidikan Islam dalam Sistem pendidikan Nasional
Kedudukan
Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab Vi Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 isinya adalah :
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab Vi Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 isinya adalah :
1.
Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.
Pendidkan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama.
3.
Pendidkan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, informal dan
nonformal.
4.
Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera
dan bentuk lain yang sejenis.
5.
Ketentuan
mengenai pendidikan keagmaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,2,3 dan 4 diatur
lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Implikasi
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 terhadap sistem pendidikan Islam, secara
konseptual memberikan landasan kuat dalam mengembangkan dan memberdayakan
sistem pendidikan Islam dengan prinsip demokrasi, desentralisasi,
pemerataan/keadilan, mutu dan relevansi, dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Sehingga terwujud akuntabilitas pendidikan yang mandiri menuju
keunggulan.
Implikasi
tersebut mengindikasikan upaya pembaharuan sistem pendidikan Islam baik
kandungan, proses maupun manajemen. Karena itu, konsep yang ditawarkan dan
sekaligus sebagai konsekuensi berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003,
adalah mereformulasikan konsep pendidikan Islam yang berwawasan semesta, dengan
langkah-langkah membangun kerangka filosofis-teoritis pendidikan, dan membangun
sistem pendidikan Islam yang diproyeksikan melalui Laboratorium fungsi ganda,
yakni peningkatan mutu akademik dan pengembangan usaha bisnis. Upaya ini
dilakukan dalam kerangka mewujudkan akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang
mandiri menuju keunggulan, sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi
nyata dalam membangun bangsa dan negara Indonesia.
UU Sisdiknas 2003 adalah implementasi dari berbagai dorongan untuk
mencapai tujuan Pendidkan Nasional yang menginginkan out put manusia Indonesia
yang berakhlak mulia. NAmun, UU Sisdiknas in dinilai belum menyentuh aspek
religi dari pendidikan Islam, juga belum mengatur tentang tata penyelenggaraan.
Namun, UU Sisdiknas ini telah memberikan ruang dan penempatan atau kedudukan
yang kjelas pada Sistem Pendidikan NAsional yaitu berpampingan antara Sistem
Pendidikan NAsional dengan Pendidikan Agama yang juga diatur oleh Pemerintah.
Namun, diperlukan formulasi khusus untuk pengembangan pendidikan Islam yaitu
pengembangan Sistem Independent Pendidikan Islam yang disahkan melalui
Peraturan Pemerintah.
BAB
IV
KESIMPULAN
Berdasar
rumusan masalah pada Bab I, maka penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Perbedaan
antara IPI dan Filsafat Islam secara mendasar ada tiga, yaitu:
a.
Objek
kajian
b.
Metodologi
c.
Fungsi
2.
Perbedaan
system pendidikan Islam dengan system pendidikan umum (barat) terletak pada
pijakannya. Kalau system pendidikan umum berpijak pada kaidah-kaidah atau
teori-teori yang dicetuskan oleh para ilmuwan Barat; sementara pendidikan Islam
bersumber pada Al-Qur`an, As-Sunnah Rasulullah saw serta ijtihad para ulama.
3.
Hakikat dari Ilmu Pendidikan Islam adalah menyadarkan
manusia sebagai makhluk individu yang diciptakan Tuhan yang paling sempurna dan
lebih mulia dari makhluk lain; memiliki kedudukan yang lebih tinggi; disamping
itu manusia diberi beban tanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakat. Sejalan
hal itu, menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial yang harus mengadakan
interelasi, berinteraksi, gotong-royong dan bersatu bersudara, tanpa membedakan
berbagai perbedaan baik bahasa atau warna kulit.
4.
Pendidik dalam ajaran Islam harus memiliki beberapa sifat
mulia: amanah, tanggung jawab, jujur, wibawa dan sifat-sifat yang lainnya; di
samping sifat-sifat tersebut seorang pendidik harus menyadari bahwa dalam Islam
kewajiban orang berilmu adalah menyampaikan ilmu kepada orang lain.
Sementara peserta didik dalam ajaran
Islam dituntut untuk menyadari bahwa kewajiban dia di samping menuntut ilmu
juga harus member hormat kepada yang memberikan ilmu kepadanya.
5.
Posisi lembaga Pendidikan Islam dalam system pendidikan
Nasional memegang peranan yang sangat penting, dalam rangka mencerdaskan bangsa
dan menjadikan bangsanya bermartabat dan berakhlak mulia.
[1]Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam;
Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 1.
[2]Untuk
menelusuri bagaimana penyebaran Ilmu dalam Islam di masa klasik, mengutip
pendapat Armani Arief mengatakan bahwa penting melihat keberadaan
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang muncul sejak kehadiran Islam itu sendiri
yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta peran yang dimainkannya dalam transmisi
ilmu, seperti lembaga kuttab (lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan
baca tulis), masjid, madrasah, dan lembaga pendidikan lainnya seperti Bayt
al-Hikmah, dan Halaqah. Lihat Armani Arief, Reformulasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 110-112.
[3]M.
Natsir, Kapita Selekta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 77.
[4]. Hermawan, M.Ag. Drs. Ilmu Pendidikan
Islam, hal. 1. Staida Press, Garut. 1996
[5]. Ibid
[6]. Ibid
[7]. Hermawan,
M.Ag. Drs. Ilmu Pendidikan Islam, hal. 54. Staida Press, Garut. 1996
[8].
Idem
[9].
Idem
[11].
Lihat al-Qur`an surat
al-`Araf, 7;179.
terimakasih atas entrinya sangat bermanfaat sekali bagi saya, tapi ini sekedar masukan bagi tulisannya ,, mujngkin kalo bisa paparkan dengan jelas perbedaan antara sistem pendidikan islam dan umum terimakasih..
BalasHapus